Senin, 14 Januari 2008

Love in the Time of Cholera

Sebuah Cinta yang Keras Kepala

Cukup banyak film beken yang diangkat dari novel ternama. Salah satunya adalah film Dr. Zhivago yang diangkat dari novel besar karya Boris Pasternak. Film ini, secara kualitas berhasil (memenangkan Oscar) sementara secara komersial juga sukses di pasaran. Ketika sutradara berhasil menyelesaikan film Love in the Time of Cholera (dirilis serentak 16 November lalu) yang diangkat dari novel karya Gabriel Garcia Marquez,- saya membayangkan sebuah film yang sarat dengan romantika agung yang kelam. Love in the Time of Cholera adalah lukisan muram sebuah kekecewaan, madah bagi jiwa yang bertahan tanpa gairah, melodrama yang merambat dari satu ke lain masa, tanpa ikatan masa silam atau sekarang.

Namun, inilah hikayat ternama yang jatuh ke tangan sutradara yang bahkan belum mantap karirnya. Mike Newell memang sempat mendapat pujian saat menyutradarai film Dance With a Strager, Enchanted April atau Four Weddings and a Funeral. Namun dia juga menghasilkan beberapa film jelek. Misalnya Into the West atau Mona Lisa Smile.
Di atas kertas, kisah ini menyajikan ramuan narasi yang jarang muncul dalam sebuah film. Ada kebangkitan gairah tak terpuaskan yang menghantui hari demi hari, ada dorong oleh emosi yang terjalin rumit dengan prinsip dan harga diri, ada perjalanan nasib yang terombang-ambing pergeseran kekuatan politik dan sejarah. Ronald Harwood mendapat kehormatan untuk menuliskan skenario adaptasi dan ‘menjinakkan’ kekuatan kalimat rangkaian Gabriel Garcia Marquez. Harwood sebelumnya memenangkan Oscar untuk Skenario Terbaik dalam film The Piano yang disutradarai oleh Roman Polanski.

Kisahnya terjadi di Argentina di tahun 1879, ketika wabah kolera mengamuk di sana. Meluncurlah narasi yang mengalit bagaikan impian surealis tentang kerinduan dua manula yang saling mendamba kesempatan kedua, bagi cinta pertama mereka. Seorang lelaki bernama Florentino Ariza (Javier Bardem) harus menunggu lebih dari setengah abad untuk menyatakan cintanya pada Fermina Daza (Giovanna Mezzogiorno). Semasih muda, Florentino yang miskin tinggal bersama ibunya (Fernanda Montengro). Dia jatuh hati pada pandangan pertama kepada si jelita Fermina, kemudian mulai menulis surat cinta, atau menantikan Fermina di luar rumahnya, sambil berharap bisa memandang wajahnya sekilas. Bait-bait puisi yang dibacakan Florentino dengan getar kata penuh perasaan akhirnya meluluhkan hati Fermina, hingga gadis ini bersedia menikah dengannya.

Namun ayah sang dara (John Leguziamo) terlanjur mengirim putrinya untuk berdiam dengan keluarganya yang lebih kaya, di luar kota. Walau merana, Florentino terus memelihara cintanya melalui surat-surat cinta yang ditulis tanpa henti, dan tak terkirimkan,. Namun saat Fermina kembali, dia sudah menjadi perempuan yang berbeda. Waktu telah membuatnya dewasa, sehingga Fermina berpikir bila cinta monyet mereka dulu amat mustahil terjadi. Karena itu dia pun menikah dengan Juvenal Urbino (Benjamin Bratt), seorang dokter muda yang ganteng, yang dianggap lebih sepadan oleh Fermina. .

Florentino yang tak ingin mati merana dan sia-sia, berjuang sekuat tenaga untuk menaikkan harga dirinya. Dia segera sukses berniaga. Malam demi malam, dia mengisi tempat tidurnya dengan wanita cantik. Namun ruang di hatinya tetap hampa, walau seorang jutawan bernama Senor Daza juga menawarkan juga puterinya yang jelita.

Tahun demi tahun berkelebat cepat, dan semuanya pun beranjak tua. Menjelang usia senja, pernikahan Fermina ambruk akibat perselingkuhan suaminya dengan pasien wanitanya. Tak lama kemudian Juvenal tewas terserang kolera, meninggalkan Fermina, sebagai janda. Namun di sana ada Florentino, yang tetap merindukan cinta Fermina dalam baying-bayang kesedihannya. Setelah sekian lama, terjadilah pertemuan dua cinta terhalang. Fermina masih bisa meraba getaran cinta masa remaja dan Florentino masih terpesona oleh cemerlang pandang Fermina yang selama ini didambakannya. Namun bisakah cinta di usia senja ini terjalin ketika ajal saling bermunculan di balik kabut kelam wabah kolera ?

Setelah menyimak film ini dengan seksama, setidaknya muncul sebuah pertanyaan : apakah narasi kata-kata Gabriel Garcia Marquez, yang begitu sugestif dan imajinatif, terlalu sukar untuk diterjemahkan dalam bahasa gambar ? Mike Newell berhasil memberi roh pada satu dua adegan cinta yang dalam plot novelnya cukup menggetarkan. Namun adegan yang seharusnya menggambarkan amuk rindu dendam dari cinta yang membakar jiwa, sepertinya luput dari rekaman kamera. Tak ada bedanya gejolak ‘arus dalam’ haru-biru perasaan di antara gambaran karakter berusia muda dan saat mereka berusia senja. Bukankah bentuk fisik yang berbeda menimbulkan gestur dan bahasa tubuh yang tidak juga sama ?

Bisa ditangkap ketidaksabaran sutradara untuk menghanyutkan diri melarasi narasi hikayat yang penuh liukan panjang, hingga nampaklah jelas keinginan sutradara untuk membuat film roman ala Hollywood. Aktor watak sekelas Javier Bardem (yang menunjukkan kekuatan akting yang prima dalam Ghost of Ghoya) sepertinya dibiarkan berakting apa adanya. Aktris Giovanna ezzogiorno (pemeran Fermina), memang jelita. Namun logat Italianya yang begitu kental menimbulkan kesan mis-casting, karena bukankah kisahnya berlokasi di Argentina ?

Tentu ada juga pemain yang bisa larut menghayati peran yang dibawakan. Akting dua aktris pendukung sepertiFernanda Montenegro (meraih nominasi Oscar dalam film Walter Salles yang berjudul Central Station ) dan si cantik Catalina Sandino Moreno( meraih nominasi Oscar dalam Maria Full of Grace) yang berperan sebagai sahabat karib Farmina, bisa memberi makna pada cerita.

Dalam daftar film yang diangkat dari kisah novel ternama, apakah Love in the Time of Cholera ini hanya memperpanjang deretan dari film yang gagal menghadirkan pesona naskah aslinya ? Untunglah masih ada juru kamera dan pemadu gambar, yang berusaha keras untuk menghadirkan idiom visual yang cukup puitis, sehingga nuansa realisme-magis, yang menjadi kekuatan narasi novelis Gabriel Garcia Marquez, agak bisa diresapi dalam film yang berdurasi 139 menit ini .

(Heru Emka – pengamat film )

Sihir Gothic Metal

Para personik Corvus Corax : Teufel, Castus Rabensang, Meister Selbfried, Ardor vom Venushügel, Wim; sitting: Harmann der Drescher, Hatz, Patrick der Kalauer . Penampilan ala Gothic yang cenderung kelam

Setelah mendengar seluruh album Corvus Corax ( lihat foto mereka di atas) yang berjudul Cantus Buranus (Roadrunner Recirds, 2005), saya melakukan uji coba dengar. Saya ajak seorang teman; Amelia Priscandini - dia pecinta berat musik klasik – untuk menyimak beberapa lagu seperti Dulcissima, Lingus Mendax, dan Ergo Bihamus. “ Ini kan lagu-lagu opera, tapi aransemennya kok seperti lagu metal ya ?,” tanya Amelia spontan. Sebaliknya pada uji dengar pada person yang berbeda; Anto ‘Priest’, - anak arsitektur yang hingga kini masih setia sebagai ‘headbanger metal’ – muncul komentar seperti ini, “ Lagunya metal nih. Tapi gayanya kok jadul.Antik banget. Lagunya siapa sih ?.”

Keduanya nggak salah. Yang dibawakan oleh Corvus Corax tadi memang lagu opera Carmina Burana, gubahan komponis Carl Off, yang menulisnya di awal Abad Pertengahan (tahun 1300-an). Dan Corvus Corax adalah grup metal dari Jerman, yang sejak awal memilih tamasya musik ke masa silam, menelusuri perbendaharaan lagu Eropa pada era Gothic sejati, di Abad Pertengahan. Gaya musik mereka cukup unik, antara lain memainkan alat musik kuno seperti bag pipe dan sebagainya. Eksistensi Corvus Corax sendiri termasuk ‘metal banget’. Oh ya, Corvus Corax adalah nama Latin untuk burung gagak. Penampilan mereka diatas panggung cukup teaterikal. Kadang nampak seram dengan hubah panjang misteriis atau berkostum seperti karnaval, bertopeng dengan wajah ganjil dan sebagainya.

Grup ini dibentuk pada tahun 1989 oleh Castus Rabensang dan Venustus ini sekarang eksis dengan enam personil lainnya; Ardor vom Venushügel, Patrick der Kalauer, Harmann der Drescher, Hatz, Meister Selbfried, Teufel (yang ini bahasa Jerman untuk kata Devil). Cantus Buranus ini adalah album mereka yang ke lima belas, sejak mereka merilis album perdana; Tempi Antiquii (1988). Dengan album yang sebagian besar judulnya menggunakan bahasa Latin, Corvus Corax cukup berjaya di kubu musik Gothic Metal. Penampilan mereka di atas panggung juga dinantikan. Tahun kemarin misalnya, mereka menggelar ‘konser rahasia’ di ajangh festival musik Gothic Metal AS; Pennsylvania Renaissance Faire, bersama grup keraslainnya seperti Judas Priest, Atrocity, Holy Moses dan lainnya.

