tag:blogger.com,1999:blog-53609521223979391312024-03-14T09:24:10.338-07:00Kajian Budaya Heru EmkaKajian Budaya Heru Emkahttp://www.blogger.com/profile/02078320332372397648noreply@blogger.comBlogger26125tag:blogger.com,1999:blog-5360952122397939131.post-29108410688876687112009-08-22T20:48:00.000-07:002009-08-22T20:59:52.591-07:00Metamorfosa Kursi<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjlxjM5BaT2s9b0Njli-sZcAbzqtoGMpP1px6LhCOq1tRpa8k-ifRN5sGa8iULvXMkEU3ySeWHs3Xya6eCbke-QqqQtlY4m9TWGRm5T0GpKcAh9LjMVYrFHfBZpBDUTw9HZZewpLMhiR6Q/s1600-h/Desfile+del+1o.+de+Mayo+en+Mosc%C3%BA,+Diego+Rivera,+1956.jpg"><img style="margin: 0px auto 10px; display: block; text-align: center; cursor: pointer; width: 157px; height: 200px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjlxjM5BaT2s9b0Njli-sZcAbzqtoGMpP1px6LhCOq1tRpa8k-ifRN5sGa8iULvXMkEU3ySeWHs3Xya6eCbke-QqqQtlY4m9TWGRm5T0GpKcAh9LjMVYrFHfBZpBDUTw9HZZewpLMhiR6Q/s200/Desfile+del+1o.+de+Mayo+en+Mosc%C3%BA,+Diego+Rivera,+1956.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5373002973003051426" border="0" /></a>
<br /><meta equiv="CONTENT-TYPE" content="text/html; charset=utf-8"><title></title><meta name="GENERATOR" content="OpenOffice.org 3.0 (Win32)"><style type="text/css"> <!-- @page { margin: 2cm } H1 { text-indent: 1.27cm; margin-top: 0cm; margin-bottom: 0cm } H1.western { font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt; font-style: italic } H1.cjk { font-family: "Lucida Sans Unicode"; font-size: 12pt; font-style: italic } H1.ctl { font-family: "Tahoma"; font-size: 12pt; font-style: italic } P { margin-bottom: 0.21cm } --> </style> <p style="margin-left: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;" align="CENTER"><b>Oleh : Heru Emka</b></p> <p style="margin-left: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;" align="CENTER">
<br /></p> <p style="margin-left: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;" align="JUSTIFY"> Selain para disainer interior, ternyata cukup banyak yang memikirkan kursi ? Ya kursi yang kita kenal sebagai benda yang bertebaran dalam realitas kehidupan sehari-hari kita, ternyata juga tak lepas dari muatan mitos yang tersendiri. Dalam pengertian sehari-hari, kursi memang lebih dinikmati secara fungsional : sebagai tempat duduk, sehingga betapapun narsisnya seseorang, dia tak bakalan memamerkan kursinya sebagai sebuah kesatuan tunggal, melainkan perangkat furniture dalam ruang dan bagian secara keseluruhan. </p> <p style="margin-left: 1.27cm; text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;" align="JUSTIFY"> Namun makna kursi terkadang jadi lebih penting dibanding perangkat mebel lainnya, karena kursi punya makna simbolis yang tak dimiliki oleh mebel lainnya, yakni sebagai perlambang dari kekuasaan. Negasi kekuasaan, yang bisa diperluas sebagai jabatan atau kedudukan ( tak saja secara semiotik atau pun ragawi ) namun secara kultural, sudah lama ekstensi makna ‘duduk’ dan ‘kursi’ bertautan erat dengan kekuasaan atau penguasaan. Dalam istilah perang atau dalam wacana politik imperialisme misalnya, ‘menduduki’ berarti ‘menguasai’. Bukan sekedar duduk-duduk santai di suatu tempat.</p> <p style="margin-left: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;" align="JUSTIFY"> Kata kursi sendiri berasal dari bahasa Arab, <i>kursiyun</i>. Dalam konteks yang berbeda, untuk mengacu makna simbolik kursi yang cukup penting, dalam <i>Al Qur’an</i> bahkan terdapat salah satu ayat yang bernama Ayat Kursi. Sejak awalnya, dalam bahasa Arab, <i>arash</i> <i>kurshi</i> diartikan sebagai sebagai tempat yang maha tinggi dan agung, sebuah lapisan prima mendekati puncak, di mana satu level di atasnya lagi tempat Tuhan bertahta.</p> <p style="margin-left: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;" align="JUSTIFY"> Betapa kursi menempati konstelasi tersendiri dalam sejarah kebudayaan juga nampak dari perjalanan rekonstruksi makna kata ‘duduk; itu sendiri. Misalnya, ‘duduk’ yangt dilakukan orang pada obyek yang tersedia di alam; di atas batu, batang pohon yang tumbang dan sebagainya, yang mengacu pada bentuk penguasaan subyek.. Kebiasaan duduk bersama di lantai yang dilakukan oleh masyarakat nomaden, yang menghembuskan nafas demokrasi, segera berakhir pada era budaya kerajaan, di mana kursi mulai digunakan untuk kepentingan legitimasi kekuasaan. Hanya para penguasa saja ( raja, ratu, sultan dan sebagainya ) yang berhak duduk di atas kursi ( singgasana ). Para bawahan cukup duduk di lantai. Bahkan para penjaga keamanan yang berperan penting menjaga keselamatan raja pun harus berdiri. Kursi hanya punya pemilik tunggal : </p> <p style="margin-left: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;" align="JUSTIFY">Penguasa.</p> <p style="margin-left: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;" align="JUSTIFY"> </p> <h1 class="western" style="margin-left: 1.27cm;" align="JUSTIFY"><span style="font-style: normal;">Lambang eksistensi</span></h1> <p style="margin-left: 1.27cm; text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;" align="JUSTIFY"> Awal mitos kursi sebagai legitimasi kekuasaan tak saja terlacak di Eropa, pada Abad Pertengahan, namuna juga pada berbagai bentuk kebudayaan tinggi di AQsia, Afrika (Mesir kuno) dan Amerika Latin pada masa sebelum era penaklukan para conquistador Eropa. Dengan masyarakat yang memuja berbagai bentuk lambang yang alegoris, kursi mengalami pemaknaan yang lebih jauh. Misalnya dianggap sebagai lambang pijakan manusia pada bumi atau lambang eksistensi, sedangkan sandarannya dipandang sebagai simbol kesenangan atau kemapanan. Karena kursi tidak dipandang dari sisi fungsionalnya semata, maka kreasi bentuk kursi menjadi tumpahan imaji dan ekspresi penafsiran si ‘seniman kursi’ pada bentuk dan gambaran yang ada dalam imajinasi mereka.</p> <p style="margin-left: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;" align="JUSTIFY"> Seperti yang dilihat pada disain kursi Abad Pertengahan di Italia atau di Prancis, kursi hadir dengan disain yang canggih dan rumit, sarat dengan ukiran figuratif dengan detil yang bisa membuat iri seorang pematung. Perangkat lain yang mendukung seperti dudukan dan hiasan pembalut lengan kursi, terbuat dari kulit berhias indah aneka ragam ornament bordir bermotif Barok, yang – bahkan - oleh perancang busana seperti (mendiang) Gianni Versace. dijadikan sumber inspirasi fashion tanpa henti. </p> <p style="margin-left: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;" align="JUSTIFY"> Rosalind Williams dalam <i>The Dream of Mass Consumption</i> ( dalam antologi <i>Rethinking Popular Culture</i>, yang disunting oleh Chandra Mukerji dan Michael Schudson ) menyebutkan bila selera disain interior orang kaya Prancis sebagai ‘ <i>abazaar</i> <i>climates.. the universe in a garden’</i>. Semua kehendak artitistik dijejalkan sedemikian rupa, sehingga menjadi campur-aduk gaya yang berlebihan. </p> <p style="margin-left: 1.27cm; text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;" align="JUSTIFY"> Berbagai gaya yang ganjil juga mulai dirancang untuk memenuhi selera orang pada kursi, tak saja mewakili hasrat pada eksistensi diri, namun melebar pada pemenuhan hasrat imajinasi. Dari kursi malas yang mencerminkan hasrat akan kenikmatan waktu luang mereka, hingga kursi super malas, yang diberi ‘lubang spesial’, agar pemiliknya bisa menjalankan ‘hajat kecil’ tanpa harus beranjak dari kursi, hingga pada gagasan penciptaan kursi listrik sebagai sarana penghantar maut yang ‘berpenampilan akrab’. </p> <p style="margin-left: 1.27cm; text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;" align="JUSTIFY"> Kursi kemudian juga menjadi penanda tersendiri bagi perkembangan budaya pop. Film Hollywood yang berjudul <i>The Party</i> (1968) justru menjadi ikon karena didalamnya menampilkan tiga kursi yang disainnya dianggap legendaris hingga kini, yakni kursi <i>Swan, Egg</i> dan <i>Oxford</i>. Ketiga kursi yang dirancang Arne Jacobsen ini masih dibarengi dengan disain kursi lain yang tak kalah jempolan, misalnya disain <i>Cone</i>, karya Verner Panton, yang menjadi ikon klasik dalam sejarah disain interior modern.</p> <p style="margin-left: 1.27cm; text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;" align="JUSTIFY"> Saat sutradara Stanley Kubrick merencanakan menggarap film <i>2001 :</i> <i>A Space Odyssey </i>– yang ikonik itu – dia bahkan mengumpulkan para disainer interior terkemuka untuk memprediksikan tren disain interior di tahun 2001. Film ini akhirnya menampilkan rancangan disain kursi merah karya Oliver Morgue, yang kemudian mengawali tren disain ‘kursi futuristik’. </p> <p style="margin-left: 1.27cm; text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;" align="JUSTIFY"> Bagi Foucault (yang menjabarkannya dalam <i>Power / Knowledge</i>) bila mitos kursi, dalam relasi kekuasaan yang bermetamorfosa sebagai Negara, maka yang terjelma kemudian adalah superstruktur berikut segenap jaringan kekuasaan yang memodifikasikan semua konsep sosial, ekonomi dan kebudayaan dalam bentuk seolah-olah yang terekayasa. Seperti konsep Orde Baru tentang stabilitas, misalnya. Kursi ternyata bisa juga bukan sekedar ‘kursi’.</p> <p style="margin-left: 1.27cm; text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;" align="JUSTIFY">
<br /></p> <p style="margin-left: 1.27cm; text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;" align="JUSTIFY"> - <b>Heru Emka – </b>peminat kajian budaya, tinggal di Semarang -</p><p style="margin-left: 1.27cm; text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;" align="JUSTIFY">
<br /></p>Ilustrasi : Desfile del 1o. de Mayo en Moscú, Diego Rivera, 1956<p style="margin-left: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;" align="JUSTIFY"> </p> Kajian Budaya Heru Emkahttp://www.blogger.com/profile/02078320332372397648noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5360952122397939131.post-14856678042005173942009-08-22T20:44:00.000-07:002009-08-22T20:47:58.027-07:00Senjakala Pasar Tradisional Kita<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjmpIsOzeoz1kk31lk15Sj4dYfAqFhhatXPUc-EbVmHA_XyfRy2irG_DbtSFKyCyM474x4pFtpmSBVeRbMf5c7JQ4EYhqSh_OW3bjzd_nOWRXzs3vT9CvDLIdD_N91BaVEPAslFQbrhc60/s1600-h/pasar+johar+tempo+dulu++1.jpg"><img style="margin: 0px auto 10px; display: block; text-align: center; cursor: pointer; width: 200px; height: 131px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjmpIsOzeoz1kk31lk15Sj4dYfAqFhhatXPUc-EbVmHA_XyfRy2irG_DbtSFKyCyM474x4pFtpmSBVeRbMf5c7JQ4EYhqSh_OW3bjzd_nOWRXzs3vT9CvDLIdD_N91BaVEPAslFQbrhc60/s200/pasar+johar+tempo+dulu++1.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5373000647800683858" border="0" /></a>
<br /><meta equiv="CONTENT-TYPE" content="text/html; charset=utf-8"><title></title><meta name="GENERATOR" content="OpenOffice.org 3.0 (Win32)"><style type="text/css"> <!-- @page { margin: 2cm } P { margin-bottom: 0.21cm } --> </style> <p style="margin-left: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;" align="JUSTIFY">Oleh : <b>Heru Emka</b></p> <p style="margin-left: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;" align="JUSTIFY">
<br /></p> <p style="margin-left: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;" align="JUSTIFY"> Apa yang Anda pikirkan bila melewati sebuah pasar tradisional ? Jawabnya bisa jadi tergantung dari siapakah siapa Anda . Bila Anda anggota masyarakat biasa, mungkin Anda berpikir bahwa pasar adalah muara kegiatan jual-beli yang menjadi simpul kemampuan hidup masyarakat setempat. Seorang sosiolog atau antropolog melihat pasar sebagai muara interaksi sosial-ekonomi masyarakat, di mana berbagai lapisan bertemu dalam sebuah kebutuhan yang sama. </p> <p style="margin-left: 1.27cm; text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;" align="JUSTIFY"> Seorang psikolog memandang pasar sebagai sarana untuk berinteraksi dengan anggota masyarakat lainnya, setidaknya mengenali dan terlibat dalam konsep komunikasi jual-beli. Bila Anda seorang arsitek, Anda akan melihat pasar sebagai sebuah ruang yang bisa menyatukan berbagai komunitas dalam sebuah ruang sosial yang nyaman. Dalam definisi yang paling sederhana, pasar menjelaskan sebuah lokasi fisik di mana komoditi dipertukarkan atau diperdagangkan. Sosiolog seperti Ellen Meiksins Wood dalam <i>From Opportunity to Imperative: The History of the Market</i>, menyatakan “hampir setiap definisi ‘pasar’ berkonotasi pada sebuah kesempatan. Dengan kata lain, pasar tak saja cermin geliat sebuah masyarakat, melainkan juga sebuah dokumentasi unik dari sebuah perjalanan sosial sebuah bangsa. </p> <p style="margin-left: 1.27cm; text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;" align="JUSTIFY"> Dan pastilah, setiap pasar tradisional, memiliki karakternya sendiri. Hal ini akan lenyap bila Pasar Johar direnovasi menjadi ‘pasar modern’, karena himpunan spirit masyarakat akan musnah menjadi seonggok bangunan yang usang dan kumuh bila konsep renovasi itu ternyata tidak laku di masyarakat. Pembangunan komplek pertokoan Kanjengan yang gagal, seharusnya menjadi contoh nyata kegagalan Pemerintah dalam menata pasar tradisional.</p> <p style="margin-left: 1.27cm; text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;" align="JUSTIFY"> Bukankah pangkal kisah kenapa pasar tradisional menjadi ‘lusuh’ juga bermula dari Pemerintah Daerah sendiri ? Maka ‘peremajaan’ dengan <i>iming-iming</i> kawasan pasar yang modern, bebas macet, ber-AC, sering menjadi alasan berbagai pihak membongkar pasar tradisional dan merubahnya menjadi pasar yang lebih menguntungkan mereka.</p> <p style="margin-left: 1.27cm; text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;" align="JUSTIFY"> Memang, semakin bebas suatu pasar, semakin banyak barang dan jasa tersedia, semakin banyak pilihan bagi pedagang pun pembeli. Milton Friedman , yang menjadi idola baru para pemodal, dalam bukunya; <i>Free to Choose : A Personal Statement</i> (1980), memandang pasar sebagai arena pertemuan berbagai orang dengan kekuasaan setara, masing-masing berjuang untuk memperoleh pilihan terbanyak dalam hal yang mereka beli dan jual. </p> <p style="margin-left: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;" align="JUSTIFY"> </p> <p style="margin-left: 1.27cm; text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;" align="JUSTIFY"> <b>Agen pembaharuan ?</b></p> <p style="margin-left: 1.27cm; text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;" align="JUSTIFY"> Para pemuja pemikiran pasar bebas ini mungkin tak pernah secara sengaja bersentuhan dengan pemikiran ekonom seperti Adam Smith (1723-90) yang tertuang dalam bukunya <i>The Wealth of Nations</i> (1776) . Buku yang kemudian menjadi teks standar ilmu ekonomi ini disebut sebagai ‘wasiat neoklasik’, karena ide Adam Smith sekarang ini masih saja disimak dengan penafsiran baru, dengan pendekatan paradigma budaya terkini, yang membuat MacDonald dan Coca Cola dipasarkan sebagai ‘agen pembaharuan’. </p> <p style="margin-left: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;" align="JUSTIFY"> Bila menyimak edisi baru dari buku Smith ( judul aslinya cukup panjang : <i>An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations,</i> Oxford: Clarendon Press, 1976), Smith bahkan masih mengharapkan negara mendukung kesejahteraan publik dan tidak begitu saja menyerahkan potensi pasar pada pemodal. Smith juga berharap pasar dikendalikan dengan bijaksana, sehingga pasar itu bisa melayani kepentingan sosial yang bermanfaat bagi masyarakat. </p> <p style="margin-left: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;" align="JUSTIFY"> Fenomena kehadiran <i>hipermarket</i> yang menjamur di mana-mana, sepintas lalu kebutuhan, karena konsepnya yang terpadu. Namun pada perspektif yang lebih luas, hal ini mengancam kelangsungan pasar tradisional. Ketua Umum Asosiasi Pedagang Pasar Tradisional Indonesia (APPSI), Ibih Hasan mengatakan, bila keberadaan hipermarket dibiarkan menjamur seperti sekarang, dalam delapan tahun ke depan Seluruh pasar tradisional di Indonesia yang berjumlah sekitar 13.650 unit terancam mati.