Metal Simfonik

Gothic Metal memang genre musik yang tampil beda. Perhatikan saja nama-nama ini : Aeternitas, Aion, Atargatis, Labores Somnium, Myriads, Xandria Mungkin nama-nama ini terlalu indah dan puistis bagi grup metal, yang sebelumnya lekat dengan imaji brutal dan kasar. Gothic metal sebagai genre musik, berkembang di Eropa pada awal tahun 1990-an, sebagai subgenre dari aliran musik doom metal, yang banyak menampilkan tema-tema kelam, seperti maut dan sebagainya.

Saat ini mereka yang tergolong sebagai grup Gothic-Doom metal antara lain adalah Artrosis, Cryptal Darkness, Lacrimosa, Mandragora Scream, Type O Negative, Visceral Evisceration . Sedangkan mereka yang ada di jalur Gothiic Black di antaranya Anorexia Nervosa, Bal-Sagoth, Dimmu Borgir, Limbonic Art, Lux Occulta. Yang punya permainan lebih rapi ada di jalur Symphonic metal, di antaranya adalah :After Forever, Autumn, Epica, Therion. Sedangkan grup lainnya Angra , Excalion, Lunatica dan Stratovarius, oleh para kritisi musik metal ditempatkan di jalur Symphonic Power Metal.

Defenisi musik Gothic metal sendiri sampai kini masih mengundang perdebatan, karena gaya komposisi dan estetika musik yang dibawakan begitu beragam. Yang jelas dalam gothic metal, virtuositas pribadi personil ditinggalkan, dan lebih mengutamakan harmoni sebagai konsep utama. Penampilan dua vokalis dengan tekstur suara yang berbeda kontras (banyak di antara mereka menggunakan dua vokalis pria dan wanita) dan sering tampil dengan gaya nyanyi pendeta Gregorian yang antik namun terdengar keren.Sedang pemakaian gitar akustik dan kibor yang menjadi unsur bunyi utama.

Dari segi komposisi, gaya ini lebih mengacu pada konsep musik doom metal atau black metal, yang melodi dan ritemnya diwarnai bunyi synthesizer yang berat. Seperti vokal pria dan wanita yang tampil bersamaan dalam warna nada yang berbeda, gitar akustik juga menjalin melodi tersendiri dengan gitar listrik, dalam nada yang kadang terdengar rumit. Kibor yang tampil dominan dalam menghadirkan unsur suara string dan alat musik tiup, membuat mereka lebih sering menampilkan harmoni orkestrasi simfonik, hingga gaya musik ini juga disebut sebagai symphonic metal.

Dari sisi lirik, nampak gaya yang paling khas, yakni menampilkan tema fantasi yang bersumber pada berbagai kisah legenda fantasi Eropa pada Abad Pertengahan, dengan segala pengembangan dan tafsir yang baru. Tak heran bila nama dan kalimat dalam bahasa Latin sering muncul, juga kisah tentang para ksatria, putri jelita, penyihir, mahluk gaib dan peperangan dahsyat sering diangkat sebagai tema lirik yang memikat, dan berbeda jauh dengan lirik band death metal Amerika yang seringkali bertemakan sadisme yang berdatah dan horor seram.

Dongeng yang dilagukan

Lirik lagu dari band gothic metal bahkan sering tersusun dalam suatu tema terbingkai cerita yang panjang, sehingga album itu tak ubahnya sebuah kisah fantasi dongeng yang dilagukan. Setiap lagu punya hubungan cerita dengan lagu lainnya. Hal ini bisa disimak, antara lain pada album grup seperti Penumbra ( Seclusion) atau Silentium ( yang berjudul Sufferion - Hamartia of Prudence). Satu lagi yang membuat album mereka asyik dikoleksi; sampul album yang artistik, dengan berbagai judul yang puitis. Salah satu contohnya adalah sampul album Anathema yang berjudul dan A Natural Disaster (2004) Nama lain yang cukup berjaya adalah Theatre of Tragedy, band asal Stavanger, Norwegia ini cukup unik, karena dalam tiga album pertamanya menggunakan lirik lagu bahasa Inggris kuno.

Theatre of Tragedy juga mempelopori gaya duo vokal yang kontras; vokalis pria bernyanyi pada nada bas, yang membuatnya terdengar seperti menggeram,- sementara vokalis wanita band ini bernyanti gaya sopran yang melengking. Theatre of Tragedy yang dibentuk pada tahun 1993 ini, tadinya bernama Suffering Grief, yang kemudian berganti nama menjadi Le Reine Noir sebelum memantapkan diri dengan nama Theatre of Tragedy.di tahun 1995.
Kini personil band ini adalah : Raymond István Rohonyi dan Nell Sigland (Vocal), Frank Claussen (gitar), Vegard K. Thorsen (gitar), Lorentz Aspen (kibor) dan Hein Frode Hansen (drum). Biduanita Nell Sigland (The Crest) datang bergabung untuk Liv Kristine. Sejak merilis album pertama yang berjudul Theatre of Tragedy (1995), mereka sudah merilis lima album lagi. Yang terbaru berjudul Storm yang ditilis pada 24 Maret

Lama lain yang sekarang cukup beken adalah Anathema, grup asal Liverpool, yang bersama Paradise Lost dan My Dying Bride mengembangkan genre doom death metal. Personil Anathema adalah tiga bersaudara Vincent (vocals, rhythm guitar), Daniel (lead guitar) dan Jamie Cavanagh (bass), Les Smith (kibor) dan John Douglas (drum). Anathema yang terbentuk di tahun 1990 dengan nama Pagan Angel. Dalam tempo tiga tahunh, mereka melejit dan menggelar konser keliling Eropa, di susul penampilan di panggung Independent Rock Festival di Brazil (1994)

Saat merilis album The Silent Enigma, mereka membalik gaya musik dengan menampilkan unsur Gothik yang kental. Walau fans berat mereka menerima perubahan ini, Daniel Cavanagh justru memutuskan keluar untuk bergabung dengan band lain; Antimatter. Untung dia segera balik ke Anathema dan merilis A Natural Disaster(2003), yang menjadialbum terbaik mereka. Hingga kini tujuh album telah mereka hasilkan, antara lain : Serenades (1993), The Silent Enigma (1995), Eternit y (1996), Alternative 4 (1998), Judgement (1999), A Fine Day to Exit (2001) dan A Natural Disaster (2004)

( Heru Emka, pengamat musik, tinggal di Semarang)


“My Blueberry Nights”


Perjalanan Puitik Melipur Lara

Sebuah film bisa bermakna bagi penontonnya bila film itu bukan lagi sekedar sebuah tontonan, namun mampu menjadi sumber inspirasi yang mencerahkan. Dan film “My Blueberry Nights” karya Wong Kar Wai memenuhi kriteria seperti ini karena membawa penontonnya dalam sebuah perjalanman dramatis tak saja melintasi jarak yang panjang, namun juga menyeberangi jarak kepedihan antara patah hati dan pemulihannya sebagai pertumbuhan babak kehidupan yang baru.

My Blueberry Nights” yang menjadi film berbahasa Inggris pertama dari sutradara asal Hong Kong ini, berkisah tentang keberanian seseorang untuk mencari ufuk cakrawala yang baru dari kehidupan yang kelam. Setelah hatinya remuk redam karena percintaan yang gagal, Elizabeth (dimainkan dengan bagus oleh penyanyi jazz Norah Jones ) memutuskan untuk melakukan perjalanan keliling Amerika, meninggalkan semua kenangan hidupnya, semua mimpi dan kekasih tambatan hati ; seorang pemilik kafe yang bernama Jeremy (Jude Law).

Dalam upayanya untuk melipur lara, Elizabeth bekerja sebagai pramusaji di kafe yang ada di kota-kota yang disinggahinya. Di sanalah dia menemukan sahabat dan orang lain yang punya berbagai beban kehidupan dan cara mereka mengatasinya. Di antara temannya dalam berbagi kisah hidup nyata lain seorang polisi yang dirundung masalah (David Strathairn) dan seorang isteri yang tersingkir (Rachel Weisz), seorang yang mengejar kebahagiaan hati (Natalie Portman). Saat mengamati pribadi-pribadi seperti ini, Elizabeth menjadi saksi betapa menyedihkan bila seseorang memiliki perasaan hampa dan kesepian yang parah jauh di relung hatinya. Dia pun mulai memahami bila perjalanan yang telah dilakukan memang bermasnfaat sebagai bagian dari penjelajahan jiwa dan lorong hatinya sendiri.

. Bagi para percinta film sejati: para aktor, sutradara, produser , kritikus film dan para sineas lainnya,- Cannes telah lama menjadi tempat idaman. Setiap bulan Mei, di kawasan sekitar pantai Riviera yang indah berlangsung pesta merayakan perkembangan sinema dunia. Udara sejuk yang berhembus dari cakrawala Mediterrania menjadi pengantar yang nyaman bagi pemutaran puluhan film terpilih yang datang dua atau tiga puluhan negara, yang semua menampilkan pendekatan yang berbeda dari berbagai sudut pandang budaya. Selama ini festival Cannes bahkan menjadi antitesa bagi sinema ala Hollywood yang digarap dengan untuk kepentingan komersial semata. Faktanya, memang semua film yang muncul di festival Cannes adalah film yang punya keunggulan artistic tersendiri.