</p> <p style="margin-left: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;" align="JUSTIFY"> Ibih Hasan juga mengatakan , pertumbuhan pasar tradisional saat ini telah mencapai minus delapan persen, sedang pertumbuhan hipermarket yang aktif berkembang hingga ke wilayah pelosok, tumbuh membesar sebanyak 31,4 persen. "Itu penelitian dari AC Nielsen," katanya. Oleh karena itu, dalam delapan tahun mendatang sekitar 12,6 juta pedagang pasar tradisional ditambah masing-masing rata-rata dua pegawai dan empat anggota keluarganya terancam kehilangan pendapatan dan jatuh miskin. </p> <p style="margin-left: 1.27cm; text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;" align="JUSTIFY"> Sejarah pasar tradisional sendiri tak hanya melulu berisi aktifitas ekonomi belaka, namun juga kental dengan aroma politik. Bahkan pemerintah kolonial Belanda pun menyadari benar potensi pasar sebagai ‘pintu masuk’ untuk meraih simpati rakyat. Di tahun ’30-’30-an mereka memfasilitasi ‘pasar rakyat’ yang disebut Jaarmarkt yang setiap tahun digelar di kawasan Gambir . </p> <p style="margin-left: 1.27cm; text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;" align="JUSTIFY"> Bahkan belum hilang pula dari ingatan kita, betapa pasar juga menjadi panggung aktifitas politik ketika berlangsung pemilihan umum presiden yang baru ssaja usai. Di media massa kita lihat berbagai aksi para calon presiden yang berlomba berkunung ke pasar tradisional. Mereka tahu benar bahwa pasar adalah salah satu simpul perhatian masyarakat. Kunjungan ke pasar tradisional dilakukan untuk meraih citra ‘merakyat’.</p> <p style="margin-left: 1.27cm; text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;" align="JUSTIFY">
<br /></p> <ul><li><p style="margin-bottom: 0cm;" align="RIGHT">Heru Emka, peminat kajian budaya -</p> </li></ul> Kajian Budaya Heru Emkahttp://www.blogger.com/profile/02078320332372397648noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-5360952122397939131.post-82533070694715859772009-07-22T01:16:00.000-07:002009-07-22T01:20:30.155-07:00Musik Etnik<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjblq_s0Dip5WSrWFfkmnjOkVT92OIG1A9qSmz53oubHPvwmnfMG5BRkZSLFhxYlzTLK6bussn_pw7xtehGyeSO4JGvDQImNF_2qzjijL5bk5H__saZjXch9-kCcqPMTqshcNoWUVDVtuo/s1600-h/Ki+Narto+Sabdho.+1+JPG.jpg"><img style="margin: 0pt 0pt 10px 10px; float: right; cursor: pointer; width: 153px; height: 200px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjblq_s0Dip5WSrWFfkmnjOkVT92OIG1A9qSmz53oubHPvwmnfMG5BRkZSLFhxYlzTLK6bussn_pw7xtehGyeSO4JGvDQImNF_2qzjijL5bk5H__saZjXch9-kCcqPMTqshcNoWUVDVtuo/s200/Ki+Narto+Sabdho.+1+JPG.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5361196334529609122" border="0" /></a>
<br /><meta equiv="CONTENT-TYPE" content="text/html; charset=utf-8"><title></title><meta name="GENERATOR" content="OpenOffice.org 2.3 (Win32)"><style type="text/css"> <!-- @page { size: 8.5in 11in; margin: 0.79in } P { margin-bottom: 0.08in } --> </style> <p style="margin-bottom: 0in;"><span style="font-size:180%;"><b>Maestro Gending Semarangan</b></span></p> <p style="margin-bottom: 0in;">
<br /></p> <p style="margin-bottom: 0in;"> Oleh : <b>Heru Emka</b></p> <p style="margin-bottom: 0in;">
<br /></p> <p style="margin-bottom: 0in;">
<br /></p> <p style="margin-bottom: 0in;"> Bila menyebut nama (almarhum) Ki Nartosabdho, biasanya orang lebih sering membicarakan sebagai seorang dalang ternama. Padahal Ki Nartosabdho juga serorang maestro gendhing Jawa populer, bahkan dianggap sebagai pelopor seni karawitan gaya baru (<i>gagrak anyar</i>). Hal inilah yang hingga sekarang sering dilupakan. </p> <p style="margin-bottom: 0in;"> Setting budaya dalam kehidupan sosial di Jawa Tengah pada awal tahun ’50-an, yang perlahan-lahan menyerap wacana modernisme yang mulai mengembang sebagai konsekuensi dinamika sosial politik yang terjadi paska Kemerdekaan, membuat gending Jawa tradisional, yang bersumber pada tradisi tembang <i>macapatan</i> tradisi literer Keraton seperti Serat Wulangreh atau Wedhatama, tersaingi oleh kemunculan gending-gending Jawa populer yang lebih cepat akrab di telinga masyarakat. </p> <p style="margin-bottom: 0in;"> Gending Jawa populer yang diciptakan oleh Ki Nartosabdho ini, sebenarnya juga merupakan respon musikal Ki Narto sebagai seorang budayawan Jawa terhadap suasana kultural-politik yang ‘baru’. Ki Narto sebagai inovator gending Jawa, memilih melakukan pendekatan yang populis Maraknya lagu-lagu pop sebagai klangenan baru masyarakat di perkotaan Jawa tengah membuat popularitas gending Jawa ( yang punya porsi dan penggemar tersendiri, seperti sajian acara Uyon-Uyon yang dulu disiarkan secara rutin di RRI Semarang, misalnya) sedikit demi sedikit mulai ditinggalkan. </p> <p style="margin-bottom: 0in;"> Ki Nartosabdho yang ingin agar gending Jawa tetap diminati masyarakat, pun membuka diri terhadap berbagai kemungkinan yang bisa memperkaya wacana musikal gending Jawa, dengan membentuk grup karawitan Condong Raos di tahun 1961 dan menciptakan inovasi yang menyegarkan. Selain melakukan pengayaan pada model tempo dan ‘sinkopasi’ kendangan yang lebih dinamis – dalam hal ini Ki Narto bahkan dikenal sebagai maestro kendang yang jempolan -, dia juga membuka diri terhadap warna musik lain, baik yang berasal dari Barat (samba) atau pun gaya musik etnis kita lainnya, seperti gaya karawitan Sunda, Bali atau Jawa Timur-an. </p> <p style="margin-bottom: 0in;"> Maka Ki Nartosabdho pun dikenali dengan gending <i>gagrak anyar</i> ciptaannya, yang antara lain bertempo cepat dalam suasana yang <i>sigrak</i> (dinamis), dengan durasi yang lebih pendek ( hampir menyamai durasi rata-rata lagu pop Indonesia), serta lirik lagu yang lebih ngepop, yang berkisah tentang peristiwa dan pengalaman yang bersifat personal dalam keseharian hidup manusia Jawa modern. Maka, gending Ki Nartosabdho pun segera menandai kebangkitan gendhing Jawa Populer.</p> <p style="margin-bottom: 0in;"> Sebut saja beberapa judul gending ciptaannya, seperti Swara Suling, Praon,- yang dalam buku <i>Gending Jawi soho Dolanan Gagrak Enggal anggitanipun Ki Nartosabdho</i>, (diterbitkan untuk memperingati 4 windu Paguyuban Ngesti Pandowo, 1969) tertulis dengan judul Ayo Praon, juga gending lainnya : Aja Lamis, Sapu Tangan, Kembang Glepang, Glopa-Glape atau Lumbung Desa,- pun menjadi hit abadi yang hingga sekarang ini masih diputar di radio dan dimainkan – tak saja di berbagai pagelaran kesenian Jawa – namun juga dibawakan dalam irama pop, keroncong atau jaipongan. Gending Swara Suling bahkan pernah dimainkan oleh Tamam Husein dan Bubi Chen dalam irama jazz.</p> <p style="margin-bottom: 0in;"> Sebagai seniman dengan pribadi yang hangat, humoris dan romantis, Ki Narto juga piawai mencipta gending percintaan seperti Aja Lamis, Mari Kangen, Sapu Tangan, Janjine Piye, Aku Ngimpi dan sebagainya. Nuansa keseharian orang Jawa yang merasuki jaman modern pun terasa pada gending Lesung Jumengglung, Bemo Semarang dan sebagainya. Sebagai dalang kondhang, Ki Narto amat piawai menampilkan gaya bahasa yang hidup, ungkapan yang segar, dan iidiom bahasa yang menggigit. Dalam gending Kembang Glepang yang bergaya Banyumasan itu, dia menampilkan idiom bahasa yang tak kalah greget dengan sastrawan Indonesia terkemuka, seperti ‘ <i>nyumbang geni sak wuwungan, nyumbang banyu sakuranjang</i>’. </p> <p style="margin-bottom: 0in;"> Sungguh nuansa yang absurd bila kita menelan begitu saja aforisma dalam lagu ini tentang ‘ menyumbang api sebubungan rumah ( yang amat berbahaya) atau menyumbang air sekeranjang ( jelas sia-sia karena airnya pasti terbuang semua). Ini menunjukkan bila Ki Narto sungguh piawai bermain <i>pasemon</i>. Gending Glopa-Glape misalnya, yang berkisah tentang para binatang yang lupa diri, secara jenaka merupakan <i>pasemon</i> dan sebuah kritik sosial yang menyindir perilaku serakah serta nafsu kuasa yang tak terkendalikan yang pada akhirnya hanya membawa kebinasaan. </p> <p style="margin-bottom: 0in;"> Musikolog Judith Becker dalam bukunya; <i>Traditional Music in Modern Java</i> ( The University Press of Hawaii, 1980) menyebutkan bila kemampuan menciptakan gending-gending popular yang diterima oleh masyarakat Jawa secara luas membuat Pemerintah kemudian menggandengnya untuk menciptakan gending yang bisa mengajak masyarakat luas untuk menjadi ‘partisipan aktif pembangunan’ ( ini memang istilah politik khas Pemerintah Orde Baru). Beberapa gending ciptaannya seperti Sensus Pertanian, Transmigrasi, Bahagia KB atau Eka Prasetya Panca Karsa pun menunjukkan bahwa Ki Narto juga diakui Pemerintah sebagai komposer (<i>pangrawit</i>) penting, bahkan gending seperti Identitas Jawa Tengah penciptaannya diawali dengan sebuah SK dari Gubernur Jawa Tengah pada waktu itu. Maka secara unik Ki Nartosabdho juga mengalami relasi pujangga dan patron penguasa, sebagaimana yang terjadi pada para pujangga istana seperti Mpu Sedah atau Mpu Panuluh di jaman dulu.</p> <p style="margin-bottom: 0in;"> Walau begitu, bila kita cermati benar semua gending yang diciptakan oleh Ki Nartosabdho menghembuskan nafas kerakyatan yang kuat. Seniman yang dilahirkan pada tahun 1925 di desa Wedi, Jawa Tengah ini lebih bangga dengan perannya sebagai seorang pengendang dan dalang, sama sekali jauh dari pretensi untuk menjadi seorang ‘pujangga penguasa’. Kini, 24 tahun sepeninggalnya ( penerima Bintang Mahaputra ini meninggal dunia pada 7 Oktober 1985) gending gending ciptaannya masih mewarnai blantika musik Indonesia. Banyak sudah bermunculan dalang-dalang kondang yang memadukan seni karawitan dengan peralatan musik elektronik, yang bermaksud menghadirkan idiom musikal yang baru bagi pagelaran wayang mereka. Namun keunggulan Ki Nartosabdho sebagai maestro gending gaya Semarangan, hingga kini belum tergantikan. </p> <p style="margin-bottom: 0in;"> </p> <p style="margin-bottom: 0in;" align="right"><b>Heru Emka</b>, peminat kajian budaya, tinghgal di Semarang.</p> Kajian Budaya Heru Emkahttp://www.blogger.com/profile/02078320332372397648noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5360952122397939131.post-38971480160712041522009-07-22T01:09:00.000-07:002009-07-22T01:13:19.702-07:00Musik Etnik<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgp1934TXWR68ENiUv4xJlOAUw9k4TCzafH6gFZJaQaSalF6qkNlBoCq_l8lAQ7bw9aVv5jTjra1a0YmpiW0E3LFXeJc26LNTiik9OdbW13S1Xw8fu3uMHm-yF0ZEsSrjrpX9GDoDHbEBc/s1600-h/Ki+Narto+Sabdho.+1+JPG.jpg"><img style="margin: 0pt 0pt 10px 10px; float: right; cursor: pointer; width: 245px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgp1934TXWR68ENiUv4xJlOAUw9k4TCzafH6gFZJaQaSalF6qkNlBoCq_l8lAQ7bw9aVv5jTjra1a0YmpiW0E3LFXeJc26LNTiik9OdbW13S1Xw8fu3uMHm-yF0ZEsSrjrpX9GDoDHbEBc/s320/Ki+Narto+Sabdho.+1+JPG.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5361194487962562690" border="0" /></a>
<br /><meta equiv="CONTENT-TYPE" content="text/html; charset=utf-8"><title></title><meta name="GENERATOR" content="OpenOffice.org 2.3 (Win32)"><style type="text/css"> <!-- @page { size: 8.5in 11in; margin: 0.79in } P { margin-bottom: 0.08in } --> </style> <p style="margin-bottom: 0in;"><span style="font-size:180%;"><b>Maestro Gending Semarangan</b></span></p> <p style="margin-bottom: 0in;">
<br /></p> <p style="margin-bottom: 0in;"> Oleh : <b>Heru Emka</b></p> <p style="margin-bottom: 0in;">
<br /></p> <p style="margin-bottom: 0in;">
<br /></p> <p style="margin-bottom: 0in;"> Bila menyebut nama (almarhum) Ki Nartosabdho, biasanya orang lebih sering membicarakan sebagai seorang dalang ternama. Padahal Ki Nartosabdho juga serorang maestro gendhing Jawa populer, bahkan dianggap sebagai pelopor seni karawitan gaya baru (<i>gagrak anyar</i>). Hal inilah yang hingga sekarang sering dilupakan. </p> <p style="margin-bottom: 0in;"> Setting budaya dalam kehidupan sosial di Jawa Tengah pada awal tahun ’50-an, yang perlahan-lahan menyerap wacana modernisme yang mulai mengembang sebagai konsekuensi dinamika sosial politik yang terjadi paska Kemerdekaan, membuat gending Jawa tradisional, yang bersumber pada tradisi tembang <i>macapatan</i> tradisi literer Keraton seperti Serat Wulangreh atau Wedhatama, tersaingi oleh kemunculan gending-gending Jawa populer yang lebih cepat akrab di telinga masyarakat. </p> <p style="margin-bottom: 0in;"> Gending Jawa populer yang diciptakan oleh Ki Nartosabdho ini, sebenarnya juga merupakan respon musikal Ki Narto sebagai seorang budayawan Jawa terhadap suasana kultural-politik yang ‘baru’. Ki Narto sebagai inovator gending Jawa, memilih melakukan pendekatan yang populis Maraknya lagu-lagu pop sebagai klangenan baru masyarakat di perkotaan Jawa tengah membuat popularitas gending Jawa ( yang punya porsi dan penggemar tersendiri, seperti sajian acara Uyon-Uyon yang dulu disiarkan secara rutin di RRI Semarang, misalnya) sedikit demi sedikit mulai ditinggalkan. </p> <p style="margin-bottom: 0in;"> Ki Nartosabdho yang ingin agar gending Jawa tetap diminati masyarakat, pun membuka diri terhadap berbagai kemungkinan yang bisa memperkaya wacana musikal gending Jawa, dengan membentuk grup karawitan Condong Raos di tahun 1961 dan menciptakan inovasi yang menyegarkan. Selain melakukan pengayaan pada model tempo dan ‘sinkopasi’ kendangan yang lebih dinamis – dalam hal ini Ki Narto bahkan dikenal sebagai maestro kendang yang jempolan -, dia juga membuka diri terhadap warna musik lain, baik yang berasal dari Barat (samba) atau pun gaya musik etnis kita lainnya, seperti gaya karawitan Sunda, Bali atau Jawa Timur-an. </p> <p style="margin-bottom: 0in;"> Maka Ki Nartosabdho pun dikenali dengan gending <i>gagrak anyar</i> ciptaannya, yang antara lain bertempo cepat dalam suasana yang <i>sigrak</i> (dinamis), dengan durasi yang lebih pendek ( hampir menyamai durasi rata-rata lagu pop Indonesia), serta lirik lagu yang lebih ngepop, yang berkisah tentang peristiwa dan pengalaman yang bersifat personal dalam keseharian hidup manusia Jawa modern. Maka, gending Ki Nartosabdho pun segera menandai kebangkitan gendhing Jawa Populer.</p> <p style="margin-bottom: 0in;"> Sebut saja beberapa judul gending ciptaannya, seperti Swara Suling, Praon,- yang dalam buku <i>Gending Jawi soho Dolanan Gagrak Enggal anggitanipun Ki Nartosabdho</i>, (diterbitkan untuk memperingati 4 windu Paguyuban Ngesti Pandowo, 1969) tertulis dengan judul Ayo Praon, juga gending lainnya : Aja Lamis, Sapu Tangan, Kembang Glepang, Glopa-Glape atau Lumbung Desa,- pun menjadi hit abadi yang hingga sekarang ini masih diputar di radio dan dimainkan – tak saja di berbagai pagelaran kesenian Jawa – namun juga dibawakan dalam irama pop, keroncong atau jaipongan. Gending Swara Suling bahkan pernah dimainkan oleh Tamam Husein dan Bubi Chen dalam irama jazz.</p> <p style="margin-bottom: 0in;"> Sebagai seniman dengan pribadi yang hangat, humoris dan romantis, Ki Narto juga piawai mencipta gending percintaan seperti Aja Lamis, Mari Kangen, Sapu Tangan, Janjine Piye, Aku Ngimpi dan sebagainya. Nuansa keseharian orang Jawa yang merasuki jaman modern pun terasa pada gending Lesung Jumengglung, Bemo Semarang dan sebagainya. Sebagai dalang kondhang, Ki Narto amat piawai menampilkan gaya bahasa yang hidup, ungkapan yang segar, dan iidiom bahasa yang menggigit. Dalam gending Kembang Glepang yang bergaya Banyumasan itu, dia menampilkan idiom bahasa yang tak kalah greget dengan sastrawan Indonesia terkemuka, seperti ‘ <i>nyumbang geni sak wuwungan, nyumbang banyu sakuranjang</i>’. </p> <p style="margin-bottom: 0in;"> Sungguh nuansa yang absurd bila kita menelan begitu saja aforisma dalam lagu ini tentang ‘ menyumbang api sebubungan rumah ( yang amat berbahaya) atau menyumbang air sekeranjang ( jelas sia-sia karena airnya pasti terbuang semua). Ini menunjukkan bila Ki Narto sungguh piawai bermain <i>pasemon</i>. Gending Glopa-Glape misalnya, yang berkisah tentang para binatang yang lupa diri, secara jenaka merupakan <i>pasemon</i> dan sebuah kritik sosial yang menyindir perilaku serakah serta nafsu kuasa yang tak terkendalikan yang pada akhirnya hanya membawa kebinasaan. </p> <p style="margin-bottom: 0in;"> Musikolog Judith Becker dalam bukunya; <i>Traditional Music in Modern Java</i> ( The University Press of Hawaii, 1980) menyebutkan bila kemampuan menciptakan gending-gending popular yang diterima oleh masyarakat Jawa secara luas membuat Pemerintah kemudian menggandengnya untuk menciptakan gending yang bisa mengajak masyarakat luas untuk menjadi ‘partisipan aktif pembangunan’ ( ini memang istilah politik khas Pemerintah Orde Baru). Beberapa gending ciptaannya seperti Sensus Pertanian, Transmigrasi, Bahagia KB atau Eka Prasetya Panca Karsa pun menunjukkan bahwa Ki Narto juga diakui Pemerintah sebagai komposer (<i>pangrawit</i>) penting, bahkan gending seperti Identitas Jawa Tengah penciptaannya diawali dengan sebuah SK dari Gubernur Jawa Tengah pada waktu itu. Maka secara unik Ki Nartosabdho juga mengalami relasi pujangga dan patron penguasa, sebagaimana yang terjadi pada para pujangga istana seperti Mpu Sedah atau Mpu Panuluh di jaman dulu.</p> <p style="margin-bottom: 0in;"> Walau begitu, bila kita cermati benar semua gending yang diciptakan oleh Ki Nartosabdho menghembuskan nafas kerakyatan yang kuat. Seniman yang dilahirkan pada tahun 1925 di desa Wedi, Jawa Tengah ini lebih bangga dengan perannya sebagai seorang pengendang dan dalang, sama sekali jauh dari pretensi untuk menjadi seorang ‘pujangga penguasa’. Kini, 24 tahun sepeninggalnya ( penerima Bintang Mahaputra ini meninggal dunia pada 7 Oktober 1985) gending gending ciptaannya masih mewarnai blantika musik Indonesia. Banyak sudah bermunculan dalang-dalang kondang yang memadukan seni karawitan dengan peralatan musik elektronik, yang bermaksud menghadirkan idiom musikal yang baru bagi pagelaran wayang mereka. Namun keunggulan Ki Nartosabdho sebagai maestro gending gaya Semarangan, hingga kini belum tergantikan. </p> <p style="margin-bottom: 0in;"> </p> <p style="margin-bottom: 0in;" align="right"><b>Heru Emka</b>, peminat kajian budaya, tinghgal di Semarang.</p> Kajian Budaya Heru Emkahttp://www.blogger.com/profile/02078320332372397648noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5360952122397939131.post-78614933511051904732009-07-22T01:00:00.000-07:002009-07-22T01:02:21.785-07:00Film Robotik<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiRVML-X9HJ3ROq_bb2G5GKaPhYWBq25s7xD84GPq_FAk_GNZd6pnYMPXQg8FRcCr0h7CAaJAH3nbKlCPTDQgxhtAARxqp3w26HMWHBiR2OMkBzKlRa1Mg9rdsy74cBr9uo7qFx_jXT1oM/s1600-h/Wall+E.jpg"><img style="margin: 0pt 0pt 10px 10px; float: right; cursor: pointer; width: 320px; height: 256px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiRVML-X9HJ3ROq_bb2G5GKaPhYWBq25s7xD84GPq_FAk_GNZd6pnYMPXQg8FRcCr0h7CAaJAH3nbKlCPTDQgxhtAARxqp3w26HMWHBiR2OMkBzKlRa1Mg9rdsy74cBr9uo7qFx_jXT1oM/s320/Wall+E.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5361191698763957426" border="0" /></a>
<br /><meta equiv="CONTENT-TYPE" content="text/html; charset=utf-8"><title></title><meta name="GENERATOR" content="OpenOffice.org 2.3 (Win32)"><style type="text/css"> <!-- @page { size: 8.5in 11in; margin: 0.79in } H3 { margin-top: 0in; margin-bottom: 0in } H3.western { font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt } H3.cjk { font-family: "Lucida Sans Unicode"; font-size: 12pt } H3.ctl { font-family: "Tahoma"; font-size: 12pt } P { margin-bottom: 0.08in } --> </style> <p style="margin-bottom: 0in; font-weight: bold;"><span style="font-size:180%;"><span lang="en">Transformasi, Mitos dan Mimpi Terkini</span></span></p> <h3 class="western" lang="en"> </h3> <h3 class="western"><span lang="en"> Oleh : Heru Emka</span></h3> <p style="margin-bottom: 0in;" lang="en"> heruemka@yahoo.com</p> <p style="margin-bottom: 0in;" lang="en">
<br /></p> <p style="margin-bottom: 0in;"> <span lang="en"> Hollywood baru saja merayakan sukses komersial film Transformer 2 : Revenge of The Fallen, yang memang sedang dinantikan oleh para pecinta film laga bergenre scifi. </span> </p> <p style="margin-bottom: 0in;"><span lang="en">Dalam film berdurasi 149 menit, garapan Michael Bay ini, memang tergambarkan adegan pertempuran dahsyat antara para mahluk alien yang berbentuk robot, dari kubu Autobot dan Deception, </span><span lang="en">dengan segala bentuk kecanggihan mereka untuk mentransormasikan diri, dari penyamaran dalam bentuk aneka mobil, dalam wujud aslinya sebagai robot gigantik dengan daya penghancur tinggi.</span></p> <p style="margin-bottom: 0in;"><span lang="en"> Salah satu pimpinan robot antagonis, The Fallen, bahkan berencana untuk menghisap energi matahari untuk berkuasa dan memusnahkan bumi. Untunglah pimpinan robot protagonis, Optimus Prime beserta kelompoknya berpihak pada Pentagon untuk menyelamatkan bumi dari kehancuran. Kita lepaskan sejenak jalan cerita yang memang digagas untuk melariskan mobil mainan produksi Hasbro, juga tanpa berpikir, kenapa semua alien yang saling bermusuhan ini, sama sepakat untuk menyamar dalam berbagai bentuk kendaraan yang ada di AS ? Yang jelas terbaca dari tren film seperti ini adalah betapa budaya pop Amerika berhasil mendesakkan konsep transformasi ( dari pemuda lugu bernama Clark Kent menjadi mahluk super kuat bernama Superman, dan seterusnya) sebagai bagian dari harapan dan mimpi panjang untuk menjadi pemenang. </span> </p> <p style="margin-bottom: 0in;"><span lang="en"> Mitos tentang kesaktian para dewa di jaman dulu, oleh industri budaya pop kini dengan sukses diterjemahkan sebagai semua keutamaan dan keunggulan manusia super ( hasrat untuk mengatasi keterbatasan fisik manusia) berikut perluasan fantasi akan robot (perlambang harapan akan kemampuan mempersekutukan teknologi) dalam sejarah panjang Hollywood. Di dunia nyata, visi manusia terhadap pengembangan robot memang kian meningkat, dan di layar perak, metamorfosa fisikal robot dan kecerdasan buatannya melaju lebih kencang, dari bentuk Manusia Kaleng (Tin Man) dalam Wizard of Oz hingga cyborg penyelamat bumi dalam Terminator 2.</span></p> <p style="margin-bottom: 0in;"><span lang="en"> Sebelumnya para penulis fiksi ilmiah seperti H.G. Wells, Francis Flagg atau Karel Capek telah memulai ekpslotasi imajinernya tentang ‘mesin yang hidup’, yang dihadirkan secara visual oleh para sutradara film, dengan penafsiran dan dramatisasi sebegitu rupa hingga lebih dinikmati daripada sekedar gambaran fantasi semata. </span> </p> <p style="margin-bottom: 0in;" lang="en"> </p> <p style="margin-bottom: 0in;"><span lang="en"> </span><span lang="en"><b>Keresahan psikologis masyarakat industri</b></span></p> <p style="margin-bottom: 0in;"> <span lang="en"> </span><span lang="en">Kecemasan ini (terhadap salah fungsi teknologi ) lantas menjadi tema dalam berbagai film tentang robot, dianggap sebagai keresahan psikologis tersendiri bagi masyarakat industri. Otomatisasi yang menghalau peran manusia memuncak pada dramatisasi perebutan kekuasaan oleh para robot terhadap manusia. Dalam wacana budaya pop seperti komik atau novel sci-fi, robot banyak digambarkan dalam berbagai bentuk dan penampilan yang beragam, mulai dari pelayan yang patuh dan efisien hingga sebagai mesin pintar yang ‘jahat’ dan merancang ‘penghianatan’ sistematis terhadap penciptanya. </span> </p> <p style="margin-bottom: 0in;"><span lang="en"> Dalam film Forbidden Planet (1956), si robot bernama Robbie adalah sahabat yang setia. Maria, robot ‘perempuan’ dalam Metropolis, bahkan tampil sebagai robot seksi yang pertama kali. Serial Star Wars-nya George Lucas memberikan gambaran robot gemuk R2D2 (baca : artuditu) yang mengingatkan kita akan peranan paea punakawan dalam kisah wayang. </span> </p> <p style="margin-bottom: 0in;"><span lang="en"> Transformasi </span><span lang="en">robot dari sebuah mesin semata menjadi mahluk-setengah-manusia baru muncul dalam film Blade Runner karya Ridley Scott. Dalam film ini, digambarkan bahwa manusia sudah terbiasa hidup berdampingan dengan cyborg (manusia setengah robot). Para cyborg di film ini tak saja bisa melakukan kejahatan, namun juga bisa menjalin hubungan cinta den gan manusia. </span> </p> <p style="margin-bottom: 0in;"><span lang="en"> Tema ini lalu digambarkan ikut membelah kepribadian manusia, kemudian memicu dilema moral. Problematika antara hubungan robot dan manusia pun mengalami babak baru dalam film Hollywood. Tak lagi sebatas budak dan tuannya, atau seperangkat mesin dan teknisi penciptanya, namun juga berada dalam suatu kondisi krisis yang mengancam keutuhan identitas manusia, baik secara moral atau psikologis.</span></p> <p style="margin-bottom: 0in;"><span lang="en"> Gene Rodenberry, penulis cerita fiksi ilmiah Star Trek, mengatakan, “ Dalam wacana fiksi-ilmiah, robot tak lagi diberi identitas sebagai sebuah benda serba guna, namun kemudian dijelmakan juga sebagai perluasan sifat manusia itu sendiri (</span><span lang="en"><i>extension of man</i></span><span lang="en">) yang sebenarnya amat didambakan, namun tak bisa terwujud dalam kenyataan. Robot bisa melakukan berbagai hal yang tak bisa dilakukan oleh manusia, karena keterbatasan fisik dan kemampuan manusia. Gagasan awal tentang cyborg dan para humanoid (mahluk buatan yang ben tuknya seperti manusia ) lainnya adalah awal dari penggambaran mimpi kita sendiri, untuk menjadi mahluk super yang melampaui keterbatasan fisiknya.” </span> </p> <p style="margin-bottom: 0in;"><span lang="en"> Apa yang diungkapkan oleh Roddenberry dalam </span><span lang="en"><i>Science Fiction and Borders</i></span><span lang="en"> menunjukkan eksistensi kekinian yang tak saja terjadi di ranah fiksi, namun dalam realitas teknologi. Moralitas kloning dan pencangkokan indera buatan pada mnusia kini mulai menjadi ‘mainan’ yang digemari para ilmuwan. “ Semua diilhami pesona khayali film fiksi ilmiah yang selama ini telah melenakan manusia di seluruh dunia, “ ujarnya lagi.</span></p> <p style="text-indent: 0.5in; margin-bottom: 0in;"><span lang="en">Dilema emosional yang terjadi saat manusia berinteraksi dengan para robot, tadinya memang hanya sebatas bumbu cerita semata, agar film robot bisa nyantol di hati penontonnya. Upaya lebih jauh lagi untuk mempertajam konflik kepribadian manusia yang tercekam situasi robotik justru dilakukan oleh Hollywood dengan memadukan bentuk fisik robot dengan emosi humanis, seperti kita lihat dalam film Robocop. Dalam film garapan sutradara Irvin Kershner ini, aktor Peter Weller berperan sebagai seorang polisi yang sengaja ‘dicangkokkan’ dalam tubuh robot. Yang muncul adalah tahapan hidup tragis, tentang bagaimana perasaan seseorang yang amat sadar dirinya terpenjara dalam sebuah mesin, sementara memorinya sebagai manusia masih tersisa dan berjuang keras untuk melawan program komputer yang berusaha mendesak kesadarannya sebagai manusia ke tingkat yang paling rendah.</span></p> <p style="text-indent: 0.5in; margin-bottom: 0in;"><span lang="en">Karena film robot telah menjadi genre tersendiri yang memiliki penonton fanatik dari segala usia, Hollywood terus memperbaharui tema-tema yang bisa diangkat untuk mengemas film robot menjadi tontonan yang laris manis di pasaran. Dalam film robot produksi Pixar; Wall-E, para robot digambarkan bisa mengembangkan kecerdasan buatannya sendiri hingga mencapai tahap empati. Bahkan bisa jatuh cinta segala. . </span><span lang="en"><i><b> </b></i></span></p> <p style="margin-bottom: 0in;"><span lang="en"> Sebuah ‘percintaan mekanik’ seperri ini </span><span lang="en">pasti cukup unik, karena apakah yang mendasari perasaan cinta robot ? Bagaimanakah mereka mengidentifikasi ‘lawan jenisnya’ ? Apakah berdasarkan pesona seksual seperti manusia ? Atau apakah ada logika cinta yang sama sekali berbeda ? Inilah babak baru ‘dunia robot’ di layar Hollywood. </span> </p> <p style="margin-bottom: 0in;">
<br /></p> Kajian Budaya Heru Emkahttp://www.blogger.com/profile/02078320332372397648noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5360952122397939131.post-66369471720316301252008-03-27T11:34:00.000-07:002008-03-27T13:06:07.288-07:00Cinta yang Menaklukkan Segalanya<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhXPcPl2fJ711wrk6tsuAeAb0Lvbbx_ESDYWVSOML2KfyzV-coZvO6s1KBjUKcbZdUPZOfiwsHRajEYzuPU4niHHQrwpYAb8oblHQ37FmP9b6HYjwWs6l6idbkZXbMusru1EftX1qIYvEs/s1600-h/Jodha+aakbar+poster.JPG"><img style="margin: 0pt 0pt 10px 10px; float: right; cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhXPcPl2fJ711wrk6tsuAeAb0Lvbbx_ESDYWVSOML2KfyzV-coZvO6s1KBjUKcbZdUPZOfiwsHRajEYzuPU4niHHQrwpYAb8oblHQ37FmP9b6HYjwWs6l6idbkZXbMusru1EftX1qIYvEs/s320/Jodha+aakbar+poster.JPG" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5182495645732669250" border="0" /></a><span style="font-size:130%;"><span style="font-weight: bold;font-family:verdana;" >Cinta yang Menaklukkan Segalanya</span></span><br /><p class="MsoNormal"> </p><p class="MsoNormal"><i>Jodhaa-Akbar</i><span style=""> </span>adalah film <st1:country-region><st1:place>India</st1:place></st1:country-region> ke sekian yang berhasilmenaklukkan pasar film dunia. Di kwartal pertama tahun 2008 ini misalnya, <i>Jodhaa-Akbar</i><span style=""> </span>tak saja diputar di jaringan gedung bioskopAS, namun juga di Eropa dan Kanada. Sukses komersial film ini tak saja karena menampilkan dua bintang muda yang punya kualitas akting memesona, namun juga seting cerita yang memberi pemahaman baru pada nuansa sejarah local <st1:country-region><st1:place>India</st1:place></st1:country-region>, pada masyarakat film dunia.<span style=""> </span></p> <p class="MsoNormal"><span style=""> </span><em><a href="http://wallpapers.oneindia.in/v/album18-Bollywood-Movies/2007/jodhaa-akbar/"><span style="text-decoration: none; color: rgb(0, 0, 0);">Jodhaa Akbar</span></a></em> berkisah tentang cinta yang nyaris tak terungkap, antara penguasa Mughal, Kaisar Jalaluddin Mohammad Akbar (<a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Hrithik_Roshan" title="Hrithik Roshan"><span style="text-decoration: none; color: rgb(0, 0, 0);">Hrithik Roshan</span></a>), dengan Puteri Jodhaa (<a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Aishwarya_Rai" title="Aishwarya Rai"><span style="text-decoration: none; color: rgb(0, 0, 0);">Aishwarya Rai</span></a>), dara Rajput yang cantik, cerdas dan berapi-api.