Indah namun menyakitkan

My Blueberry Nights” mendapat kehormatan untuk membuka Festival Film Cannes yang ke 60, yang berlangsung bulan Mei lalu. Bagi Wong Kar Wai sendiri, film bukanlah sesuatu yang ‘besar’, namun beberapa hal ‘kecil’, semacam pertumbuhan tekstur gambar dan impuls narasi yang mengalir begitu saja Wong juga dikenal sebagai seorang ‘master miniaturist’, yang piawai menampilkan detil-detil sepele dalam sebuah scene yang memikat.

Bila kita memperhatikan setiap karyanya, nampak jelas bila Wong Kar Wai adalah kreator yang piawai merangkai masalah yang nampaknya sepele dari orang-orang kalah; lelaki fatalistik atau perempuan perasa,- dirangkai dalam kisah yang menyentuh, kadang menyakitkan, namun membekas dalam ingatan. Dia sering ‘membungkus’ para perempuan cantik yang bernasib malang itu dalam adegan bergaya visual-emosionalnya yang jelas. Paduan antara asap sigaret yang melayang lamban dengan langkah kaki yang terekam dalam slow motion, atau misalnya detil sebuah pandangan sekilas yang tersamar. Semua ini memberi makna pada sesuatu yang nampak biasa saja.

Setiap kali menemukan karakter atau situasi yang membuatnya terpesona, Wong cenderung untuk menginterpretasikannya dalam beberapa film. Di tahun 1994 misalnya, dia menggarap “Chungking Express” sebagai tika rangkaian kisah, namun hanya dua kisah yang dibesut. Kisah yang ketiga ternyata menjelma sebagai film berikutnya; yang berjudul Fallen Angels”. Beberapa tahun kemudian dia menggarap “In the Mood for Love”, yang berkisah tentang seprang penulis ( diperankan Tony Leung ) yang jatuh cinta pada seorang perempuan yang sudah menikah,- karakter seperti ini muncul lagi dalam filmnya; 2046”.

Karena itu saya tak terlalu heran bila film terbarunya, “My Blueberry Nights”, yang bergaya road movie (bermula dengan sebuah adegan di Venice, California, lalu muncul kilas balik berbagai adegan di Memphis dan Nevada, dan berakhir di New York City), muncul juga adegan yang mirip dengan”In the Mood for Love” atau “2046”).

Walau baru pertama kali berakting di film ini, Norah Jones cukup berhasil memainkan peran sebagai Elizabeth, perempuan muda yang nyaris depresi karena patah hati. Di setiap persinggahan di berbagai kota yang dikunjunginya, dia selalu memesan kue pie dengan rasa blueberry, dan menyantapnya diam diam dalam keheningan yang disukainya. Dalam perjalanannya dari New York hingga Memphis, dia bekerja sebagai pramusaji di mana dia berteman dengan seorang polisi pemabuk (David Strathairn), seorang perempuan bernama Sue Lynne (Rachel Weisz) dengan kehidupan rumah tangga yang goyah sehingga dia memutuskan untuk minggat. Saat singgah di Nevada, Elizabeth bekerja sebagai penyaji cocktail di sebuah kasino. Di situlah dia bertemu dengan Leslie (Natalie Portman), penjudi cerdas yang bermulut tajam yang diam-diam tak kunjung menemukan kebahagiaan hati.

Dan Natalie Portman, sungguh nampak mengesankan melihat dia meninggalkan citranya sebagai maharani belia (trilogi Stars War). Dia menampilkan sepenuhnya pesona perempuan dewasa (25 tahun) dengan bentuk tubuhnya yang sempurna. Leslie yang memesona dengan rambut pirangnya ini dengan lincah menggoda para penjudi untuk bertaruh dengannya. Akting Natalie pun nampak berkembang pesat. Penonton pasti akan menikmati adegan saat Leslie dengan cerdas membuat para penjudi tetap tertawa, walau gadis cerdik itu membuat mereka mentah-mentah dijadikan pecundang..

(Heru Emka, pengamat film - Tulisan ini pernah dimuat di harian Suara Merdeka )


Post-Human

dan Tubuh yang Rawan

Saat memandang karya grafis Andre Tanama ( di atas) yang berjudul Hegemoni Teknologi, saya merasa bila karya cetak digital yang menjuarai Trienal Seni Grafis Indonesia II (2006) ini mendedahkan problematika tentang tubuh ( sekaligus posisinya yang mewakili kehidupan alamiah) dan posisinya yang semakin tak berdaya menghadapi cengkeraman teknologi. Sesosok tubuh dengan rambut bergelung (imaji dunia wayang, gambaran mitologis tubuh yang ideal) terduduk dengan tangan kanan tersilang di atas lutut yang tertekuk, sedang tangan kirinya menutupi muka. Seolah sedang memikirkan dilema yang pelik atau bahkan sedang berduka. Dia diapit oleh sosok tubuh bersayap (imaji ontologis malaikat) yang nampak melayang di atas gumpalan awan hitam.

Yang mencengangkan adalah wajah semua ‘mahluk’ itu mengerucut bagai tabung yang meruncing ke depan, bentuk yang mengesankan sebuah topeng oksigen bagi sebuah lingkungan yang tercemar berat. Dan itu bukanlah topeng, namun wajah kedua mahluk yang tak ubahnya mutan. Betapa hegemoni teknologi telah merembes ke ranah mitologis dan ontologis. Bukan ruang yang menjadi latar belakang adegan ini adalah cetak biru sebuah sirkuit terpadu ? .

Bagi saya, ruang yang disaksikan para pemirsa (viewer) karya grafis ini jelas mejadi sebuah ruang sosial . Saya bahkan merasakan korelasi antara pemirsa dengan realitas imajiner yang cukup representasional. Soal fakta yang menjadi fiksional, dengan realitasnya yang jauh atau dekat, ruang sosial yang tergambar dalam karya grafis Andre Tanama ini menunjukkan sebuah formasi sosial yang tumpang tindih : realitas teknologis yang merasuk hingga ke bidang wacana ontologis : Apakah tubuh yang tercangkok dengan perangkat teknologis masih menunjukkan keutuhan wacana kemanusiaan dan tetap menggenggam dominasi idea ketuhanan dalam realitas dan kondisi post human ?

Film Johnny Mnemonic mungkin menggambarkan situasi yang lebih radikal lagi. Data komputer yang amat besar di-download ke dalam ingatan Johnny, yang harus segera disampaikan ke alamat penerima, sebelum data itu merembes dan mencemari otaknya. Adegan fiksi tadi kini bahkan meluber dengan kenyataan seorang Derek ( 14 tahun ) dengan chip ( seukuran sebutir beras ) mikro komputer yang dicangkokkan ke lengannya, dan dihubungkan dengan sebuah database ADS (Apllied Digital Solution, sebuah perusahaan hi-tech di Florida, AS). Chip itu sendiri multi fungsi. Selain bisa memberikan informasi kesehatan Derek pada rumah sakit, juga bisa digunakan sebagai penyimpanan data personal Derek. Dan tentu saja chip itu sekaligus menjadi alat penentu posisi (global positioning device) yang bisa melacak ke manapun Derek berada.

Chip yang tertanam di lengan Derek memang belum menjadikan anak itu sebuah cyborg. Namun dengan sebuah chip yang tertanam di lengannya, Derek sudah menjadi anak yang ‘berbeda’. Tak saja secara fisik semata, karena tubuhnya harus diberi makna yang berbeda. Dia sedang dalam perjalanan menuju kondisi posthuman. Dalam konsep ini, tubuh tak lagi menjadi kunci utama dalam sebuah identitas biologis, namun sudah menjadi identitas ‘yang lain’. Atau dalam penjelasan Foucault, ‘tubuh pun menjadi sosok tak berdaya (inert mass) yang dikendalikan oleh berbagai wacana yang berpusat pada pikiran’.

Tubuh yang tak bahagia

Karena kendali wacana inilah, hasrat untuk menjadi tegap perkasa, langsing, cantik atau seksi kadang membuat orang rela menyakiti dirinya sendiri, melaparkan diri di luar kelaziman, atau memacu kerja otot tubuh di luar kewajaran normal. Hasrat untuk melebihi realitas tubuh yang alamiah ini juga membuat orang rela membelah tubuh untuk menggapai tubuh artifisial yang baru. Sekat antara badan dan pikiran semakin samar dengan anggapan bahwa yang berubah bukanlah tubuh material, melainkan hanya pengertian abstrak mengenai tubuh.

Salon-salon kecantikan semakin sibuk menawarkan mantera baru : pelayanan menghilangkan kerut wajah seketika, atau mencegah penuaan dini, seolah-olah mereka bisa menghentikan atau membalikkan waktu. Berbagai klinik pria juga menawarkan pemasangan protesa yang ditanam dalam kelamin pria, sehingga dia bisa ereksi kapan saja hanya dengan memencet tombol yang mengalirkan cairan ke batang phallus. Bisa on / off semaunya tanpa memikirkan bahaya bila ‘mesin seks’yang tertanam di tubuhnya itu mogok bekerja.

Dalam konsep pemikiran posthuman memang tak ada lagi perbedaan penting atau pemisahan mutlak antara eksistensi tubuh dengan simulasi komputer, atau penempelan daging dan pengeratan tulang. Batasan antara organisme biologis dan mekanis sibernetik sudah jalin menjalin. Bahkan di Beijing (Desember 2006) orang-orang merasa bangga dan merayakan kepalsuannya, dengan menyelenggarakan Miss Artificial Beauty ( Ratu Kecantikan Buatan ) yang pesertanya khusus perempuan yang sudah mempercantik diri dengan operasi plastik. .