<span style=""> </span>Film yang berlatarkan peristiwa di abad ke 16 di India ini bertumpu pada perkawinan politis antara dua kerajaan dengan dua budaya yang berbeda, untuk membentuk aliansi baru. Penguasa Rajput, Raja Bharmal (<a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Kulbhushan_Kharbanda" title="Kulbhushan Kharbanda"><span style="text-decoration: none; color: rgb(0, 0, 0);">Kulbhushan Kharbanda</span></a>) yang Hindu, sepakat memberikan puterinya untuk dipersunting oleh<span style=""> </span>Kaisar Akbar yang Muslim. Sang kaisar yang masih muda ini tadinya hanya terpikat oleh kecantikan puteri Jodhaa semata. Dia sama sekali tak menyadari, bahwa hubungan ini akan membawanya pada pengalaman hidup yang baru, yang sama sekali tak pernah diduga sebelumnya</p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;">Pada dasarnya Jalaluddin muda adalah lelaki pemberani. Ketangguhannya di <st1:city><st1:place>medan</st1:place></st1:city> perang berbuah kemenangan demi kemenangan. Siasat perangnya membuat satu persatu lawan yang tangguh bertekluk lutut di hadapannya, sehingga dia mendapat julukan Akbar, yang berarti paling hebat. Namun kehandalan di <st1:city><st1:place>medan</st1:place></st1:city> perang tak berguna sedikit pun saat dia berusaha memenangkan cinta si cantik Jodhaa, yang ternyata berani menentang semua pendapatnya.</p> <p class="MsoNormal"><span style=""> </span>Sebagai orang yang sejak kanak-kanak mendambakan posisi sebagai penguasa tertinggi, Jalaluddin Mohammad <a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Akbar_the_great" title="Akbar the great"><span style="color: rgb(0, 0, 0);">Akbar</span></a> menampilkan citra sepenuhnya sebagai penguasa yang memandang keberhasilan dengan seberapa jauh dia bisa memperluas wilayah kekuasaannya. Dari kawasan Asia Barat, dia terus melebarkan sayap ke wilayah timur, menaklukkan kerajaan kecil yang ada di <st1:city><st1:place>sana</st1:place></st1:city> satu persatu. Setelah Akbar berhasil menguasai celah <a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Hindu_Kush" title="Hindu Kush"><span style="text-decoration: none; color: rgb(0, 0, 0);">Hindu Kush</span></a> yang strategis, barulah kaisar muda ini menyadari bila wilayah kekuasaanya telah membentang begitu luas, dari Teluk Bangala hingga <a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Afghanistan" title="Afghanistan"><span style="text-decoration: none; color: rgb(0, 0, 0);">Afghanistan</span></a>, dari pegunungan <a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Himalayas" title="Himalayas"><span style="text-decoration: none; color: rgb(0, 0, 0);">Himalaya</span></a> hingga Sungai Godawari.</p> <p class="MsoNormal"><span style=""> </span><span style=""> </span>Walau begitu, kebesaran Akbar masih mendapat tantangan. Di depannya masih ada Rajput, benteng Hindu terkuat yang masih tersisa. Raja Bharma, walau menyadari bila kerajaannya tak bisa menandingi mesin perang Mughal, tak mau menyerah begitu saja, bahkan bertekat melawan sekuat tenaga. Akbar sendiri sebenarnya sudah ‘capek’, dan ingin menikmati masa jeda dengan kehidupan duniawi. Apalagi kerajaan yang telah tunduk mengisi haremnya dengan puteri-puteri <st1:country-region><st1:place>India</st1:place></st1:country-region> yang jelita.</p> <p class="MsoNormal"><span style=""> </span><span style="font-weight: bold;font-size:100%;" >‘Singa betina’ yang dipuja</span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;">Dari teks sejarah yang ada, yang berhasil ditemukan oleh <a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Ashutosh_Gowariker" title="Ashutosh Gowariker"><span style="text-decoration: none; color: rgb(0, 0, 0);">Ashutosh Gowariker</span></a> ( sutradara dan produser film ini ) Akbar tak pernah bertemu dengan Jodha sebelumnya, selain penuturan para penasehatnya bahwa dengan ‘memiliki’ Puteri Jodha, dia tak saja mendapat interi yang cantik dan pintar, namun juga bisa memiliki sebuah kerajaan tanpa harus mengeluarkan tenaga, karena sang puteri adalah belahan jiwa ayahnya. Logika yang diajukan para penasehat Akbar adalah puteri Jodhaa tak ubahnya sebuah cek kosong yang memberi peluang keuntungan luar biasa, baik secara politis atau militer.</p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;">“Baginda akan mendapat citra bijaksana seperti nabi Sulaiman, karena melindungi sebuah kerajaan Hindu.Di samping itu, bila kita tak perlu mengerahkan prajurit, amat menghemat biaya pengeluaran perang kita. Sebaliknya hubungan dagang dengan kerajaan Hindu itu menguntungkan kita, karena tak usah pergi jauh untuk mendapatkan barang berharga dari negeri Cina,” begitu usul para penasehat kepada Akbar. </p> <p class="MsoNormal"><span style=""> </span>Dalam kenyataan sejarah yang ada, isteri Sultan Akbar ini tak pernah dikenal dengan nama <a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Jodhabai" title="Jodhabai"><span style="text-decoration: none; color: rgb(0, 0, 0);">Jodhabai</span></a>. Penyebutan dengan nama ini baru muncul akibat salah kaprah yang terjadi di abad19. Nama puteri yang cerdas dan pemberani ini sebenarnya adalah<span style=""> </span>Hira-Kunwari, nama yang dipakai saat dia masih gadis.Setelah menikah dengan Sultan yang Muslim, dan permaisuri, namanya berubah menjadi <a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Mariam-uz-Zamani" title="Mariam-uz-Zamani"><span style="text-decoration: none; color: rgb(0, 0, 0);">Mariam-uz-Zamani</span></a>.</p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;"><span style=""> </span>Bagi penguasa yang masih muda ini, tak ada salahnya bila dia menempuh jalan yang menguntungkan. Apalagi dia mendambakan pasangan hidup yang tak asal tunduk. Dia mendambakan perempuan yang sepadan bagi penguasa dunia. Seperti Ruksahan (Roxxane), ‘singa betina’yang membuat penguasa mashur Iskandar Zulkarnain yang Agung (Alexander the Great ) bertekuk lutut mencintainya. </p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;">Dan lagi, semua tekanan, baik intimidasi militer, berbagai upaya diplomasi hingga teror psikologis yang keji, semua tak berguna bagi benteng Rajput yang bertekat untuk melawan sampai semuanya tumpas. Jodha mau saja berpindah posisi, menjadi pengantin kasisar muda paling berkuasa. Namun dia bukanlah merpati tanpa daya di kamar pengantinnya. Yang ajaib, puteri Jodha – dengan segenar paduan antara kecantikan, kecerdasan dan keberaniannya - menumbuhkan kesadaran Akbar, bahwa meriam dan pedang bukanlah kehebatan sejati para pria.<span style=""> </span></p> <h5><span class="mw-headline"><span style="font-weight: normal;"><span style=""> </span><span style=""> </span><span style="font-size:100%;">Maka, sang kaisar, yang kehadirannya di sebuah negeri mampu menimbulkan kepanikan rakyat yang gentar mendengar reputasi militernya, akhirnya bersimpuh di depan pesona sang cinta. Secara seksual dia ditaklukkan Yodha. Dalam kearifan ilmu tata pemerintahan, kekuasaan yang tadinya berlandaskan logika pedang, telah dibelokkan Yodah menjadi kearifan kebijakan pemerintahan ala Sulaiman yang ramah perempuan.</span> <o:p></o:p></span></span></h5> <h5><span class="mw-headline"><span style="font-weight: normal;"><span style=""> </span>Secara bijak, Yodha tidak berdiri di depan tampuk kekuasaan. “ Telunjuk baginda lah yang memerintah dunia,” katanya secara cerdik memberi persuasi pada sang suami. Namun Yodha terus menunjukkan kekuatan perempuan sebagai insane ciptaan Tuhan, yang sama kuatnya dengan lelaki mana pun. Dia bagaikan sang puteri, yang terus memukai sang Raja dengan kalimat luar biasa, dengan dongeng selama seribu satu malam, yang bisa merubah hasrat pembunuhan menjadi api cinta, yang menyala perlahan dari sebuah bara. Pada akhirnya, Baginda Akbar lah yang mengmis cinta pada Jodha. <o:p></o:p></span></span></h5> <span class="mw-headline" style="font-size:100%;"><span style=""><span style=";font-family:times new roman;" >Dan happy ending yang terjadi di antara mereka , bukan lagi fiksi. Sejarah sering mencatat penghargaan yang begitu besar dari Sang Penguasa kepada belahan jiwanya. Taj Mahalm yang sebenarnya makam maha indah yang dibangun oleh seorang Raja untuk mengenang permaisurinya,-</span><span style=";font-family:times new roman;" > </span><span style=";font-family:times new roman;" >adalah</span><span style=";font-family:times new roman;" > </span><span style=";font-family:times new roman;" >salah satu contoh yang nyata.</span><span style=""><br /></span></span></span><div style="text-align: right;"><span class="mw-headline"><span style=""><span style=""><span style="font-weight: bold;"><span style="font-size:100%;">Heru Emka</span> </span></span></span></span><br /><span class="mw-headline"><span style=""><span style=""></span></span></span></div><span class="mw-headline"><b><span style=""><span style=""> </span></span></b></span> <p class="MsoNormal"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal"><span style=""> </span><b><o:p></o:p></b></p>Kajian Budaya Heru Emkahttp://www.blogger.com/profile/02078320332372397648noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5360952122397939131.post-88658876330728297402008-03-27T11:33:00.000-07:002008-03-27T13:02:50.974-07:00<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgaIT9wKVumW7cqIrTAoaKp74rKM5VNChQi2hymynl_H5B9Ma0JXbq4u_dNpb-YDE1cw_uQWnekf2ylZVMDpGxDZuqW_rMTPGZm0LVz1N8296WzPvoQmHAMiPlPNdhuuzaj7NTtiCFs-gg/s1600-h/lost+in+beijing.JPG"><img style="margin: 0px auto 10px; display: block; text-align: center; cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgaIT9wKVumW7cqIrTAoaKp74rKM5VNChQi2hymynl_H5B9Ma0JXbq4u_dNpb-YDE1cw_uQWnekf2ylZVMDpGxDZuqW_rMTPGZm0LVz1N8296WzPvoQmHAMiPlPNdhuuzaj7NTtiCFs-gg/s320/lost+in+beijing.JPG" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5182505137610393426" border="0" /></a><br /><h1 style="text-align: center;"><span style="font-weight: bold;font-family:arial;font-size:180%;" ><span style="font-size:12;">Lost in </span><st1:city><st1:place><span style="font-size:12;">Beijing</span></st1:place></st1:city></span><span style="font-size:12;"><span style="font-size:180%;"><span style="font-family:trebuchet ms;"> </span></span><o:p></o:p></span></h1> <p class="MsoNormal"><b><span style=""> </span><span style=""> </span></b><i>Lost in Beijing</i> adalah film yang memikat, menunjukkan bila negeri komunis seperti <st1:country-region><st1:place>China</st1:place></st1:country-region>, justru melahirkan banyak sutradara film yang berkualitas prima. Sutradara <a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Li_Yu_%28director%29" title="Li Yu (director)"><span style="text-decoration: none; color: rgb(0, 0, 0);">Li Yu</span></a>,yang menggarap film ini sebagai pengungkapan narasi perjuangan hidup di kawasan urban China kontemporer, berhasil mendulang pujian, saat film ini ditayangkan pada <a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Berlin_International_Film_Festival" title="Berlin International Film Festival"><span style="text-decoration: none; color: rgb(0, 0, 0);">Berlin International Film Festival</span></a> (16 Februari 2007 ) 2007. </p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;">Li Yu sendiri dikenal sebagai sutradara muda yang berani menggarap tema-tema yang dianggap rawan di kalangan sineas <st1:country-region><st1:place>China</st1:place></st1:country-region>. Film garapan Yu sebelumnya; <a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Fish_and_Elephant" title="Fish and Elephant"><i><span style="text-decoration: none; color: rgb(0, 0, 0);">Fish and Elephant</span></i></a> (2002), mengungkap problematika lesbianisme. Karya<span style=""> </span>lainnya; <a href="http://en.wikipedia.org/w/index.php?title=Dam_Street&action=edit" title="Dam Street"><i><span style="text-decoration: none; color: rgb(0, 0, 0);">Dam Street</span></i></a><span style=""> </span>(2005), dipuji sebagai film drama yang memikat. .</p> <p class="MsoNormal"><span style=""> </span><span style=""> </span><i>Lost in Beijing</i> yang uskes di manca negara, ternyata terjegal di daratan <st1:country-region><st1:place>China</st1:place></st1:country-region>. Seperti film lain yang coba memotret problematika tubuh perempuan, <i>Lost in Beijing</i> mendapat reaksi keras. Film yang bicara blak-blakan soal pelacuran, pemerkosaan dan pemerasan ini bahkan kemudian ‘tak lolos sensor’, istilah lain bagi pencekalan.</p> <p class="MsoNormal"><span style=""> </span><span style=""> </span>Film yang dipuji di Festival Film Tribeca dan laris manis saat diputar di jaringan bioskop <st1:state><st1:place>New York</st1:place></st1:state> ini, akhirnya hanya bisa disaksikan secara on line, seutuhnya, tanpa potongan sensor sama sekali. Ini memang perlawanan cerdas terhadapgunting sensor yang beringas. </p> <p class="MsoNormal"><span style=""> </span><span style=""> </span>Fil ini menuturkan kehidupan Liu Pingguo (<a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Fan_Bingbing" title="Fan Bingbing"><span style="text-decoration: none; color: rgb(0, 0, 0);">Fan Bingbing</span></a>) dan suaminya, An Kun (<a href="http://en.wikipedia.org/w/index.php?title=Tong_Dawei&action=edit" title="Tong Dawei"><span style="text-decoration: none; color: rgb(0, 0, 0);">Tong Dawei</span></a>) adalah sepasang migran muda yang datang dari kawasan utara China yang berusaha<span style=""> </span>mencari kehidupan yang lebih baik di <a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Beijing" title="Beijing"><span style="text-decoration: none; color: rgb(0, 0, 0);">Beijing</span></a>. Tentu saja <st1:city><st1:place>Beijing</st1:place></st1:city> bukan;ah sorga bagi mereka berdua, karena selain hanya bisa menyewa sepetak ruangan sempit, suami isteri ini masih harus berjuang agar hiduplabih layak </p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;">An Kun<span style=""> </span>bekerja sebagai buruh pembersih jendela, sementara isterinya bekerja di panti pijat <st1:place><st1:placename>Golden</st1:placename> <st1:placetype>Basin</st1:placetype></st1:place>. Panti pijat ini dikelola oleh seorang pria tak tahu malu bernama Lin Dong (<a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Tony_Leung_Ka_Fai" title="Tony Leung Ka Fai"><span style="text-decoration: none; color: rgb(0, 0, 0);">Tony Leung Ka Fai</span></a>). Sedangkan isterinya,Wang Mei (<a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Elaine_Jin" title="Elaine Jin"><span style="text-decoration: none; color: rgb(0, 0, 0);">Elaine Jin</span></a>) membuka praktek pengobatan tradisional <st1:country-region><st1:place>China</st1:place></st1:country-region>. Dua jenis bekerjaan yang berbeda sifat ini, kemudian menimbulkan pertentangan antara kedua suami-isteri ini. </p> <p class="MsoNormal"><span style=""> </span><span style=""> </span>Saat sahabat Pingguo yang bernama Xiao Mei (<a href="http://en.wikipedia.org/w/index.php?title=Zeng_Meihuizi&action=edit" title="Zeng Meihuizi"><span style="color: rgb(0, 0, 0);">Zeng Meihuizi</span></a>), menyerang seorang tamu yang kurang ajar, dia dipecat oleh Lin Dong. Pingguo yang berusaha menghibur sahabatnya, sempat terlena minuman keras, dan mabuk di sebuah kedai tuak. Dalam perjalanan pulang menuju panti pijat, Pingguo tersesat di sebuah ruang kosong.Lin Dong yang memang tergoda dengan tubuh molek Pingguo, tak menyiakan ‘peluang emas’ dan segera memerkosa perempuan udik itu. Tragisnya, An Kun yang bekerja sebagai pembersih jendela,melihat adegan ini di kejauhan. </p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;">Suami Pingguo ini tak bisa menahan kemurkaannya, dia menyatroni Lin Dong, memakinya serta mengotori mobil <a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Mercedes_Benz" title="Mercedes Benz"><span style="text-decoration: none; color: rgb(0, 0, 0);">Mercedes Benz</span></a> Lin Dong. Takcuma itu, dia juga menuntut agar Ling Dong memberi uang ‘ganti rugi’ sebesar 20 ribu renminbi (mata uang <st1:country-region><st1:place>China</st1:place></st1:country-region>). Ketika Lin Dong tak memberikan uang, An Kun mencoba menggodai<span style=""> </span>Wang Mei. Isteri Lin Dong yang memang sudah lama memendam kesal pada suaminya, justru menerima godaan Ah Kun.Bahkan menyeretnya pada sebuah petualangan seksual. </p> <p class="MsoNormal"><span style=""> </span><span style=""> <br /></span></p> <p class="MsoNormal"><o:p> </o:p><span style="font-size:180%;"><span style="font-weight: bold;">Deru campur debu</span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;">Hidup,cinta dan air mata, kadang tak tampildalam urutan yang sempurna. Takdir kadang menempatkan kita di jalan kehidupan yang penuh deru campur debu. Menyesakkan,namun tak terelakkan.