Kita memang berhadapan dengan fakta , kini lah era ’kebangkitan tubuh’ sebagai bagian integral dari identitas moderen. Sayangnya gambaran tak utuh, karena seperti yang dikatakan Foucault dalam The Care of The Self (1986), bahwa ‘tubuh-tubuh yang tak bahagia’ (unhappy bodies ) sekaligus tampil sebagai tubuh yang rawan.

Bagai Narsisus yang tergila-gila pada diri sendiri, semakin banyak perempuan yang memandang pantulan dirinya dalam cermin dan menemukan betapa dirinya dikuasai hasrat untuk tampil secantik model dalam iklan televisi, walau sebenarnya kita paham juga betapa mudah kamera berdusta. Ide untuk memiliki tubuh yang prima, akhirnya malah menjajah tubuh itu sendiri, dan faktanya menunjukkan berbagai bentuk hasrat yang serba berlebihan (hyper desire ), setelah bisa mengencangkan lagi pipi yang kempot, semua bagian tubuh pun ingin dirombak : membesarkan - mengecilkan payudara, pinggang, paha, betis,- bahkan hingga restrukturasi virginitas.

Dalam sudut pandang kajian budaya, kita percaya bahwa pola pikiran masyarakat terefleksikan dalam tubuh. Problema kosmologi, gender, dan moralitas memang ikut menjelma sebagai persoalan-persoalan yang dialami tubuh. Tubuh fisik adalah juga tubuh sosial (the physical body is also social). Bahkan menurut Marcel Mauss, salah satu cara untuk mengetahui peradaban manusia adalah dengan berusaha mengetahui bagaimana masyarakat itu menggunakan tubuhnya. Tubuh adalah instrumen yang paling natural dari manusia, yang dapat dipelajari dengan cara yang berbeda sesuai dengan kultur masing-masing.

(Heru Emka, peminat kajian budaya, tinggal di Semarang )

Pemberontakan musik klasik

Pagelaran pianis klasik Maksim, yang bertajuk Modern Classics The Tour 2005, di Stadion Tennis Indoor, Jakarta,- dinyatakan sukses. Ini pagelaran Maksim yang kedua di Indonesia. Sebelumnya Vanessa Mae dan juga Bond, kwartet musik gesek yang terdiri dari empat perempuan seksi,, juga sukses menggelar konser musik klasik di Jakarta.

Banyaknya anak muda yang berduyun-duyun menonton pagelaran mereka sepertinya membuktikan bahwa musik klasik, yang dianggap sukar dinikmati oleh orang kebanyakan- ternyata malah menunjukkan fakta bila musiki klasik masih disukai oleh semua orang. Baik mereka yang sudah berusia tua atau mereka yang berusia lebih muda.

Itulah sebabnya, konduktor Leonard Bernstein di tahun ’70-an, mengucapkan sebuah semboyan: “ Musik klasik adalah musik abadi,” Pendapat Bernstein, yang oleh kalangan musik lain sering dianggap arogan ini,- sebenarnya mengacu pada beberapa fakta yang memang harus diakui kebenarannya.

Pertama, sejak berabad-abad silam, musik klasik bisa bertahan melawan gerusan jaman. Bahkan di abad 19, di saat musik pemberontakan ( jazz dan rock ) bermunculan, musik klasik tetap mampu bertahan. Bukan itu saja, musik klasik pun terus dimainkan seperti di saat komposisinya pertama kali dituliskan. Tak pernah ada perubahan notasi atau gaya, karena musik klasik mengharamkan permainan yang tidak setia pada notasi, yang berlaku sebagai hukum yang harus dipatuhi oleh para kerabat musik klasik ( baik konduktor atau musisinya ) secara ketat.

Musik klasik yang pada mulanya merupakan musik klangenan para bangsawan di berbagai istana di Eropa, kemudian menumbuhkan kelas sosial tersendiri di masyarakat Eropa. Terbawa tradisi para aristokrat istana, mereka memperlakukan pagelaran musik klasik sebagai sebuah kesenian yang mulia (high art). Dalam kultus ini muncul peraturan tak tertulis yang mengharuskan setiap pemain musik klasik memajang partitur sebagai penghargaan bagi parta komponis, serta mengenakan busana resmi (setelan jas tuksedo) bila memainkan musik klasik sebagai musik yang terhormat.

Yang lebih konyol lagi, adalah munculnya anggapan bahwa musik klasik hanya bisa dinikmati oleh mereka yang memiliki tingkatan (quotient) budaya atau intelgensia yang tinggi. Akibatnya banyak orang kaya yang justru snob, memajang koleksi piringan hitam musik klasik, atau berbondong-bondong menghadiri konser musik klasik walau mereka kurang bisa menikmati musik ini, dan datang ke gedung konser hanya demi sebuah snobisme, agar dianggap melek musik klasik, alias menjadi insan berbudaya.

Apresiasi benci tapi rindu

Semua kepongahan budaya ini tentu saja menimbulkan perlawanan, tak saja dari para seniman pencetus budaya tandingan, namun juga dari kalangan musik klasik sendiri. Albert Goldman dalam bukunya Classic ! Music to Hate,- menyebutkan bahwa di awal masa pertumbuhannya, musik klasik hanya tersisa dalam bentuk mitos dan legenda saja. Jumlah komponis yang bermutu menurun tajam, sedangkan jumlah para penggemar musik klasik cenderung mengkerucut dalam ekslusivisme yang sempit.

Banyak komposisi ringan dalam musik klasik yang berpengaruh secara luas ikut mewarnai berbagai gerak kesenian, termasuk menjadi lagu tema dalam sebuah film. Namun banyak merasa ‘ketakutan’ begitu berhadapan dengan istilah ‘konser musik klasik’ ,’simfoni’ atau ‘orkestra’, dan membayangkan sebagai sebentuk karya seni yang sukar dicerna. Itulah sebabnya dari kalangan musik klasik sendiri muncul beberapa ‘gerakan pemberontakan’. Misalnya kwartet cello Apocalyptica ( nama ini artinya kira-kira ‘ramalan hari kiamat’), yang dimotori oleh Eicca Toppinen bersama tiga rekannya yang alumni Konservatori Musik Finlandia. Keempatnya tak cuma berambut gondrong dan berbusana hitam-hitam, namun juga memain lagu thrash metal Metalicca secara instrumental, dengan menggunakan musik gesek mereka. Tentu saja ini merupakan sebuah fenomena yang menarik.

Upaya untuk membuat agar lebih banyak kaum muda yang menyukai musik klasik dan hanya dilakukan dengan merilis serangkaian album komposisi klasik dalam bentuk yang lebih ringan. Selain aransemen lebih disederhanakan, durasinya juga dipersingkat, yang dalam blantika musik disebut sebagai album semi-klasik. Bahkan tak jarang album yang mereka rilis muncul dalam bentuk yang agak ‘aneh’. Misalnya RCA Victor merilis album yang berjudul Classical Music FOR PEOPLE WHO HATE CLASSICAL MUSIC.

Sampul album yang menampilkan ilustrasi patung dada Sebastian Bach menjadi korban corat-coret graffiti ini menampilkan sedert komposisi musik klasik seperti Peer Gynt Suite no. 1 karya Grieg, Four Season-nya Vivaldi, Clarinet Concerto-nya Mozart, Clair de Lune-nya Debussy dan sebagainya, yang melodinya mewarnai sejumlah film laris Hollywood dan berbagai produk iklan ternama, namun tak dikenal orang sebagai komposisi musik klasik. Dengan kata lain, dimunculkan pendapat, musik klasik ternyata juga bisa nyaman didengar, di luar bingkai musik klasik yang angker. “ Steven Gates, yang menuliskan kata apresiasi di halaman sleeve album ini menyebutkan bila upaya ini dilakukan untuk memancing agar mereka yang membenci musik klasik, berbalik jadi rindu.

Dengung lebah beterbangan

Upaya untuk melucuti keangkeran musik klasik, dengan memadukan irama lain yang lebih disukai masyarakat ini, kemudian disebut dengan istilah crossover classic , yang artinya menunjukkan adanya prsilangan antara musik klasik dengan genre musik lainnya. Pada sisi inilah dunia menerima Bond, kwartet musisi perempuan yang memainkan musik klasik dengan gaya dan busana seksi. Daya pikat lain yang diberikan Bond adalah meramu musik klasik dengan gaya disko atau beat yang menghentak-hentak-enak. Aransemen yang cenderung ngepop, ritme yang membuat kaki mengetuk spontan. Saat menggelar konser di Jakarta, Bond malah memainkan lagu heavy metal Stairway to Heaven-nya Led Zeppelin dalam aransemen yang menawan.

Begitu juga dengan Maksim Mravica, pianis klasik dari Kroasia, yang berwajah ganteng dan bergaya trendi. Melihat penampilannya yang bagai seorang model, orang tak akan menduga bila si ganteng kelahiran kota Sibenik, kota semenanjung Laut Adriatik (1975) ini cukup dahsyat mengayun running jari jemarinya di bilah tuts piano akustik. Namun bila menyimak permainan Maksim pada nomor pendek Rimsky-Korsakov, The Flight of the Bumblee-Bee (selain dimainkan dalam konsernya di Jakarta tahun silam, juga bisa Anda saksikan dalam DVD Maksim, the piano player, yang dirilis EMI ) Anda pasti setuju bila Maksim tak hanya pintar bergaya, namun juga handal dalam semua teknik piano klasik, serta memiliki virtuositas seorang maestro. Dengeung lebah yang beterbangan cepat menjelma dalam hentakan tuts piano dengan presisi tinggi pada tempo yang saling bersilangan cepat. Nomor pendek Rimsky-Korsakov ini sering dianggap sebagai jebakan bagi virtuositas seorang pianis. Maksim mampu menaklukkannya justru dalam usia yang masih muda, dan wajah seganteng vokalis boys band.

Baik Maksim, Vanessa Mae ataupun Bond, memang bisa dibilang sebagai orang yang berlari di jalan yang telah dirintis oleh pendahulu mereka, karena sebelumnya telah muncul The Cronos Quartet dan Nigel Kennedy. The Cronos Quartet memainkan musik klasik dengan aransemen yang kadang agak jazzy atau ngerock. Mereka bahkan memainkan lagu rock Jimi Hendrik dalam konser musik klasik mereka. Sedangkan pemain biola Nigel Kennedy tak saja merupakan seorang solis dengan penampilan punk, permainannya juga mengaduk-aduk konvensi musik klasik. Gaya crossover malah bisa dibilang bermula dari dia.

Andai Risky-Korsakov atau para sesepuh musik klasik lainnya melihay karyanya dimainkan oleh generasi muda seperti Maksim, tanpa menyertakan notasi musik dari komposisi yang diciptakannya, bisa jadi mereka akan mendelik dan berkata gusar,” Kurang ajar sekali anak muda ini, memainkan karya orang seenaknya saja.” Padahal, sejujurnya, orang tak harus menikmati musik klasik dalam suasana super formal ( Anda bisa melihat kultus adi-konser ini dalam pagelaran kondukter Herbert von Karajan bersama Wiener Philharmoniker yang memainkan Requiem Verdi – dalam DVD yang dirilis Sony Classical ). Orang harus bisa menikmati komposisi musik klasik dalam pilihan yang diinginkannya. (Heru Emka )

Komik / Wayang ;


" Sang Jagoan di

Persimpangan Jalan "

1.

“ Kenapa nasib wayang kita begitu mengenaskan ? Padahal kesenian lainnya yangn juga telah berusia lama seperti kabuki di Jepang dan opera di Eropa masih bisa cemerlang hingga sekarang ?.”

Pertanyaan ini dilontarkan Bu Nini, seorang guru di sebuah SMK,- seusai menyaksikan berbagai adegan yang terpampang dalam pameran foto ‘Ngesti Pandowo – Nyelaras Ing Zaman’ di Rumah Seni Yaitu ( Semarang, 1 – 7 Juli 2006 yang lalu ). Deretan foto yang ada memang menggambarkan redupnya kehidupan para seniman wayang orang.. Para pemain tua yang mencoba berdandan, seakan mencoba meraih imaji yang telah tenggelam, bayangan samar permaisuri rupawan yang telah begitu lama memudar. Lainnya adalah potret para raksasa dan sosok ksatria, yang kini tak mampu lagi mengundang perasaan penuh debar, lalu potret segelintir penonton ( beberapa di antaranya orang asing ) : Semua menyiratkan sebuah kemeriahan yang yang usai. Bahkan penjual tiket pun tertidur dim kursinya : Tak ada lagi penonton datang… Dan cerita wayang sendiri, bukankah semakin tertinggal, menjadi sebuah gaung, seperti nostalgia di lorong sejarah kebudayaan ?

Dalam situasi sekarang ini, wayang hanya berkelebat antara ada dan tiada. Apakah wayang akhirnya memang hanya bisa bertahan seperti makna katanya sendiri, sebagai ‘bayangan’?

2.

“ Ramayan Reborn !”, seru Virgin Comic dalam sebuah publikasi yang segera memancing perhatian para peminat komik dunia. Virgin Comic adalah, anak perusahaan DC Comics – yang dikenal sebagai konglomerat komik dunia. Tak ubahnya produser film terkemuka di Hollywood, DC Comics selalu mempersiapkan produksinya sebaik mungkin. Mereka dengan cermat mengintai peluang sebelum membidik pasar. Tentu saja mereka juga merancang tim kreatif yang membuat komik ini, selain mampu mencetak sukses komersial,- juga menampilkan kualitas artistik yang maksimal.

Ilustrator komik Ramayana yang digarap dalam bentuk novel-grafis ini ( dirilis bulan September nanti) adalah Alex Ross, ikon komik DC, yang selama ini dikenal sebagai arsitek di balik penampilan baru para super hero DC Comics. Ross adalah legenda komik masa kini yang berhasil merombak penampilan Spider Man menjadi lebih keren, dan karakter Batman menjadi lebih posmo. Dan di tangan Depak Chopra ( ingat bukunya Seven Spiritual Laws of Success dan Peace Is The Way yang meledak di pasaran ? ) dan sutradara Shekhar Kapur ( filmnya Elizabeth dan Bandit Queen juga mengundang pujian ) sebagai penulis cerita, Ramayana tak lagi menjadi legenda lama yang biasa dituturkan dalam dongeng, namun berubah menjadi kisah yang post-apocalyptical’, sebuah tafsir baru yang melakukan upaya mendekonstruksikan mitologi India yang berusia lebih dari dua ribu tahun.

Saya sempat mengintip sampul komik Ramayana garapan Alex Ross, yang memang menyegarkan citra wayang yang selama ini dilambangkan sebagai budaya Timur, dalam ‘sekapan’ citranya yang eksotik sekaligus terkungkung dalam imaji globaltentang dunia ketiga. Ilustrasi Alex Ross membuat figur Hanoman tampil menjadi sosok ‘Yang lain’ ( the other) dan memberi variasi tersendiri dalam kosmologi super hero Barat.

3.

Fakta tadi menunjukkan bahwa terobosan budaya ( yang sebenarnya bisa diupayakan ) mampu melontarkan Ramayana melampai sekat masa dan perbedaan budaya. Sementara dalam realitas kita, wayang semakin tersisih dari realitas budaya sehari-hari justru dalam buai nina bobo sebagai ‘seni adi luhung’, seperti yang biasa kita dengar dari para birokrat kebudayaan.

Kenyataan di lapangan yang berbeda ( wayang orang dan wayang kulit tak lagi menjadi seni yang seksi bagi anak muda, mulai tergusur dari jalur utama budaya, dan mulai membeku dalam kotak kaca pelestarian ) seharusnya memberi inspirasi, bahwa wayang harus mulai – dan selalu ditafsirkan kembali. Artinya wayang bukan harus dilestarikan, tapi justru harus hadir dalam arus jaman. Juga wayang harus disukai anak muda, karena mereka lah penggerak budaya di segala jaman.

Bahkan dalam kultur hidup posmo, yang tak urung perlahan-lahan juga merembes ke Indonesia ini, bukan hanya wacana pemikiran budaya yang berubah. Maka Deleuze dan Guattari (dalam A Thousand Plateaus: Capitalism and Schizophrenia. London: The Athlone Press. 1988, hal 453) pun menyebutkan terbentuknya sebuah kondisi yang tak terelakkan bagi sebuah kehidupan kota kontemporer, yakni terciptanya ruang urban kapitalis yang mereka sebut sebagai ‘ kawasan tak berbatas ( the 'deterritorialization').

Dalam kondisi seperti ini, wayang berada di persimpangan jalan. Orang tak lagi mau berpanjang-panjang , dengan semua pengorbanan ( waktu dan tentu saja uang ) untuk nanggap wayang. Nama dalang kondang seperti Ki Mantep memang masih berkibar. Namun berapa puluh dalang kecil yang sekarang alih profesi karena tak kunjung dapat tanggapan ? Dan bukankah tanggapan dalang kondang itu kebanyakan datang dari kalangan instansi ( bukan duit pribadi ) ?


Konsep 'deteritorialisasi' di atas terbukti, dengan fakta ‘kawasan budaya’ seperti Sriwedari misalnya, tak lagi bermakna sebagai kawasan yang bisa menjaga kehidupan (realitas ) kesenian yang ada di sana, karena kota hanyalah ribuan keeping wilayah, dengan sorotan warna tunggal kapitalisme. Bahkan nama seperti Taman Budaya Raden Saleh terhuyung-huyung oleh gemerlap artifisial sebuah taman hiburan di sebelahnya.

Kita bisa menemukan benang merah dari pertanyaan kenapa drama tradisional Eropa ( teater Shakespearean misalnya ) masih punya banyak penonton, sementara wayang orang hidup segan mati tak mau ? Teater yang mementaskan cerita Shakespeare masih ditonton – juga oleh orang muda – karena dukungan para seniman dan intelektual dalam The Shakespearean Society, yang tak saja memikirkan konsep manajemen kesenian yang tepat, namun juga selalu merevitalisasi kisah Shakespeare dengan memberikan tafsir dan sudut pandang, wacana kajian baru. Narasi tentang karakter badut istana ( the fool) dalam King Lear, misalnya, telah menimbulkan berbagai reinterpretasi, baik dari sisi karakteristik hingga upaya untuk melakukan dekonstruksi dari pada narasi. ( Heru Emka )

Sabtu, 12 Januari 2008


Le Poete Maudit”

Cerita Pendek Heru Emka

Senja diam-diam mengambang dan menghisap panas mentari yang mereda. Hawa sejuk di hotel berbintang lima itu pun menyelimuti tubuh, menghapus keringat yang disisakan terik siang di jalanan. Riuh rendah deru-debu, teriak seru, eskspresi wajah-wajah kaku yang berjarak hanya selemparan batu, segera teredam lapisan kaca ber-AC. Tiga lantai berikutnya adalah ruang luas yang nyaman berisi gumam lembut perempun. Kursi empuk yang berderet rapi, dan hadirin yang berbusana indah dan semerbak wangi.