<span style=""> </span>Puncak dari silang sengkarut ini adalah kehamilan Liu Pingguo, dengan kedua lelaki; An Kun dan Lin Dong yang saling merasa menjadi ayah si<span style=""> </span>calon bayi. Lin Dong sendiri berniat menjadikan kehamilan Pingguo sebagai peluang untuk menceraikan isterinya. Kedua lelaki dari pusaran cinta segi empat ini kemudian membuat kesepakatan yang dianggap memadai : Lin Dong akan memberi Ah Kun uang yang dimintanya, sebagai penebus perbuatan yang dilakukan Lin Dong pada isterinya. Kedua, bila golongan darah si bayi sama dengan Lin Dong, dia akan dipelihara Lin Dong sebagai anaknya, dan AH Kun menerima uang seratus ribu renminbi lagi. Sebaliknya bila golongan darah si bayi sama dengan Ah Kun, Lin Dong bebas dari tanggung jawab.</p> <p class="MsoNormal"><span style=""> </span><span style=""> </span>Namun di luar semuakesepakatan ini, perselingkuhan antara Lin Dong dengan Pingguo kian membara, seakan membakar ranjang yang menjadi landasan cinta haram mereka. Lin bahkan tak pedulipada gugatan perceraian yang diajukan Wang Mei, yang bakalmenyita separoh hartanya. Lin bahkan bersikap seakan dia memang ayah dari janin yang dikandung Pingguo. Masalahnya semakin berbelit, karena saat si bayi dilahirkan, </p> <p class="MsoNormal">An Kun justru merasa bila si bayi adalah anak kandungnya.</p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;">Namun kemiskinan membutakan mata hati AH Kun, dia sepakat untuk menyerahkan anaknya pada Lin, demi sejumlah uang yang jumlahnya menyilaukan mata hatinya. Namun saat melihat betapa bahagianya Lin Dong memondong bayinya, api cemburu<span style=""> </span>mulai membakar hati Ah Kun, dan membisikkan hasrat keji untuk menculik sang bayi.</p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;">Bagaimana dengan Pingguo,yang jiwa raga serta anaknya yang menjadi korban konflik pribadi dua lelaki ? Perempuan cantik ini pun disiksa rasa bersalah, karena malah menghanyutkan diri dalam arus perselingkuhan ini. Dia ikut tinggal di rumah Lin Dong, namun lebih sebagai peeawat bayinya. Setelah mengambil’uang tebusan’ yang diberikan<span style=""> </span>Ah Kun padanya, dia menggendong bayinya, lalu pergi meninggalkan rumah. Film ini berakhir dengan adegan yang tak saja men gesankan; dua lelaki yang menjadi seteru dalam cinta, berada dalam sewbuah mobil yang sama: Mereka mencari Pingguo, perempuan yang dianggapbelahan jiwa oleh keduanya. Takdir untuk mencintai perempuan yang sama begitu mengenaskan dengan akhir jalan hidup keduanya : tewas dalam kecelakaan di jalanan Beijing yang begitu sibuk. Adegan ini menyisakan sebuah </p> <p class="MsoNormal">pertanyaan yang merangsang : Di manakah sebenarnya letak kebahagiaan ? Kenapabegitu banyak orang berlarian tanpa harapan, walau dia tahu jalan itu menuju satu tempat :jurang kegagalan ? .( <b>Heru Emka</b> ) </p>Kajian Budaya Heru Emkahttp://www.blogger.com/profile/02078320332372397648noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5360952122397939131.post-74375193742500912312008-01-14T09:52:00.000-08:002008-01-14T10:00:42.819-08:00Love in the Time of Cholera<div style="text-align: center;"><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhX0SETSJ1-_DOEAJy59iTx1413NPnZ475FwL-ihHDWVN1WmccGKtT_osyekAlpApy0NsxVWnGClzZQG1PNAO8LLemew3AtpkxEvqPXnKbkCNQTdOK1Bw0mv8LUhO6JvQBi92TKphU_1f0/s1600-h/love+in+the+time+of+cholera+poster.JPG"><img style="margin: 0px auto 10px; display: block; text-align: center; cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhX0SETSJ1-_DOEAJy59iTx1413NPnZ475FwL-ihHDWVN1WmccGKtT_osyekAlpApy0NsxVWnGClzZQG1PNAO8LLemew3AtpkxEvqPXnKbkCNQTdOK1Bw0mv8LUhO6JvQBi92TKphU_1f0/s400/love+in+the+time+of+cholera+poster.JPG" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5155392626550340002" border="0" /></a><b><span style="font-size:20;"><span style="font-size:180%;">Sebuah Cinta yang Keras Kepala</span> <o:p></o:p></span></b></div> <p class="MsoNormal"><b style=""><span style="font-size:16;"><span style=""> </span><span style=""> </span></span></b><span style=""> Cukup banyak film beken yang diangkat dari novel ternama. Salah satunya adalah film <i>Dr. Zhivago</i> yang diangkat dari novel besar karya Boris Pasternak. Film ini, secara kualitas berhasil (memenangkan Oscar) sementara secara komersial juga sukses di pasaran. Ketika sutradara berhasil menyelesaikan film <span class="articletitle"><i>Love in the Time of Cholera</i></span> (dirilis serentak 16 </span>November lalu) yang diangkat dari novel karya Gabriel Garcia Marquez,- saya membayangkan sebuah film yang sarat dengan romantika agung yang kelam. <span class="articletitle"><i><span style="">Love in the Time of Cholera </span></i></span><span class="articletitle"><span style="">adalah lukisan muram </span></span>sebuah kekecewaan, madah bagi jiwa yang bertahan tanpa gairah, melodrama yang merambat dari satu ke lain masa, tanpa ikatan masa silam atau sekarang.<br /><span style=""> </span><span style=""> </span></p><p class="MsoNormal"> Namun, inilah hikayat ternama yang jatuh ke tangan sutradara yang bahkan belum mantap karirnya. Mike Newell memang sempat mendapat pujian saat menyutradarai film <i>Dance With a Strager, Enchanted April</i> <i>atau Four Weddings and a Funeral</i>. Namun dia juga menghasilkan beberapa film jelek. Misalnya <i>Into the West</i> atau <i>Mona Lisa Smile</i>.<span style=""> </span><br /><span style=""> </span><span style=""> </span>Di atas kertas, kisah ini menyajikan ramuan narasi yang jarang muncul dalam sebuah film. <st1:city><st1:place>Ada</st1:place></st1:city> kebangkitan gairah tak terpuaskan yang menghantui hari demi hari, ada dorong oleh emosi yang terjalin rumit dengan prinsip dan harga diri, ada perjalanan nasib yang terombang-ambing pergeseran kekuatan politik dan sejarah. Ronald Harwood<span style=""> </span>mendapat kehormatan untuk menuliskan skenario adaptasi dan ‘menjinakkan’ kekuatan kalimat rangkaian Gabriel Garcia Marquez. Harwood sebelumnya memenangkan Oscar untuk Skenario Terbaik<span style=""> </span>dalam film <i>The Piano </i>yang disutradarai oleh Roman Polanski.<span style=""> </span></p> <p class="MsoNormal"><span style=""> </span><span style=""> </span> Kisahnya terjadi di <st1:country-region><st1:place>Argentina</st1:place></st1:country-region> di tahun 1879, ketika wabah kolera mengamuk di <st1:city><st1:place>sana</st1:place></st1:city>. Meluncurlah narasi yang mengalit bagaikan impian surealis tentang kerinduan dua manula yang saling mendamba kesempatan kedua,<span style=""> </span>bagi cinta pertama mereka. Seorang lelaki bernama Florentino Ariza (Javier Bardem) harus menunggu lebih dari setengah abad untuk menyatakan cintanya pada Fermina Daza (Giovanna Mezzogiorno). Semasih muda, Florentino yang miskin tinggal bersama ibunya (Fernanda Montengro). Dia jatuh hati pada pandangan pertama kepada si jelita Fermina, kemudian mulai menulis <st1:city><st1:place>surat</st1:place></st1:city> cinta, atau menantikan Fermina di luar rumahnya, sambil berharap bisa memandang wajahnya sekilas. Bait-bait puisi yang dibacakan Florentino dengan getar kata penuh perasaan akhirnya meluluhkan hati Fermina, hingga gadis ini bersedia menikah dengannya.<span style=""> </span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;">Namun ayah sang dara (John Leguziamo) terlanjur mengirim putrinya untuk berdiam dengan keluarganya yang lebih kaya, di luar <st1:city><st1:place>kota</st1:place></st1:city>. Walau merana, Florentino terus memelihara cintanya melalui surat-surat cinta yang ditulis tanpa henti, dan tak terkirimkan,. Namun saat Fermina kembali, dia sudah menjadi perempuan yang berbeda. Waktu telah membuatnya dewasa, sehingga Fermina berpikir bila cinta monyet mereka dulu amat mustahil terjadi. Karena itu dia pun menikah dengan Juvenal Urbino (Benjamin Bratt), seorang dokter muda yang ganteng, yang dianggap lebih sepadan oleh Fermina. . </p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;">Florentino yang tak ingin mati merana dan sia-sia, berjuang sekuat tenaga untuk menaikkan harga dirinya. Dia segera sukses berniaga. Malam demi malam, dia mengisi tempat tidurnya dengan wanita cantik. Namun ruang di hatinya tetap hampa, walau seorang jutawan bernama Senor Daza juga menawarkan juga puterinya yang jelita.</p> <p class="MsoBodyTextIndent"> Tahun demi tahun berkelebat cepat, dan semuanya pun beranjak tua. Menjelang usia senja, pernikahan Fermina ambruk akibat perselingkuhan suaminya dengan pasien wanitanya. Tak lama kemudian Juvenal tewas terserang kolera, meninggalkan<span style=""> </span>Fermina, sebagai janda. Namun di <st1:city><st1:place>sana</st1:place></st1:city><span style=""> </span>ada Florentino, yang tetap merindukan cinta Fermina dalam baying-bayang kesedihannya. Setelah sekian lama, terjadilah pertemuan dua cinta terhalang. Fermina masih bisa meraba getaran cinta masa remaja dan Florentino masih terpesona oleh cemerlang pandang Fermina yang selama ini didambakannya. Namun bisakah cinta di usia senja ini terjalin ketika ajal saling bermunculan di balik kabut kelam wabah kolera ?</p> <p class="MsoBodyTextIndent"> Setelah menyimak film ini dengan seksama, setidaknya muncul sebuah<span style=""> </span>pertanyaan : apakah narasi kata-kata Gabriel Garcia Marquez, yang begitu sugestif dan imajinatif, terlalu sukar untuk diterjemahkan dalam bahasa gambar ? Mike Newell<span style=""> </span>berhasil memberi roh pada satu dua adegan cinta yang dalam plot novelnya cukup menggetarkan. Namun adegan yang seharusnya menggambarkan amuk rindu dendam dari cinta yang membakar jiwa, sepertinya luput dari rekaman kamera. Tak ada bedanya gejolak ‘arus dalam’ haru-biru perasaan di antara gambaran karakter berusia muda dan saat mereka berusia senja. Bukankah bentuk fisik yang berbeda menimbulkan gestur dan bahasa tubuh yang tidak juga sama ?</p> Bisa ditangkap ketidaksabaran sutradara untuk menghanyutkan diri melarasi narasi hikayat yang penuh liukan panjang, hingga nampaklah jelas keinginan sutradara untuk membuat film roman ala <st1:city><st1:place>Hollywood</st1:place></st1:city>. Aktor watak sekelas Javier Bardem (yang menunjukkan kekuatan akting yang prima dalam<span style=""> </span><i>Ghost of Ghoya</i>) sepertinya dibiarkan berakting apa adanya. Aktris Giovanna ezzogiorno (pemeran Fermina), memang jelita. Namun logat Italianya yang begitu kental menimbulkan kesan <i>mis-casting</i>, karena bukankah kisahnya berlokasi di <st1:country-region><st1:place>Argentina</st1:place></st1:country-region> ?<br /><br /> Tentu ada juga pemain yang bisa larut menghayati peran yang dibawakan. Akting dua aktris pendukung seperti<span style="">Fernanda Montenegro </span>(meraih nominasi Oscar dalam film<span style=""> </span>Walter Salles yang berjudul <i>Central Station</i> ) dan si cantik Catalina Sandino Moreno( meraih nominasi Oscar dalam <i>Maria Full of Grace</i>) yang berperan sebagai sahabat karib<span style=""> </span>Farmina, bisa memberi makna pada cerita.<br /><br /> Dalam daftar film yang diangkat dari kisah novel ternama, apakah <i>Love in the Time of Cholera</i> ini hanya memperpanjang deretan dari film yang gagal menghadirkan pesona naskah aslinya ? Untunglah masih ada juru kamera dan pemadu gambar, yang berusaha keras untuk menghadirkan idiom visual yang cukup puitis, sehingga nuansa realisme-magis, yang menjadi kekuatan narasi novelis Gabriel Garcia Marquez, agak bisa diresapi dalam film yang berdurasi<span style=""> </span>139 menit ini .<br /><p class="MsoBodyTextIndent" style="margin-left: 3in; text-indent: 0in;"> (<b>Heru Emka</b> – pengamat film )</p>Kajian Budaya Heru Emkahttp://www.blogger.com/profile/02078320332372397648noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-5360952122397939131.post-37740498602052036942008-01-14T09:37:00.000-08:002008-01-14T09:47:20.081-08:00Sihir Gothic Metal<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhIHpwNdJTte9DxnbC_eclPCGKk6jPWDTrjMrj54bZ-1LBVtSqTQyHA_U5Uk_1OpI6UI4SK7oe5HHYjSDozGkRFsNgq784bauLSUTaU2tYXvlGLID09n1QBNrwnxjiGW__lWfk1nE6D8qI/s1600-h/Corvus+Corax+.JPG"><img style="margin: 0px auto 10px; display: block; text-align: center; cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhIHpwNdJTte9DxnbC_eclPCGKk6jPWDTrjMrj54bZ-1LBVtSqTQyHA_U5Uk_1OpI6UI4SK7oe5HHYjSDozGkRFsNgq784bauLSUTaU2tYXvlGLID09n1QBNrwnxjiGW__lWfk1nE6D8qI/s400/Corvus+Corax+.JPG" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5155388550626376082" border="0" /></a> <p class="MsoNormal"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="EN"><span style=""> </span><span style=""> </span> </span><span style="font-style: italic;" lang="EN"> Para personik Corvus Corax :<span style=""> </span>Teufel, Castus Rabensang, Meister Selbfried, Ardor vom Venushügel, Wim; sitting: Harmann der Drescher, Hatz, Patrick der Kalauer . Penampilan ala Gothic yang cenderung kelam</span></p><p class="MsoNormal"><span style="" lang="EN"> Setelah mendengar seluruh album Corvus Corax ( lihat foto mereka di atas) yang berjudul <i>Cantus Buranus</i> (Roadrunner Recirds, 2005), saya melakukan uji coba dengar. Saya ajak seorang teman; Amelia Priscandini - dia pecinta berat musik klasik – untuk menyimak beberapa lagu<span style=""> </span>seperti <i>Dulcissima, Lingus Mendax</i>, dan <i>Ergo Bihamus</i>. “ Ini kan lagu-lagu opera, tapi aransemennya kok seperti lagu metal ya ?,” tanya Amelia spontan. Sebaliknya pada uji dengar pada person yang berbeda; Anto ‘Priest’, -<span style=""> </span>anak arsitektur yang hingga kini masih setia sebagai ‘headbanger metal’ – muncul komentar seperti ini, “<span style=""> </span>Lagunya metal nih. Tapi gayanya kok jadul.Antik banget. Lagunya siapa sih ?.” <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="EN"><span style=""> </span> Keduanya nggak salah. Yang dibawakan oleh Corvus Corax tadi memang lagu opera <i>Carmina Burana</i>, gubahan komponis Carl Off, yang menulisnya di awal Abad Pertengahan (tahun 1300-an). Dan Corvus Corax adalah grup metal dari Jerman, yang sejak awal memilih tamasya musik ke masa silam, menelusuri perbendaharaan lagu Eropa pada era Gothic sejati, di Abad Pertengahan. Gaya musik mereka cukup unik, antara lain memainkan alat musik kuno seperti bag pipe dan