Kontradiksi ini mengingatkan aku pada apologi sopir taksi,” Maaf pak, AC-nya baru ngadat. Padahal tadi pagi masih sehat .” Dari MP-4 di pinggang, Mick Jagger berdendang “ You can’t always get what you want.” 1)

Cukup banyak juga tuan dan nyonya kaya Jakarta yang saling bersapa ceria di sana, terpadu gaya hidup yang kini cukup diminati : mengoleksi benda seni (sekaligus menakarnya sebagai peluang inmvestasi). Di kursi deretan depan ada Erica Hesti Wahyuni, pelukis yang cepat tersohor sejak karyanya menjadi incaran kolektor. Ada juga Agus Dermawan T., pengamat seni rupa, beberapa kolektor, pemilik galeri, selebihnya wajah-wajah mewah yang belum kukenali.

Aku datang untuk bertemu Nurul Arifin. Artis yang satu ini mulai senang berburu lukisan, sejak wajahnya dilukis oleh Jeihan. Aku akan meminta dia untuk tampil sebagai bintang tamu di acara Jaya Suprana Show. 2) Coffe break baru lima menit mulai saat Nurul Arifin memberikan konfirmasi tanda jadi. Lalu seorang perempuan muda menghampiri dengan pesan seperti sebuah teka-teki : “ Masihkah nama ini ada dalam ingatasn ? Ja pense toi joue et nuit3)

Pandangku penasaran menjelajah ruangan. Dan kulihat senyumnya saat dia melambaikan tangan. Ah..ah..Salindri Kuswardani. Anggota dewan dari partai XYZ, pengusaha muda yang naik daun di kota kami. Suka bicara ceplas-ceplos di media massa. Secara terbuka dia kritik kebijakan Gubernur yang dianggap menguntungkan para pendukungnya semasa Pilkada. Saat pihak yang merasa dirugikan berniat mengajukan tuntutan, Indri (begitu aku memanggilnya) tak gentar dan menantikannya di pengadilan. Namun seperti yang diduga oleh beberapa kalangan, tuntutan hukum itu tak pernah menjadi kenyataan. Pengacara kedua belah pihak sudah sepakat, untuk mengakhiri masalah dengan mufakat.

Setelah saling berjabat tangan dan bertukar basi-basi kesopanan, kami saling menatap wajah masing-masing, seakan melompati masa yang begitu lama memisahkan dan memberi kesan asing. Rasa ingin tahu berloncatan spontan, coba menakar apa yang masih tersisa dalam ingatan. Kelebat sinar mata sejak detik pertama, coba menengok lorong nostalgia. Menghitung seberapa banyak sisa keakraban yang terpendam.

“ Senang juga bisa ketemu lagi. Cukup lama ya kita tak jumpa. Mau kan ketemu lagi sama aku ?” tanyanya dengan sebuah senyum ceria.

“ Cukup lama juga. Kamu sudah jadi orang penting sekarang”

“ Kamu juga kan ? Aku tiga hari di sini, menjajaki kemungkinan membuka galeri. Bagaimana bila kita ngobrol nanti malam ? Bisa ?”

Begitulah. Jam delapan malam aku sudah ada di lobby, menanti Indri. Lalu muncullah dia dengan langkah kijang dalam gaun malam lace berwarna hitam. Belahan panjang di sisi kiri memberiku paha jenjang cemerlang bagai bulan sabit keperakan dalam selimut awan kelam. Lalu suasana bertukar dengan denting piano jazzy, di sebuah bar yang cozy. 4) Dan aku kembali tergoda untuk untuk berperan sebagai laba-laba di depan serangga. Apakah ini sebuah kesempatan atau jebakan ?

Dulu Indri masih mahasiswa Fakultas Sastra, dan aku salah satu penyair muda (bersama Bambang Soepranoto dan Nung Runua ) yang diundang untuk membaca sajak di acara Gairah Malam Bulan Purnama, di kampusnya. Ada beberapa mahasiswi lain yang segera jadi teman, seperti Ayu dan Widuri. Tapi aku paling terkenang Indri karena parasnya yang melankolis, seakan pandangannya dilaputi selaputtipis kesedihan. Karena itu aku kemudian menuliskan sajak untuknya : “ Adakah derita yang singgah tanpa sengaja, hingga senyuman begitu / singkat, bagai usia embun diserap surya ? Biar kucari melodi kata-kata / di heningmu. Dan benarkah redup sinar matamu tirai rahasia / dari sebuah mata air duka ? “

“ Well, pertemuan ini harus dirayakan dengan sebuah kesepakatan. Yang sudah biarlah lewat Kita bertemu dalam perspektif baru. Setuju ? “ katanya setelah mencicipi segelas mungil pinacolada 5).

“ Kau sepertinya sudah mengubur masa silam….”

“ Haruskah aku terus menjadi gadis sentimentilmu. Aku harus membuat hidup ini terus berjalan. Seperti kamu yang terus melangkah bersama gadis-gadismu.”

Sebuah adegan meloncat dari labirin ingatan : Aku berjalan mendekap pinggang Wieke, dan Indri melintas di depan dengan tawanya yang mendadak hilang, terhisap keberadaan kami berdua. Tak bisa kulupa wajahnya yang sedih dan bibirnya yang ternganga….

Padahal baru sebulan aku bersama Indri. Namun ego seniman menyodorkan sebuah kesombongan yang tak berguna. Paman Indri yang ajudan duta di Swedia bicara soal masa depan Indri dan ‘kemungkinannya’ bila dipertemukan dengan putera duta besar kita di Swedia. Yang paling naïf, semua ini diucapkan saat Indri bersamaku, secara demonstratif.

Perasaan tersinggung yang melambung dan harga diri yang melayang terlalu tinggi. Rasa marah yang membuat yang situasi yang salah kaprah bertambah parah. Lalu pertengkaran kecil yang beranak pinak dalam tempo singkat, berakhir dengan sebuah kalimat di sebuah surat : “ Kamu bukan kekasih yang tepat bagi seorang penyair, yang dikutuk untuk hidup hanya dengan cinta dan kata-kata. Bagiku apa gunanya berada di sorga bila tanpa kamu. Lebih baik aku terkutuk menjadi setan di neraka, tapi aku bahagia bila sempat memilikimu

Lalu aku berusaha menghapus bayangan Indri. Dan berbagai nama mengisi hari-hari yang silih berganti. Tapi tak ada yang menyentuh sampai lubuk hati. Tak ada yang punya bibir tipis kepucatan seperti bibir Indri. Ah, pandangannya yang seperti kerjap sinar lilin di kejauhan malam. Angannya yang polos tentang masa depan. “ Aku ingin jadi istrimu, punya anak banyak, masak yang enak .” Benar-benar kepasrahan ombak, yang rela kehilangan daya saat mencumbu pantai. Tapi, sialan, kami bagai nyiur dan salju. Bukan asam di gunung dan garam di laut yang bertemu dalam belanga. Aku lari ke Jakarta, Cirebon dan Jogya untuk melupakan luka cinta. Aku bekerja silih berganti, untuk mencari situasi yang bisa membuatku lupa pada Indri.

Aku seperti kapal hantu, bergentayangan di samudera cinta, tanpa mengenal bandar atau kuala. Bagai nakhoda yang gila topan, aku selalu menghindari persinggahan. Empat kali aku merasa menemukan pelabuhan hati, tapi berulang kali digerogoti sangsi.

Saat aku mencoba jujur pada diri sendiri, yang muncul sebait puisi : “ di hidup yang begini sunyi, aku tak tahu / senantiasa keluh, menunggu yang menghapus duka / senantiasa rubuh, membuang rindu yang ada6) Mabok mendamba cinta yang ternyata samar-samar saja, aku merasa bagaikan kelelawar yang “ di dingin malam aku berlagu, sinar purnama kawanku merindu, di suram kabut sendiri aku, di kelam maut aku menunggu7)

Tapi semua berubah tak terduga. Dan basa-basi yang terjadi sekarang ini tak bisa menghalangi kenangan yang seakan memancar deras dari pori-pori di tubuh kami. Beberapa kejap kemudian, tangan kami saling menggenggam. Sebuah nyanyian menyihir kami untuk sama mengayun langkah dalam dekapan. Stranger In The Night 8) mengalun dalam suara serak basah si penyanyi yang berleher jenjang. Kami bagai sepasang orang asing yang terdampar di tempat sama : di mana kesepian dan kerinduan saling membelit dan menyambar-nyambar.

“ Kok jadi pendiam sekarang ?,” katanya dalam dekapan.

Kamu jauh berubah. Tranquille, intelligent, sexy.” 9)

Tahu nggak, aku selalu menunggumu. Eh mana sikap mbelingmu dulu ? Aku

sudah tak menarik lagi ya ?.”

No, no, grosses mammelles, longies jambes ?10)

“ Sialan. Es-tu occupe maintenant ?, 11) tanyanya lagi.

“ Aku kini tim kreatif di sebuah acara televisi. Omong-omong, siapakah kekasihmu,” aku bertanya sambil menduga.

“ Ada. Tapi sudah putus.”

“ Sorry..”

“ Lupakanlah. La danse me rechauffe, “ 12) desahnya sambil mendekatkan wajah. Dan terjasdilah peristiwa yang selalu dikisahkan dalam roman picisan. Sebuah kecupan pendek, berbuah ciuman panjang, dan kemudian tak ada yang perduli kronologi waktu ketika pristiwa di sebuah bar meloncat ke dalam kamar, di lantai enam. Walau kami saling menginginkan, ternyata masih saling coba mengulur kesabaran.

“Apa yang biasa terjadi pada pertemuan para mantan ? “

“ Mencari kenangan silam, mencicipi yang paling manis dalam ingatan “

“ Bisakah teraba setelah begitu lama ?”