sebagainya. Eksistensi<span style=""> </span>Corvus Corax sendiri termasuk<span style=""> </span>‘metal banget’. Oh ya, Corvus Corax adalah nama Latin untuk burung gagak. Penampilan mereka diatas panggung cukup teaterikal. Kadang nampak seram dengan hubah panjang misteriis atau berkostum seperti karnaval, bertopeng dengan wajah ganjil dan sebagainya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="EN"><span style=""> </span> Grup ini dibentuk pada tahun 1989 oleh <a href="http://en.wikipedia.org/w/index.php?title=Castus_Rabensang&action=edit" title="Castus Rabensang"><span style="text-decoration: none;color:#000000;" >Castus Rabensang</span></a> dan <a href="http://en.wikipedia.org/w/index.php?title=Venustus&action=edit" title="Venustus"><span style="text-decoration: none;color:#000000;" >Venustus</span></a> ini sekarang eksis dengan enam personil lainnya;<span style=""> </span><a href="http://en.wikipedia.org/w/index.php?title=Ardor_vom_Venush%C3%BCgel&action=edit" title="Ardor vom Venushügel"><span style="text-decoration: none;color:#000000;" >Ardor vom Venushügel</span></a>, <a href="http://en.wikipedia.org/w/index.php?title=Patrick_der_Kalauer&action=edit" title="Patrick der Kalauer"><span style="text-decoration: none;color:#000000;" >Patrick der Kalauer</span></a>, <a href="http://en.wikipedia.org/w/index.php?title=Harmann_der_Drescher&action=edit" title="Harmann der Drescher"><span style="text-decoration: none;color:#000000;" >Harmann der Drescher</span></a>, <a href="http://en.wikipedia.org/w/index.php?title=Hatz&action=edit" title="Hatz"><span style="text-decoration: none;color:#000000;" >Hatz</span></a>, <a href="http://en.wikipedia.org/w/index.php?title=Meister_Selbfried&action=edit" title="Meister Selbfried"><span style="text-decoration: none;color:#000000;" >Meister Selbfried</span></a>, <a href="http://en.wikipedia.org/w/index.php?title=Teufel&action=edit" title="Teufel"><span style="text-decoration: none;color:#000000;" >Teufel</span></a> (yang ini bahasa Jerman untuk kata <i>Devil</i>). <span style="">Cantus Buranus</span> ini adalah album mereka yang ke lima belas, sejak mereka merilis album perdana; <i style="">Tempi Antiquii</i> (1988). Dengan album yang<span style=""> </span>sebagian besar judulnya menggunakan bahasa Latin, Corvus Corax cukup berjaya di kubu musik Gothic Metal. Penampilan mereka di atas panggung juga dinantikan. Tahun kemarin misalnya, mereka menggelar ‘konser rahasia’ di ajangh festival musik Gothic Metal AS;<span style=""> </span><a href="http://en.wikipedia.org/w/index.php?title=Pennsylvania_Renaissance_Faire&action=edit" title="Pennsylvania Renaissance Faire"><span style="text-decoration: none;color:#000000;" >Pennsylvania Renaissance Faire</span></a>, bersama grup keraslainnya seperti </span>Judas Priest, Atrocity, Holy Moses dan lainnya. <span style="" lang="EN"><o:p></o:p></span></p> <p style="margin: 0in 0in 0.0001pt;"><span style="" lang="EN"><span style=""> </span><span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <h1 style="font-style: italic;"><span lang="EN" style="font-size:100%;"> Metal<span style=""> </span>Simfonik</span></h1> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;"><span style="" lang="EN">Gothic Metal memang genre musik yang tampil beda. Perhatikan saja nama-nama ini : <a href="http://en.wikipedia.org/w/index.php?title=Aeternitas_%28band%29&action=edit" title="Aeternitas (band)"><span style="text-decoration: none;color:#000000;" >Aeternitas</span></a>, <a href="http://en.wikipedia.org/w/index.php?title=Aion_%28Band%29&action=edit" title="Aion (Band)"><span style="text-decoration: none;color:#000000;" >Aion</span></a>, <a href="http://en.wikipedia.org/w/index.php?title=Atargatis_%28Band%29&action=edit" title="Atargatis (Band)"><span style="text-decoration: none;color:#000000;" >Atargatis</span></a>, <a href="http://en.wikipedia.org/w/index.php?title=Labores_Somnium&action=edit" title="Labores Somnium"><span style="text-decoration: none;color:#000000;" >Labores Somnium</span></a>, <a href="http://en.wikipedia.org/w/index.php?title=Myriads&action=edit" title="Myriads"><span style="text-decoration: none;color:#000000;" >Myriads</span></a>, <a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Xandria" title="Xandria"><span style="text-decoration: none;color:#000000;" >Xandria</span></a><span style=""> </span>Mungkin nama-nama ini terlalu indah dan puistis bagi grup metal, yang sebelumnya lekat dengan imaji brutal dan kasar. <i>Gothic metal</i> sebagai genre musik, berkembang di Eropa pada awal tahun 1990-an, sebagai<span style=""> </span>subgenre dari aliran musik<span style=""> </span><a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Doom_metal" title="Doom metal"><span style="text-decoration: none;color:#000000;" >doom metal</span></a>, yang banyak menampilkan tema-tema kelam, seperti maut dan sebagainya. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;"><span style="" lang="EN">Saat ini mereka yang tergolong sebagai grup <i>Gothic-Doom metal</i> antara lain adalah <a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Artrosis" title="Artrosis"><span style="text-decoration: none;color:#000000;" >Artrosis</span></a>, <a href="http://en.wikipedia.org/w/index.php?title=Cryptal_Darkness&action=edit" title="Cryptal Darkness"><span style="text-decoration: none;color:#000000;" >Cryptal Darkness</span></a>, <a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Lacrimosa" title="Lacrimosa"><span style="text-decoration: none;color:#000000;" >Lacrimosa</span></a>, Mandragora Scream, <a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Type_O_Negative" title="Type O Negative"><span style="text-decoration: none;color:#000000;" >Type O Negative</span></a>, <a href="http://en.wikipedia.org/w/index.php?title=Visceral_Evisceration&action=edit" title="Visceral Evisceration"><span style="text-decoration: none;color:#000000;" >Visceral Evisceration</span></a> . Sedangkan mereka yang ada di jalur </span>Gothiic Black di antaranya<span style=""> </span><span style="" lang="EN"><a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Anorexia_Nervosa" title="Anorexia Nervosa"><span style="text-decoration: none;color:#000000;" >Anorexia Nervosa</span></a>, <a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Bal-Sagoth" title="Bal-Sagoth"><span style="text-decoration: none;color:#000000;" >Bal-Sagoth</span></a>, <a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Dimmu_Borgir" title="Dimmu Borgir"><span style="text-decoration: none;color:#000000;" >Dimmu Borgir</span></a>, <a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Limbonic_Art" title="Limbonic Art"><span style="text-decoration: none;color:#000000;" >Limbonic Art</span></a>, <a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Lux_Occulta" title="Lux Occulta"><span style="text-decoration: none;color:#000000;" >Lux Occulta</span></a>. Yang punya permainan lebih rapi ada di jalur <i>Symphonic metal</i>,<span style=""> </span>di antaranya adalah :<a href="http://en.wikipedia.org/wiki/After_Forever" title="After Forever"><span style="text-decoration: none;color:#000000;" >After Forever</span></a>, Autumn, <a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Epica" title="Epica"><span style="text-decoration: none;color:#000000;" >Epica</span></a>, <a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Therion_%28band%29" title="Therion (band)"><span style="text-decoration: none;color:#000000;" >Therion</span></a>. Sedangkan grup lainnya <a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Angra_%28band%29" title="Angra (band)"><span style="text-decoration: none;color:#000000;" >Angra</span></a> , <a href="http://en.wikipedia.org/w/index.php?title=Excalion&action=edit" title="Excalion"><span style="text-decoration: none;color:#000000;" >Excalion</span></a>, <a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Lunatica" title="Lunatica"><span style="text-decoration: none;color:#000000;" >Lunatica</span></a> dan <a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Stratovarius" title="Stratovarius"><span style="text-decoration: none;color:#000000;" >Stratovarius</span></a>, oleh para kritisi musik metal ditempatkan di jalur </span><i>Symphonic Power Metal</i>. <span style="" lang="EN"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;"><span style="" lang="EN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="EN"><span style=""> </span><span style=""> </span> Defenisi musik <i>Gothic metal</i> sendiri sampai kini masih mengundang perdebatan, karena gaya komposisi dan estetika musik yang dibawakan begitu beragam. Yang jelas dalam gothic metal, virtuositas pribadi personil ditinggalkan, dan lebih mengutamakan harmoni sebagai konsep utama. Penampilan dua vokalis dengan tekstur suara yang berbeda kontras (banyak di antara mereka menggunakan dua vokalis pria dan wanita) dan sering tampil dengan gaya nyanyi pendeta Gregorian yang antik namun terdengar keren.Sedang pemakaian gitar akustik dan kibor yang menjadi unsur bunyi utama.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="EN"><span style=""> </span><span style=""> </span> Dari segi komposisi, gaya ini lebih mengacu pada konsep musik doom metal atau black metal, yang melodi dan ritemnya diwarnai bunyi <i>synthesizer</i> yang berat. Seperti vokal pria dan wanita yang tampil bersamaan dalam warna nada yang berbeda, gitar akustik juga menjalin melodi tersendiri dengan gitar listrik, dalam nada yang kadang terdengar rumit. Kibor yang tampil dominan dalam menghadirkan unsur suara string dan alat musik tiup, membuat mereka lebih sering menampilkan harmoni orkestrasi simfonik, hingga gaya musik ini juga disebut sebagai <i>symphonic metal</i>.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="EN"><span style=""> </span><span style=""> </span> Dari sisi lirik, nampak gaya yang paling khas, yakni menampilkan tema fantasi yang bersumber pada berbagai kisah legenda fantasi Eropa pada Abad Pertengahan, dengan segala pengembangan dan tafsir yang baru. Tak heran bila nama dan kalimat dalam bahasa Latin sering muncul, juga kisah tentang para ksatria, putri jelita, penyihir, mahluk gaib dan peperangan dahsyat sering diangkat sebagai tema lirik yang memikat, dan berbeda jauh dengan lirik band death metal Amerika yang seringkali bertemakan sadisme yang berdatah dan horor seram. <o:p></o:p></span></p> <p style="margin: 0in 0in 0.0001pt;"><span style="" lang="EN"><span style=""> </span><span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <h1><span lang="EN" style="font-size:100%;"> Dongeng yang dilagukan</span></h1> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;"><span style="" lang="EN">Lirik lagu dari band <i>gothic metal</i> bahkan sering tersusun dalam suatu tema terbingkai<span style=""> </span>cerita yang panjang, sehingga album itu tak ubahnya sebuah kisah fantasi dongeng yang dilagukan. Setiap lagu punya hubungan cerita dengan lagu lainnya. Hal ini bisa disimak, antara lain pada album grup seperti Penumbra ( <i>Seclusion</i>) atau Silentium ( yang berjudul <i>Sufferion - Hamartia of Prudence</i>). Satu lagi yang membuat album mereka asyik dikoleksi; sampul album yang artistik, dengan berbagai judul yang puitis. Salah satu contohnya adalah sampul album Anathema yang berjudul dan <i><a href="http://en.wikipedia.org/wiki/A_Natural_Disaster" title="A Natural Disaster"><span style="text-decoration: none;color:#000000;" >A Natural Disaster</span></a></i> (2004) <a name="Gothic-Doom_metal_bands"></a>Nama lain yang cukup berjaya adalah Theatre of Tragedy, band asal Stavanger, Norwegia ini cukup unik, karena dalam tiga album pertamanya menggunakan lirik lagu bahasa Inggris kuno. <o:p></o:p></span></p> <div style="text-align: left;"><span style="" lang="EN">Theatre of Tragedy juga mempelopori gaya duo vokal yang kontras; vokalis pria bernyanyi pada nada bas, yang membuatnya terdengar seperti menggeram,- sementara vokalis wanita band ini bernyanti gaya sopran yang melengking. Theatre of Tragedy yang dibentuk pada tahun 1993 ini, tadinya bernama<span style=""> </span><span style="">Suffering Grief, yang kemudian berganti nama menjadi</span> <span style="">Le Reine Noir sebelum memantapkan diri dengan nama </span><span style=""> </span>Theatre of Tragedy.di tahun 1995.<o:p></o:p></span><br /></div><span style="" lang="EN"> Kini personil band ini adalah : <a href="http://en.wikipedia.org/w/index.php?title=Raymond_Istv%C3%A1n_Rohonyi&action=edit" title="Raymond István Rohonyi"><span style="text-decoration: none;color:#000000;" >Raymond István Rohonyi</span></a> dan <a href="http://en.wikipedia.org/w/index.php?title=Nell_Sigland&action=edit" title="Nell Sigland"><span style="text-decoration: none;color:#000000;" >Nell Sigland</span></a> <o:p></o:p> (Vocal),<span style=""> </span><a href="http://en.wikipedia.org/w/index.php?title=Frank_Claussen&action=edit" title="Frank Claussen"><span style="text-decoration: none;color:#000000;" >Frank Claussen</span></a> (gitar), <a href="http://en.wikipedia.org/w/index.php?title=Vegard_K._Thorsen&action=edit" title="Vegard K. Thorsen"><span style="text-decoration: none;color:#000000;" >Vegard K. Thorsen</span></a> (gitar), <a href="http://en.wikipedia.org/w/index.php?title=Lorentz_Aspen&action=edit" title="Lorentz Aspen"><span style="text-decoration: none;color:#000000;" >Lorentz Aspen</span></a> (kibor) dan <o:p></o:p><a href="http://en.wikipedia.org/w/index.php?title=Hein_Frode_Hansen&action=edit" title="Hein Frode Hansen"><span style="text-decoration: none;color:#000000;" > Hein Frode Hansen</span></a> (drum). Biduanita Nell Sigland (<a href="http://en.wikipedia.org/w/index.php?title=The_Crest_%28band%29&action=edit" title="The Crest (band)"><span style="text-decoration: none;color:#000000;" >The Crest</span></a>) datang bergabung untuk<span style=""> </span>Liv Kristine.