Just a stupid memory. Tapi aku tak bisa melupakanmu. Jawablah sejujurnya. Masih adakah rasa cintamu untukku ?”

“ Entah bagaimana, aku pun tak bisa lupa. Kau bagai berdiri di luar waktu, dengan senyuman yang selalu mengambang dalam kenangan.”

“ Dan kau menciumku dalam hujan. Ciuman pertama yang tak bisa hilang dari kenangan. Aku memilih sendiri, agar suatu saat kita bisa bertemu lagi.”

“ Seperti ini ? “

“ Ya. Seperti ini “

“ Yang dilakukan oleh siapa saja yang dibakar api cinta ? “

“ Yang dilakukan siapa saja yang rela hangus terbakar api cinta. “


Apa mau dikata. Kadang logika tak berdiam satu sarang dengan gairah. Aku tak mengerti, atas nama apakah hasrat cinta yang mati kembali berkobar lagi. Rasa bersalah ? Atau penebusannya ? Saat lalu perlahan menghapus kalimat. Ketika intonasi nada kata-kata terdengar berat, bisikan pelan pun terdengar hangat. Lalu sentuhan demi sentuhan berbagi tempat. Kutemukan lautan membelah di tubuhnya, dan gelombang yang berpusar lalu menarikku, menghisapku ke dalam palungnya.

L’amour interdit,” 13) gumamku.

Mmm…le poete maudit,” 14) bisiknya parau.


Semarang – 2007
Setelah obrolan bersama Saroni dan Lestat.

Catatan :

1) Sebuah lagu hit The Rolling Stones. Diciptakan untuk menggambarkan perasaan Mick Jagger tentang penghiburan bagi rasa kecewa saat putus cinta dengan pacarnya.

2) Sebuah talk show televisi yang pernah disiarkan oleh stasiun TPI.

3)” Aku masih mengenangmu siang dan malam”

4) Istilah yang sering dipakai untuk menyebut suasana yang nyaman, mengasyikkan.

5) Nama sejenis cocktail yang berasa segar

6) Dari sajak Potret Diri, termuat dalam kumpulan puisi Tanda ( Balai Pustaka, 1982)

7) Dari sajak Kelelawar, dalam Tanda ( Balai Pustaka, 1982)

8) 8) Versi asli lagu ini ditulis oleh Ivo Robie dalam bahasa Kroasia, berjudul “Stranci u Noci’. Lirik bahasa Inggrisnya ditulis oleh Charles Singleton dan Rddie Snyder, tentang cinta dalam pandangan pertama. Lagu ini mendunia sejak meraih Golden Globe sebagai lagu terbaik dalam film A Man Get Killed (1967). Dinyanyikanulang oleh berbagai nama beken, dari Frank Sinatra, Shirley Bassey, James Brown dan sebagainya.

9) Tenang, cerdas, seksi

10) Payudara besar, paha yang jenjang ?

11) Apa kau sibuk sekarang ?

12) Dansa ini menghangatkan diriku

13) Cinta terlarang

14) Penyair yang terkutuk


Sorry friend, terpaksa cerpenku ikut diposting di euang yang seharusnya hanya bicaratentang fenomena budaya pop dengan segala sisinya. Tapi cerpen kan termasuk budaya pop juga kan. Kalau Erica Awuy yang meminta, lebih baik aku pura-pura tak berdaya






Logika Bonsai bagi Anak Kita

Oleh : Heru Emka


Televisi pernah dianggap sebagai penemuan terbesar dalam sejarah, dengan satu bukti : Pada 20 Juli 1969, Neil Armstrong menapakkan kakinya di bulan. Semua orang yang memiliki TV ikut menyaksikan langkah bersejarah ini di ruang tamunya. Pada saat itu, hampir semua pakar ilmu komunikasi menuetujui potensi dan ‘kuasa’ televisi untuk menyebarkan informasi, dan menyatukan orang untuk mencerapnya.

Harapan yang begitu besar ini ternyata berbalik arah 40 dasawarsa kemudian. Dr. Dimitri Christakis dalam bukunya; The Elephant in the Living Room: Make Television Work For Your Kids,- menyatakan bahwa TV ternyata lebih banyak menimbulkan lebih banyak masalah, daripada manfaat (produces more problems than it offers blessings). Dokter spesialis anak yang juga psikolog dan pengamat TV ini menyebutkan, bila orang tua sering salah duga tentang makna program TV terhadap para pemirsanya. Tadinya orang menduga bila kecenderungan orang tua mengajak anaknya nonton TV adalah untuk menyenangkan anaknya. "But in fact what we found was that the Number 1 reason they give is that it's good for their children's brain,” tulisnya di buku itu. Dan anggapan tentang siaran TV yang (diharapkan) bisa mencerdaskan anak-anak ternyata lebih merupakan ilusi dibandingkan realitas.

Dalam bukunya, Dimitri Christakis menyodorkan sederet contoh studi kasus tentang acara-acara TV di AS yang tidak kondusif sebagai tontonan kanak-kanak. Di Indonesia, kita bisa menoleh pada Si Entong dan Si Eneng, dua ‘sinetron anak’ yang paling beken saat ini. Si Entong, oleh produsennya, Mega Vision,- disebut sebagai sebuah sinetron yang bergenre drama-komedi-religi (?). Tokoh utamanya sinetron yang ditayangkan oleh TPI ini tentu saja si Entong (Fahri), bocah lelaki 12 tahun, anak semata wayang Fatimah (Reina Ipeh ) yang ditinggal mati suaminya. Si Entong ini akrab dengan Ustad Somad (Adi Bing Slamet), guru mengajinya. Disamping memiliki sahabat karib, Entong juga punya ‘musuh bebuyutan’, yakni Mamat Cs. Uniknya walau Mamat dan teman-temannya ini berusaha untuk mencelakai Entong, mereka selalu gagal, bahkan mereka mereka sendiri yang sering tertimpa kesialan.

Cerita yang disajikan setiap episode sebenarnya amat sederhana : dengan tema tentang budi pekerti tentang bagaimana menghormati orangtua, jangan suka berbohong, akibat berbuat jahat pada orang lain, harus berbuat baik, memahami sesuatu yang salah, jangan mencuri, dan lainnya. Dari sini memang masih nampak ideal banget sehingga Manajer Humas TPI ;Theresia Ellasari menyatakan bila; " Si Entong sejauh ini sudah diproduksi lebih dari 50 episode dan sinetron ini aman dikonsumsi anak-anak.”

Setelah hampir setahun diputar, Si Entong pun naik daun. Menurut survei AGB Nielsen, Si Entong menembus rating 8,5 dengan audience share 15,1 atau ditonton oleh 25,1 persen pemirsa pada jam tayang sama. Posisi ini berada di peringkat lima dalam deretan 50 program teratas. Si Entong tak saja tenar di layar TV, gambar-gambarnya pun menghiasi sampul buku tulis, gambar umbul dan beberapa film iklan. Melihat bagaimana Si Entong meraih rating bagus dan begitu gencar dipromosikan ( dalam sehari, kadang ditayangkan dalam tiga versi yang berbeda : Si Entong, Si Entong dan Kawan-kawan, juga Si Entong : The Movie – dalam durasi yang lebih panjang), saya terpikat untuk menikmati kebolehan sinetron ini, dengan menonton sekitar 20 episode secara rutin. Begitu juga dengan sinetron Si Eneng (ditayangkan RCTI), saya rajin menongkronginya di depan TV, sekitar 20-an episode.

Terlepas dari keinginan produsernya yang berniat membuat sinetron yang berbobot sebagai tontonan anak-anak, kedua sinetron ini menimbulkan pertanyaan : atas dasar alasan apakah kedua sinetron ini dianggap sebagai tayangan anak yang baik ? Bila ada orang tua yang memuji dan mereferensikannya sebagai tontonan anak yang ideal, apakah dia juga telah menonton kedua sinetron ini secara intens ?

Obsesi keajaiban
Kedua sinetron ini jelas mengandalkan konsep komedi slapstick, dengan plot yang hanya berpegang pada kebetulan, keberuntungan instan dan kerangka penceritaan yang memprihatinkan dan mengabaikan logika. Dalam sebuah episode, Si Entong diberi senter wasiat oleh jin cantik. Senter ini bisa menggandakan uang, bisa membuat wajah perempuan jadi cantik dan sebagainya. Karena itu, banyak penduduk yang mencoba menemui jin cantik agar diberi benda wasiat juga. Jin itu marah, dan mengusir mereka dengan…kentut. Pada episode lainnya, ada ibu yang begitu ganjen dan menyuruh anak perempuannya merayu Entrong agar dipinjami senter wasiat, yang bisa membuat wajahnya bertambah cantik.

Logika bonsai (kerdil) seperti ini bahkan nampak dari ucapan anak-anak yang begitu terobsesi memiliki benda gaib agar “Bisa banyak makan terus,” kata seorang anak. “ Agar jadi anak-anak terus, biar nggak pusing jadi orang dewasa,” ucap anak lainnya. Peran pak ustad ternyata hanya sebatas pelengkap saja. Dia hanya berkata, “ Lupain senter wasiat, kalau mau dapat sesuatu ya kerja.” Tak nampak upayanya secara kongkrit untuk membuktikan ucapaannya. Bahkan dia terus muncul dalam setiap episode, bersama anak-anak yang masih saja terobsesi dengan hal yang serba gampang dalam hidup mereka.

Si Eneng (produksi Sinemart) juga dipenuhi karakter bonsai . Di sana ada orang dewasa yang berkopiah bayi sambil menghisap kempongan. Ada seorang bapak yang dengan noraknya berteriak tak mau disunat karena sakit rasanya. Ada keponakan juragan Wira, bocah besar yang bertingkah bagaikan idiot. Ada ibu (Yurike Prastika) yang bertingkah laku seperti iblis terhadap anak tirinya. Dan peran ustad (Teuku Ryan) di sini – lagi-lagi - hanya sebagai legitimasi logika skenario yang konyol.

Si Eneng malah menunjukkan tingkat obsesi yang lebih parah terhadap benda ajaib. Selama membetahkan diri menonton 20-an episode Si Eneng, saya menghitung lebih dari 50 benda ajaib yang dimiliki Si Eneng. Selain punya kaos kaki ajaib, yang bisa mengeluarkan apa saja yang diminta si Eneng, anak perempuan ini juga mempunyai TV Pengintai (dapat melihat kejadian pada masa lalu), Setrika Pengganda, Celana Terkenal, ( membuat pemakainya disukai banyak orang), Palu Ajaib ( bisa memperbaiki barang yang rusak), Benang Ajaib ( bisa membuat stelan baju lengkap seketika).

Dulu pernah ada sinetron yang baik untuk anak kita, seperti Jendela Rumah Kita dan sebagainya. Apakah tak ada lagi yang punya kemampuan seperti Arswendo untuk membuat tayangan anak yang baik dan mencerdaskan, justru di saat keluarga kita dikepungan berbagai tayangan TV ? Atau benar-benar tak ada lagi yang perduli dengan semua ini ? Bagaimana pendapat Anda.

Dunia Maya Sujiwo Tejo


Dalam sebuah blantika musik yang didikte oleh selera para produser, kita nyaris tak menemukan album musik yang berani melawan arus. Maka album terbaru Sujiwo Tejo, yang berjudul. Syair Dunia Maya ( Eksotika Karmawibhangga Indonesia, 2005) bisa dipandang sebagai sebuah terobosan yang pantas dicatat dalam blantika musik pop kita.

Selain berisi sebelas lagu yang liriknya berbahasa Jawa, Kawi dan Madura ( dua lagu yang berbahasa Indonesia), Sujiwo juga merangkul beberapa musisi muda yang dikenal punya idealisme musik bagus, seperti basis Bintang Indiarto, harpis Maya Hasan, Henry Lamiri, Idang Rasyidi dan gitaris Dewa Bujana, juga merangkul pendatang baru berbakat seperti Ken Nala Amrytha, gadis cilik yang piawai menyanyi. Selain mencipta lagu, lirik dan menggarap aransemen semua lagu, dan menjadi ‘penyanyi kata-kata, Tejo juga menunjukkan kebolehannya memainkan cello, biola dan trombone.

Tejo mengaku, bila album ketiganya ini, Syair Dunia Maya, disiapkan dengan matang. Ada berbagai revisi yang dilakukan saat menyiapkan album itu. Karena itu, waktu penggarapannya juga lama. Yang pasti, album ketiga Sujiwo berbeda dengan album-album sebelumnya. "Jadi, kalo mirip album satu dan kedua, ya mending saya nggak bikin album ini," katanya.

Ada sembilan lagu di album ini yang menggunakan bahasa Kawi. ''Bahasa Kawi itu indah, musikal. Banyaknya orang yang tidak paham bahasa Kawi justru bagus, supaya lagu-lagu ini diterima sebagai sebuah musik. Orang tidak harus mengerti apa yang dilafalkan dalam syair lagu, tetapi bisa menikmati suasana yang tercipta dari suatu lagu," tutur Tejo menyebutkan alasannya menggunakan lirik lagu berbahasa Kawi.

Etnik Fusion

Pada lagu Tingkah-tingkah misalnya, bermula dengan intro unik dari gaya minimalis rock, lengkap dengan lenguhan pendek gitar listrik yang bluesy. Mungkin orang mengira bila nomor ini lagu yang dimainkan oleh Frank Zappa, andai vokal khas Sejiwo Tejo tidak melantunkan lirik yang memadukan bahasa Jawa dengan bahasa Kawi, “ Neja neko, kok sing kae kae, keh kang gyo den tanting, milang miling leh, mamilah milah aglaring pilihan, …”

Tak saja pilihan bahasa dan warna musik yang nampak unik, Tejo juga menunjukkan sikap yang serius sebagai seorang ‘pemusik kata-kata’. Pada lagu Saya dan Panakawan, dia mengolah kata-kata menjadi sebuah komposisi yang terdiri dari ‘alat musik paling purba’, yakni suara manusia. Sebagai seorang dalang, Tejo memiliki kemampuan dasar untuk mengolah suara manusia dalam berbagai ragam dan karakter bunyi. Nah , berbagai celotehan para punakawan; Semar, Gareng, Petruk, Bagong plus Togog dan Bilung, diolah Tejo menjadi komposisi a capella unisono yang menarik melalui teknik overdub.

Agaknya Sujiwo Tejo cukup jeli memilih gaya musik, yang dalam blantika musik dunia, dikenal sebagai genre musik etnik fusion. Genre yang kian merebak dalam blantika musik dunia ini, pengertiannya amat berbeda dengan istilah musik fusion, yang menyaran pada perpaduan antara musik jazz dengan rock atau disko, yang terjadi di tahun ’80-an. Genre musik etnik fusion yang satu ini lebih mengacu pada bentuk perkembangan selanjutnya dari musik new age, ketika unsur musik tradisional (ethnic folk) dipadukan dengan musik elektronik atau musik kontemporer saat ini.

Gaya etnik fusion sendiri sudah cukup lama mencuat ketika musisi jazz ternama seperti Tony Scott dan Don Cherry untuk pertama kali memadukan nuansa etnik world music dengan musik jazz. Para komposer minimalis seperti Terry Riley dan Philip Glass juga menggunakan pola nada dan struktur musik non-Barat menjadi bagian tersendiri dari komposisi musik yang mereka ciptakan.

Saat ini, musik etnik fusion dianggap sebagai sebuah gaya yang seksi, dan cukup favorit bagi para musisi untuk melakukan petualangan secara musikal, sekaligus memperluas gaya musik dengan melakukan penjelajahan untuk mencapai daya ucap musical yang tak terbatas.

Artis terkemuka yang meraih sukses dengan jenis musik ini cukup beken dalam blantika musik new age. Di antaranya adalah Clannad (pada gaya Celtic folk), Ottmar Liebert (flamenco), Kitaro ( melodi musik rakyat Jepang ) dan R. Carlos Nakai ( flute Indian Amerika ). Hingga tahun ’90-an, jejak sukses mereka diikuti oleh nama-nama yang lebih kontemporer seperti Enigma, Dead Can Dance, dan Deep Forest, yang meraih audien lebih luas dengan memadukan beat irama dansa, rekaman berbagai bebunyian (sampled field recordings) dengan pola bunyi musik etnis. Di tangan mereka, musik etnik fusion ini berubah menjadi bunyi yang enak sekali untuk ajojing..

Penafsir Perempuan

Tejo yang dilahirkan di Jember (1962) dengan nama Agus Hadi Sujiwo ini merupakan sosok yang unik dalam blantika kesenian kita. Setelah lulus ITB Jurusan Matematika (sarjana muda), dia melajutkan ke Jurusan Teknik Sipil. Kali ini tak diselesaikan karena dia lebih tertarik untuk menjadi wartawan Kompas sambil mendalang. Dalang Edan ini berusaha menghindari pola hitam putih dalam memainkan wayang. Rahwana ditampilkan bersuara halus, romantis, Pandawa dibikinnya tidak selalu benar. Dengan wayang mbeling-nya, Tejo mendalang di banyak tempat, bahkan di rumah Gus Dur dan Mega, serta di Keraton Mangkunegaran, Solo.

Seniman berambut gondrong ini juga berusaha menafsirkan sendiri kaum perempuan di jagat pewayangan. Dewi Kunti, misalnya. Menurut pelantun lagu Anyam-anyaman ini, Dewi Kunti memiliki banyak suami. Ini lain dengan keyakinan yang menyatakan Kunti hanya mempunyai satu suami. Atau terkait cerita Dewi Sinta. Tejo menyatakan, Sinta sebenarnya ingin diculik Rahwana. Ini karena Sinta bosan pada suaminya, Rama.

Ia bertemu dengan calon istri, Rosa Nurbaiti, kala menjaga ujian di Institut Teknologi Nasional, Bandung, tempat Rosa kuliah. Menikah pada 1989, dengan mas kawin unik : sebuah pertunjukan. Ini sempat ditolak oleh beberapa kiai, karena mas kawin harusberupa benda. Tapi Tejo tak kurang akal : seni pertunjukannya yang diberi judul Belok Kiri Jalan Terus dipotret, albumnya dijadikan mas kawin. Dari perkawinan itu, pasangan ini dikaruniai tiga anak. Si sulung bernama Rembulan Randu Dahlia, adiknya bernama Kennya Rizki Rionce. Sedang si bungsu, Jagat, tampaknya menyukai gamelan dan betah nonton wayang sampai dini hari, di saat kakak-kakaknya sudah tidur.

Tejo kemudian memutuskan meninggalkan dunia jurnalistik untuk hidup total sebagai seniman. Langkahnya dalam berkesenian semakin melebar saat dia membuat album musik Pada Sebuah Ranjang (1999), yang selain khas , ternyata juga cukup sukses di pasaran. Setelah merilis albumnya yang kedua, Pada Suatu Ketika (2000), dramawan, musisi dan penulis esai ini menggenapi profesinya sebagai seorang aktor. Akting Tejo yang kuat antara lain bisa ditonton dalam film Telegram dan film horor Kafir. (Heru Emka )