<a name="Albums"></a> Sejak merilis album pertama yang berjudul <a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Theatre_of_Tragedy_%28album%29" title="Theatre of Tragedy (album)"><i><span style="text-decoration: none;color:#000000;" >Theatre of Tragedy</span></i></a> (1995)<span style="">, </span>mereka sudah merilis lima<span style=""> </span>album lagi<b>. </b></span>Yang terbaru berjudul <span style=""><a href="http://en.wikipedia.org/w/index.php?title=Storm_%28Theatre_of_Tragedy%29&action=edit" title="Storm (Theatre of Tragedy)"><span style="text-decoration: none;color:#000000;" >Storm</span></a></span> yang ditilis pada 24 Maret<br /><br /><span style="" lang="EN"><span style=""></span></span><span style="" lang="EN"> Lama lain yang sekarang cukup beken adalah </span><span style="" lang="EN">Anathema</span><span style="" lang="EN">, grup asal <a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Liverpool" title="Liverpool"><span style="text-decoration: none;color:#000000;" >Liverpool</span></a>, yang bersama <a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Paradise_Lost_%28band%29" title="Paradise Lost (band)"><span style="text-decoration: none;color:#000000;" >Paradise Lost</span></a> dan <a href="http://en.wikipedia.org/wiki/My_Dying_Bride" title="My Dying Bride"><span style="text-decoration: none;color:#000000;" >My Dying Bride</span></a> mengembangkan genre <i><a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Doom_metal" title="Doom metal"><span style="text-decoration: none;color:#000000;" >doom death</span></a> metal</i>. Personil Anathema adalah tiga bersaudara </span><span style=""><a href="http://en.wikipedia.org/w/index.php?title=Vincent_Cavanagh&action=edit" title="Vincent Cavanagh"><span style="text-decoration: none;color:#000000;" >Vincent (</span><span style="text-decoration: none;color:#000000;" lang="EN">vocals, rhythm guitar)</span><span style="text-decoration: none;color:#000000;" >, </span></a><a href="http://en.wikipedia.org/w/index.php?title=Daniel_Cavanagh&action=edit" title="Daniel Cavanagh"><span style="text-decoration: none;color:#000000;" >Daniel (</span><span style="text-decoration: none;color:#000000;" lang="EN">lead guitar)</span><span style="text-decoration: none;color:#000000;" > dan </span></a><a href="http://en.wikipedia.org/w/index.php?title=Jamie_Cavanagh&action=edit" title="Jamie Cavanagh"><span style="text-decoration: none;color:#000000;" >Jamie Cavanagh</span></a> (bass), <a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Les_Smith" title="Les Smith"><span style="text-decoration: none;color:#000000;" >Les Smith</span></a> (kibor) dan<span style=""> </span><a href="http://en.wikipedia.org/w/index.php?title=John_Douglas_%28musician%29&action=edit" title="John Douglas (musician)"><span style="text-decoration: none;color:#000000;" >John Douglas</span></a> (drum)</span>. Anathema yang terbentuk di tahun <a href="http://en.wikipedia.org/wiki/1990" title="1990"><span style="text-decoration: none;color:#000000;" >1990</span></a> dengan nama <i>Pagan Angel</i>. Dalam tempo tiga tahunh, mereka melejit dan menggelar konser<span style=""> </span>keliling Eropa, di susul penampilan di panggung <a href="http://en.wikipedia.org/w/index.php?title=Independent_Rock_Festival&action=edit" title="Independent Rock Festival"><span style="text-decoration: none;color:#000000;" >Independent Rock Festival</span></a> di <a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Brazil" title="Brazil"><span style="text-decoration: none;color:#000000;" >Brazil</span></a> (1994)<br /><br /><o:p></o:p><span style="" lang="EN"> Saat merilis album <i><a href="http://en.wikipedia.org/wiki/The_Silent_Enigma" title="The Silent Enigma"><span style="text-decoration: none;color:#000000;" >The Silent Enigma</span></a></i>, mereka membalik gaya musik dengan menampilkan unsur Gothik yang kental. Walau fans berat mereka menerima perubahan ini, Daniel Cavanagh justru memutuskan keluar untuk bergabung dengan band lain;<span style=""> </span><a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Antimatter_%28band%29" title="Antimatter (band)"><span style="text-decoration: none;color:#000000;" >Antimatter</span></a>. Untung dia segera balik ke Anathema dan merilis<span style=""> </span><i>A Natural Disaster</i>(2003), yang menjadialbum terbaik mereka. Hingga kini tujuh album telah mereka hasilkan, antara lain : Serenades (1993),<span style=""> </span><i><a href="http://en.wikipedia.org/wiki/The_Silent_Enigma" title="The Silent Enigma"><span style="text-decoration: none;color:#000000;" >The Silent Enigma</span></a></i> (1995), <i><a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Eternity_%28album%29" title="Eternity (album)"><span style="text-decoration: none;color:#000000;" >Eternit y</span></a></i> (1996), <i><a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Alternative_4_%28album%29" title="Alternative 4 (album)"><span style="text-decoration: none;color:#000000;" >Alternative 4</span></a></i> (1998), <i><a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Judgement_%28album%29" title="Judgement (album)"><span style="text-decoration: none;color:#000000;" >Judgement</span></a></i> (1999), <i><a href="http://en.wikipedia.org/wiki/A_Fine_Day_to_Exit" title="A Fine Day to Exit"><span style="text-decoration: none;color:#000000;" >A Fine Day to Exit</span></a></i> (2001) dan <i><a href="http://en.wikipedia.org/wiki/A_Natural_Disaster" title="A Natural Disaster"><span style="text-decoration: none;color:#000000;" >A Natural Disaster</span></a></i> (2004)<br /></span><span style="" lang="EN"><o:p></o:p></span><span style="" lang="EN"><br /> ( <span style="font-weight: bold;">Heru Emka</span>, pengamat musik, tinggal di Semarang) <o:p></o:p></span> <p class="MsoNormal"><o:p> </o:p></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;"><span style="" lang="EN"><br /><o:p></o:p></span></p>Kajian Budaya Heru Emkahttp://www.blogger.com/profile/02078320332372397648noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-5360952122397939131.post-48752480940961136462008-01-14T09:19:00.000-08:002008-01-14T09:28:28.437-08:00“My Blueberry Nights”<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjy3obZQ4Qe4lXbhm2kUS-6RSWl1RtGn5CvmhLu0UoTLt5Sy8Yv_HVNdSMSHk3-ZblJvVlECLK3aCxGeaQOY_zcGcuHW_GCLguMrBdYSRZBdxaiLAqexsFJfGyphQYty0ZvbwD_Zl6gZVk/s1600-h/Natalie+Portman+dlm+My+Blueberry+Nights+a.JPG"><img style="margin: 0px auto 10px; display: block; text-align: center; cursor: pointer; width: 348px; height: 233px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjy3obZQ4Qe4lXbhm2kUS-6RSWl1RtGn5CvmhLu0UoTLt5Sy8Yv_HVNdSMSHk3-ZblJvVlECLK3aCxGeaQOY_zcGcuHW_GCLguMrBdYSRZBdxaiLAqexsFJfGyphQYty0ZvbwD_Zl6gZVk/s320/Natalie+Portman+dlm+My+Blueberry+Nights+a.JPG" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5155384247069145474" border="0" /></a><br /><div style="text-align: center;"><span style="font-size:130%;"><span style="font-weight: bold;">Perjalanan Puitik Melipur Lara</span></span></div> <p class="MsoNormal"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal"><span style=""> </span><span style=""> </span> Sebuah film bisa bermakna bagi penontonnya bila film itu bukan lagi sekedar sebuah tontonan, namun mampu menjadi sumber inspirasi yang mencerahkan. Dan film “<i>My Blueberry Nights</i>” karya <span class="movie-body-text"><span style="">Wong Kar Wai memenuhi kriteria seperti ini karena membawa penontonnya dalam sebuah perjalanman dramatis tak saja melintasi jarak yang panjang, namun juga menyeberangi jarak kepedihan antara patah hati dan pemulihannya sebagai pertumbuhan babak kehidupan yang baru.<o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;">“<i>My Blueberry Nights</i>” yang menjadi film berbahasa Inggris pertama dari sutradara asal <st1:place>Hong Kong</st1:place> ini, berkisah tentang keberanian seseorang untuk mencari ufuk cakrawala yang baru dari kehidupan yang kelam. Setelah hatinya remuk redam karena percintaan yang gagal,<span style=""> </span><st1:city><st1:place><span class="movie-body-text"><span style="">Elizabeth</span></span></st1:place></st1:city><span class="movie-body-text"><span style=""> (dimainkan dengan bagus oleh penyanyi jazz Norah Jones ) memutuskan untuk melakukan perjalanan keliling Amerika, meninggalkan semua kenangan hidupnya, semua mimpi dan kekasih tambatan hati ; seorang pemilik kafe yang bernama Jeremy (Jude Law).<o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;"><span class="movie-body-text"><span style="">Dalam upayanya untuk melipur lara, </span></span><st1:city><st1:place><span class="movie-body-text"><span style="">Elizabeth</span></span></st1:place></st1:city><span class="movie-body-text"><span style=""> bekerja sebagai pramusaji di kafe yang ada di kota-kota yang disinggahinya. Di sanalah dia menemukan sahabat dan orang lain yang punya berbagai beban kehidupan dan cara mereka mengatasinya. Di antara temannya dalam berbagi kisah hidup nyata lain seorang polisi yang dirundung masalah (David Strathairn) dan seorang isteri yang tersingkir (Rachel Weisz), seorang yang mengejar kebahagiaan hati (Natalie Portman). Saat mengamati pribadi-pribadi seperti ini, </span></span><st1:city><st1:place><span class="movie-body-text"><span style="">Elizabeth</span></span></st1:place></st1:city><span class="movie-body-text"><span style=""> menjadi saksi betapa menyedihkan bila seseorang memiliki perasaan hampa dan kesepian yang parah jauh di relung hatinya. Dia pun mulai memahami<span style=""> </span>bila perjalanan yang telah dilakukan memang bermasnfaat sebagai bagian dari penjelajahan jiwa dan lorong hatinya sendiri.<o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;"><span class="movie-body-text"><span style="">.</span></span><span style=""> Bagi para percinta film sejati: para aktor, sutradara, produser , kritikus film dan para sineas lainnya,- </span><st1:city><st1:place><span style="">Cannes</span></st1:place></st1:city><span style=""> telah lama menjadi tempat idaman. Setiap bulan Mei, di kawasan sekitar pantai </span><st1:state><st1:place><span style="">Riviera</span></st1:place></st1:state><span style=""> yang indah berlangsung pesta merayakan perkembangan sinema dunia. Udara sejuk yang berhembus dari cakrawala Mediterrania menjadi pengantar yang nyaman bagi pemutaran puluhan film terpilih yang datang dua atau tiga puluhan negara, yang semua menampilkan pendekatan yang berbeda dari berbagai sudut pandang budaya. Selama ini festival </span><st1:city><st1:place><span style="">Cannes</span></st1:place></st1:city><span style=""> bahkan menjadi antitesa bagi sinema ala </span><st1:place><span style="">Hollywood</span></st1:place><span style=""> yang digarap dengan untuk kepentingan komersial semata. Faktanya, memang semua film yang muncul di festival </span><st1:city><st1:place><span style="">Cannes</span></st1:place></st1:city><span style=""> adalah film yang punya keunggulan artistic tersendiri. <span class="movie-body-text"><o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal"><span class="movie-body-text"><span style=""><span style=""> </span><o:p></o:p></span></span></p> <h3><span class="movie-body-text"><span style=""><span style="font-size:100%;"> Indah namun menyakitkan</span><o:p></o:p></span></span></h3> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;">“<i>My Blueberry Nights</i>” mendapat kehormatan untuk membuka <span class="movie-body-text"><span style="">Festival Film Cannes yang ke 60, yang berlangsung bulan Mei lalu. Bagi </span></span>Wong Kar Wai sendiri, film bukanlah sesuatu yang ‘besar’, namun beberapa hal ‘kecil’, semacam pertumbuhan tekstur gambar dan impuls narasi yang mengalir begitu saja<span style=""> </span>Wong juga dikenal sebagai seorang ‘<i>master miniaturist’</i>, yang piawai menampilkan detil-detil sepele dalam sebuah <i>scene</i> yang memikat. </p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;">Bila kita memperhatikan setiap karyanya, nampak jelas bila Wong Kar Wai adalah kreator yang piawai merangkai masalah yang nampaknya sepele dari orang-orang kalah; lelaki fatalistik atau perempuan perasa,- dirangkai dalam kisah yang menyentuh, kadang menyakitkan, namun membekas dalam ingatan. Dia sering ‘membungkus’ para perempuan cantik yang bernasib <st1:city><st1:place>malang</st1:place></st1:city> itu dalam adegan bergaya visual-emosionalnya yang jelas. Paduan antara asap sigaret yang melayang lamban dengan langkah kaki yang terekam dalam <i>slow motion</i>, atau misalnya detil sebuah pandangan sekilas yang tersamar. Semua ini memberi makna pada sesuatu yang nampak biasa saja.</p> <p class="MsoNormal"><span style=""> </span> Setiap kali menemukan karakter atau situasi yang membuatnya terpesona, Wong cenderung untuk menginterpretasikannya dalam beberapa film. Di tahun 1994 misalnya, dia menggarap “<st1:place><i>Chungking</i></st1:place><i> Express” </i>sebagai tika rangkaian kisah, namun hanya dua kisah yang dibesut. Kisah yang ketiga ternyata menjelma sebagai film berikutnya; yang berjudul<span style=""> </span>“<i>Fallen Angels”</i>. Beberapa tahun kemudian dia menggarap “<i>In the Mood for Love”</i>, yang berkisah tentang seprang penulis ( diperankan Tony Leung ) yang jatuh cinta pada seorang perempuan yang sudah menikah,- karakter seperti ini muncul lagi dalam filmnya;<span style=""> </span>“<i>2046”</i>. </p> <p class="MsoNormal"><span style=""> </span> Karena itu saya tak terlalu heran bila film terbarunya, “<i>My Blueberry Nights”, yang </i>bergaya <i>road movie</i> (bermula dengan sebuah adegan di Venice, California, lalu muncul kilas balik berbagai adegan di Memphis dan Nevada, dan berakhir di New York City), muncul juga adegan yang mirip dengan”<i>In the Mood for Love” </i>atau<i> “2046”</i>). </p> <p class="MsoNormal"><span style=""> </span> Walau baru pertama kali berakting di film ini, Norah Jones cukup berhasil memainkan peran sebagai <st1:city><st1:place>Elizabeth</st1:place></st1:city>, perempuan muda yang nyaris depresi karena patah hati. Di setiap persinggahan di berbagai <st1:city><st1:place>kota</st1:place></st1:city> yang dikunjunginya, dia selalu memesan kue pie dengan rasa <i>blueberry</i>, dan menyantapnya diam diam dalam keheningan yang disukainya. Dalam perjalanannya dari New York hingga Memphis, dia bekerja sebagai pramusaji di mana dia berteman dengan seorang polisi pemabuk (David Strathairn), seorang perempuan bernama Sue Lynne (Rachel Weisz) dengan kehidupan rumah tangga yang goyah sehingga dia memutuskan untuk minggat. Saat singgah di <st1:state><st1:place>Nevada</st1:place></st1:state>, <st1:city><st1:place>Elizabeth</st1:place></st1:city> bekerja sebagai penyaji cocktail di sebuah kasino. Di situlah dia bertemu dengan Leslie (Natalie Portman), penjudi cerdas yang bermulut tajam yang diam-diam tak kunjung menemukan kebahagiaan hati. </p> <p class="MsoNormal"><span style=""> </span> Dan Natalie Portman, sungguh nampak mengesankan melihat dia meninggalkan citranya sebagai maharani belia (trilogi Stars War). Dia menampilkan sepenuhnya pesona perempuan dewasa (25 tahun) dengan bentuk tubuhnya yang sempurna. Leslie yang memesona dengan rambut pirangnya ini dengan lincah menggoda para penjudi untuk bertaruh dengannya. Akting Natalie pun nampak berkembang pesat. Penonton pasti akan menikmati adegan saat Leslie dengan cerdas membuat para penjudi tetap tertawa, walau gadis cerdik itu membuat mereka mentah-mentah dijadikan pecundang..</p> <p class="MsoNormal"> (<b>Heru Emka</b>, pengamat film - Tulisan ini pernah dimuat di harian Suara Merdeka )<br /></p>Kajian Budaya Heru Emkahttp://www.blogger.com/profile/02078320332372397648noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5360952122397939131.post-20617715310780197132008-01-14T09:11:00.000-08:002008-01-14T09:15:59.705-08:00<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhamDQ5Ecu1Of1G51w5gHNAmpWuQIrd59Y3bXAoh5Vn_EfEgFbmUyxhXhcazCs9-HX-HfClS9iQ7JeXELqQd55dK6UwivAmw59Hc0jJDwmFYJ177NsevUXfiYjVzy7604qIrs8loAnPBFk/s1600-h/Andre+Tanama++1.JPG"><img style="margin: 0px auto 10px; display: block; text-align: center; cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhamDQ5Ecu1Of1G51w5gHNAmpWuQIrd59Y3bXAoh5Vn_EfEgFbmUyxhXhcazCs9-HX-HfClS9iQ7JeXELqQd55dK6UwivAmw59Hc0jJDwmFYJ177NsevUXfiYjVzy7604qIrs8loAnPBFk/s400/Andre+Tanama++1.JPG" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5155381622844127602" border="0" /></a><br /><div style="text-align: center;"><span style="font-size:130%;"><span style="font-weight: bold; font-style: italic;">Post-Human </span></span><br /></div><h2 style="text-align: center;">dan Tubuh yang Rawan<span style=""> </span></h2> <p class="MsoNormal"><b><span style="font-size:18;"><o:p> </o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal"><span style=""> </span> Saat memandang karya grafis Andre Tanama ( di atas) yang berjudul <b><i>Hegemoni Teknologi,</i></b> saya merasa bila karya cetak digital yang menjuarai Trienal Seni Grafis Indonesia II (2006) ini mendedahkan problematika tentang tubuh ( sekaligus posisinya yang mewakili kehidupan alamiah) dan posisinya yang semakin tak berdaya menghadapi cengkeraman teknologi. Sesosok tubuh dengan rambut bergelung (imaji dunia wayang, gambaran mitologis tubuh yang ideal) terduduk dengan tangan kanan tersilang di atas lutut yang tertekuk, sedang tangan kirinya menutupi muka. Seolah sedang memikirkan dilema yang pelik atau bahkan sedang berduka. Dia diapit oleh sosok tubuh bersayap (imaji ontologis malaikat) yang nampak melayang di atas gumpalan awan hitam.<span style=""> </span></p> <p class="MsoNormal"><span style=""> </span><span style=""> </span> Yang mencengangkan adalah wajah semua ‘mahluk’ itu mengerucut bagai tabung yang meruncing ke depan, bentuk yang mengesankan sebuah topeng oksigen bagi sebuah lingkungan yang tercemar berat. Dan itu bukanlah topeng, namun wajah kedua mahluk yang tak ubahnya mutan. Betapa hegemoni teknologi telah merembes ke ranah mitologis dan ontologis. Bukan ruang yang menjadi latar belakang adegan ini adalah cetak biru sebuah sirkuit terpadu ? .<span style=""> </span></p> <p class="MsoNormal"><span style=""> </span> Bagi saya, ruang yang disaksikan para pemirsa (<i><span style="">viewer</span></i><span style="">) </span>karya grafis ini <span style="">jelas mejadi sebuah<span style=""> </span>ruang sosial . Saya bahkan merasakan korelasi<span style=""> </span>antara pemirsa dengan realitas imajiner yang cukup representasional. Soal fakta yang menjadi fiksional, dengan realitasnya yang jauh atau dekat, ruang sosial yang tergambar dalam karya grafis Andre Tanama ini menunjukkan sebuah formasi sosial yang tumpang tindih : realitas teknologis yang merasuk hingga ke bidang wacana ontologis : Apakah tubuh yang tercangkok dengan perangkat teknologis masih menunjukkan keutuhan wacana kemanusiaan dan tetap<span style=""> </span>menggenggam dominasi idea ketuhanan dalam realitas dan kondisi <i>post human</i> ?<span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style=""> </span> Film <i>Johnny Mnemonic</i> mungkin menggambarkan situasi yang lebih radikal lagi. Data komputer yang amat besar di-<i>download</i> ke dalam ingatan Johnny, yang harus segera disampaikan ke alamat penerima, sebelum data itu merembes dan mencemari otaknya. Adegan fiksi tadi kini bahkan meluber dengan kenyataan seorang Derek ( 14 tahun ) dengan <i>chip</i> ( seukuran sebutir beras ) mikro komputer<span style=""> </span>yang dicangkokkan ke lengannya, dan dihubungkan dengan sebuah <i>database </i>ADS (<i>Apllied Digital<span style=""> </span>Solution</i>, sebuah perusahaan <i>hi-tech</i> <st1:place><st1:city>di Florida</st1:city>, <st1:state>AS</st1:state></st1:place>). Chip itu sendiri multi fungsi. Selain bisa memberikan informasi kesehatan Derek pada rumah sakit, juga bisa digunakan sebagai penyimpanan data personal Derek. Dan tentu saja chip itu sekaligus menjadi alat penentu posisi (<i>global positioning device</i>) yang bisa melacak ke manapun Derek berada. </p> <p class="MsoNormal"><span style=""> </span> Chip yang tertanam di lengan Derek memang belum menjadikan anak itu sebuah <i>cyborg</i>. Namun dengan sebuah chip yang tertanam di lengannya, Derek sudah menjadi anak yang ‘berbeda’. Tak saja secara fisik semata, karena tubuhnya harus diberi makna yang berbeda. Dia sedang dalam perjalanan menuju kondisi <i>posthuman</i>. Dalam konsep ini, tubuh tak lagi menjadi kunci utama dalam sebuah identitas biologis, namun sudah menjadi identitas ‘yang lain’. Atau dalam penjelasan Foucault, ‘tubuh pun menjadi sosok tak berdaya (<i>inert mass</i>) yang dikendalikan oleh berbagai wacana yang berpusat pada pikiran’. </p> <p class="MsoNormal"><span style=""> </span></p> <p class="MsoNormal"><span style=""> </span><b><i> Tubuh yang tak bahagia</i><o:p></o:p></b></p> <p class="MsoNormal"><span style=""> </span><span style=""> </span> Karena kendali wacana inilah, hasrat untuk menjadi tegap perkasa, langsing, cantik atau seksi kadang membuat orang rela menyakiti dirinya sendiri, melaparkan diri di luar kelaziman, atau memacu kerja otot tubuh di luar kewajaran normal. Hasrat untuk melebihi realitas tubuh yang alamiah ini juga membuat orang rela membelah tubuh untuk menggapai tubuh artifisial yang baru. Sekat antara badan dan pikiran semakin samar dengan anggapan bahwa yang berubah bukanlah tubuh material, melainkan hanya pengertian abstrak mengenai tubuh. </p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;">Salon-salon<span style=""> </span>kecantikan semakin sibuk menawarkan mantera baru : pelayanan menghilangkan kerut wajah seketika, atau mencegah penuaan dini, seolah-olah mereka bisa menghentikan atau membalikkan waktu. Berbagai klinik pria juga<span style=""> </span>menawarkan pemasangan protesa yang ditanam dalam kelamin pria, sehingga dia bisa ereksi kapan saja hanya dengan memencet tombol yang mengalirkan cairan ke batang <i>phallus</i>. Bisa <i>on / off</i> semaunya tanpa memikirkan bahaya bila ‘mesin seks’yang tertanam di tubuhnya<span style=""> </span>itu mogok bekerja.</p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;">Dalam konsep pemikiran <i>posthuman</i> memang tak ada lagi perbedaan penting atau pemisahan mutlak antara eksistensi tubuh dengan simulasi komputer, atau penempelan daging dan pengeratan tulang. Batasan antara organisme biologis dan mekanis sibernetik sudah jalin menjalin. Bahkan di Beijing (Desember 2006) orang-orang merasa bangga dan merayakan kepalsuannya, dengan menyelenggarakan <i>Miss Artificial Beauty</i> ( Ratu Kecantikan Buatan ) yang pesertanya khusus perempuan yang sudah mempercantik diri dengan operasi plastik. . </p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;">Kita memang berhadapan dengan fakta , kini lah era ’kebangkitan tubuh’ sebagai bagian integral dari identitas moderen. Sayangnya gambaran tak utuh, karena seperti yang dikatakan Foucault dalam <i style="">The Care of The Self </i>(1986), bahwa ‘tubuh-tubuh yang tak bahagia’ (<i>unhappy bodies</i><b> </b>) sekaligus tampil sebagai<span style=""> </span>tubuh yang rawan. </p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;">Bagai Narsisus yang tergila-gila pada diri sendiri, semakin banyak perempuan yang memandang pantulan dirinya dalam cermin dan menemukan betapa dirinya dikuasai hasrat untuk<span style=""> </span>tampil secantik model dalam iklan televisi, walau sebenarnya kita paham<span style=""> </span>juga betapa mudah kamera berdusta. Ide untuk memiliki tubuh yang prima, akhirnya malah menjajah tubuh itu sendiri, dan faktanya menunjukkan berbagai bentuk hasrat yang serba berlebihan (<i>hyper desire</i> ),<span style=""> </span>setelah bisa mengencangkan lagi pipi yang kempot, semua bagian tubuh pun ingin dirombak : membesarkan - mengecilkan payudara, pinggang, paha, betis,- bahkan hingga restrukturasi virginitas.<span style=""> </span></p> <p class="MsoBodyTextIndent"> Dalam sudut pandang kajian budaya, kita<span style=""> </span>percaya bahwa pola pikiran masyarakat terefleksikan dalam tubuh. Problema kosmologi, gender, dan moralitas memang ikut menjelma sebagai persoalan-persoalan yang dialami tubuh. Tubuh fisik adalah juga tubuh sosial (<i>the physical body is also social</i>). Bahkan menurut Marcel Mauss, salah satu<span style=""> </span>cara untuk mengetahui peradaban manusia adalah dengan berusaha mengetahui bagaimana masyarakat itu menggunakan tubuhnya. Tubuh adalah instrumen yang paling natural dari manusia, yang dapat dipelajari dengan cara yang berbeda sesuai dengan kultur masing-masing.</p> <p class="MsoBodyTextIndent" style="margin-left: 1in;"> (<b>Heru Emka</b>, peminat kajian budaya, tinggal di <st1:city><st1:place>Semarang</st1:place></st1:city> )</p>Kajian Budaya Heru Emkahttp://www.blogger.com/profile/02078320332372397648noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5360952122397939131.post-50169868149938451512008-01-14T08:38:00.000-08:002008-01-14T09:02:11.456-08:00<div style="text-align: center;"><o:p></o:p><b><span style="font-size: 20pt;">Pemberontakan musik klasik</span></b><br /></div><p style="text-align: center;" class="MsoNormal"><span style="font-size:130%;"><o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal"><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi3eRWdgzqkA71pCJqwKbqOu0tOqhoBmkqXtp3jq9bQCJtz6SHbB6-w9e0bt0k8BpWXiou4z5WRbT9HC7IdwAQh-DvzluBPspF1PVOx5iyPwQiPbNb_3_UKiGBCbYUR3kgIQGuJWAAp_Uc/s1600-h/nw5800.jpg"><img style="margin: 0px auto 10px; display: block; text-align: center; cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi3eRWdgzqkA71pCJqwKbqOu0tOqhoBmkqXtp3jq9bQCJtz6SHbB6-w9e0bt0k8BpWXiou4z5WRbT9HC7IdwAQh-DvzluBPspF1PVOx5iyPwQiPbNb_3_UKiGBCbYUR3kgIQGuJWAAp_Uc/s400/nw5800.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5155377607049705826" border="0" /></a></p> <p class="MsoNormal"><span style=""> </span>Pagelaran pianis klasik Maksim, yang bertajuk <i>Modern Classics The Tour 2005</i>, di Stadion Tennis Indoor, <st1:city><st1:place>Jakarta</st1:place></st1:City>,- dinyatakan sukses. Ini pagelaran Maksim yang kedua di <st1:country-region><st1:place>Indonesia</st1:place></st1:country-region>. Sebelumnya Vanessa Mae dan juga Bond, kwartet musik gesek yang terdiri dari empat perempuan seksi,, juga sukses menggelar konser musik klasik di <st1:city><st1:place>Jakarta</st1:place></st1:City>. </p> <p class="MsoNormal"><span style=""> </span>Banyaknya anak muda yang berduyun-duyun menonton pagelaran mereka sepertinya membuktikan bahwa musik klasik, yang dianggap sukar dinikmati oleh orang kebanyakan- ternyata malah menunjukkan fakta bila musiki klasik masih disukai oleh semua orang. Baik mereka yang sudah berusia<span style=""> </span>tua atau mereka yang berusia lebih muda. </p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;">Itulah sebabnya, konduktor Leonard Bernstein di tahun ’70-an, mengucapkan sebuah semboyan: “ Musik klasik adalah musik abadi,” Pendapat Bernstein, yang oleh kalangan musik lain sering dianggap arogan ini,-<span style=""> </span>sebenarnya mengacu pada beberapa fakta yang memang harus diakui kebenarannya. </p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;">Pertama, sejak berabad-abad silam, musik klasik bisa bertahan melawan gerusan jaman. Bahkan di abad 19, di saat musik pemberontakan ( jazz dan rock ) bermunculan, musik klasik tetap mampu bertahan. Bukan itu saja, musik klasik pun terus dimainkan seperti di saat komposisinya pertama kali dituliskan. Tak pernah ada perubahan notasi atau <st1:city><st1:place>gaya</st1:place></st1:City>, karena musik klasik mengharamkan permainan yang tidak setia pada notasi, yang berlaku sebagai hukum yang harus dipatuhi oleh para kerabat musik klasik ( baik konduktor atau musisinya ) secara ketat. </p> <p class="MsoNormal"><span style=""> </span>Musik klasik yang pada mulanya merupakan musik klangenan para bangsawan di berbagai istana di Eropa, kemudian menumbuhkan kelas sosial tersendiri di masyarakat Eropa. Terbawa tradisi para aristokrat istana, mereka memperlakukan pagelaran musik klasik sebagai sebuah kesenian yang mulia (<i>high art</i>). Dalam kultus ini muncul peraturan tak tertulis yang mengharuskan setiap pemain musik klasik memajang partitur sebagai penghargaan bagi parta komponis, serta mengenakan busana resmi (setelan jas tuksedo) bila memainkan musik klasik sebagai musik yang terhormat.<span style=""> </span></p> <p class="MsoNormal"><span style=""> </span>Yang lebih konyol lagi, adalah munculnya anggapan bahwa musik klasik hanya bisa dinikmati oleh mereka yang memiliki tingkatan (<i>quotient</i>) budaya atau intelgensia yang tinggi. Akibatnya banyak orang kaya yang justru snob, memajang koleksi piringan hitam musik klasik, atau berbondong-bondong menghadiri konser musik klasik walau mereka kurang bisa menikmati musik ini, dan datang ke gedung konser hanya demi sebuah snobisme, agar dianggap melek musik klasik, alias menjadi insan berbudaya. </p> <p class="MsoNormal"><span style=""> </span><span style=""> </span></p> <h1><span style="font-size:100%;"> Apresiasi benci tapi rindu</span> </h1> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;">Semua kepongahan budaya ini tentu saja menimbulkan perlawanan, tak saja dari para seniman pencetus budaya tandingan, namun juga dari kalangan musik klasik sendiri. Albert Goldman dalam bukunya <i>Classic ! Music to Hate</i>,- menyebutkan bahwa di awal masa pertumbuhannya, musik klasik hanya tersisa dalam bentuk mitos dan legenda saja. Jumlah komponis yang bermutu menurun tajam, sedangkan jumlah para penggemar musik klasik cenderung mengkerucut dalam ekslusivisme yang sempit. </p> <p class="MsoNormal"><span style=""> </span>Banyak komposisi ringan dalam musik klasik yang berpengaruh secara luas ikut mewarnai berbagai gerak kesenian, termasuk menjadi lagu tema dalam sebuah film. Namun banyak merasa<span style=""> </span>‘ketakutan’ begitu berhadapan dengan istilah ‘konser musik klasik’ ,’simfoni’ atau ‘orkestra’, dan membayangkan sebagai sebentuk karya seni yang sukar dicerna. Itulah sebabnya dari kalangan musik klasik sendiri muncul beberapa ‘gerakan pemberontakan’. Misalnya kwartet cello Apocalyptica ( nama ini artinya kira-kira ‘ramalan hari kiamat’), yang dimotori oleh Eicca Toppinen bersama tiga rekannya yang alumni Konservatori Musik Finlandia. Keempatnya tak cuma berambut gondrong dan berbusana hitam-hitam, namun juga memain lagu thrash metal Metalicca secara instrumental,<span style=""> </span>dengan menggunakan musik gesek mereka. Tentu saja ini merupakan sebuah fenomena yang menarik.</p> <p class="MsoNormal"><span style=""> </span>Upaya untuk membuat agar lebih banyak kaum muda yang menyukai musik klasik dan hanya dilakukan dengan merilis serangkaian album komposisi klasik dalam bentuk yang lebih ringan. Selain aransemen lebih disederhanakan, durasinya juga dipersingkat, yang dalam blantika musik disebut sebagai album semi-klasik. Bahkan tak jarang album yang mereka rilis muncul dalam bentuk yang agak ‘aneh’. Misalnya RCA Victor merilis album yang berjudul <i>Classical Music FOR PEOPLE WHO HATE CLASSICAL MUSIC</i>. </p> <p class="MsoNormal"><span style=""> </span>Sampul album yang menampilkan ilustrasi patung dada Sebastian Bach menjadi korban corat-coret graffiti ini menampilkan sedert komposisi musik klasik seperti <i>Peer Gynt Suite no. 1</i> karya Grieg, <i>Four Season</i>-nya Vivaldi, <i>Clarinet Concerto</i>-nya Mozart, <i>Clair de Lune</i>-nya Debussy dan sebagainya, yang melodinya mewarnai sejumlah film laris Hollywood dan berbagai produk iklan ternama, namun tak dikenal orang sebagai komposisi musik klasik. Dengan kata lain, dimunculkan pendapat, musik klasik ternyata juga bisa nyaman didengar, di luar bingkai musik klasik yang angker. “ Steven Gates, yang menuliskan kata apresiasi di halaman sleeve album ini menyebutkan bila upaya ini dilakukan untuk memancing agar mereka yang membenci musik klasik, berbalik jadi rindu.<span style=""> </span></p> <h1><span style="font-size:100%;"> Dengung lebah beterbangan</span></h1> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;">Upaya untuk melucuti keangkeran musik klasik, dengan memadukan irama lain yang lebih disukai masyarakat ini, kemudian disebut dengan istilah <i>crossover classic</i> , yang artinya menunjukkan adanya prsilangan antara musik klasik dengan genre musik lainnya. Pada sisi inilah dunia menerima Bond, kwartet musisi perempuan<span style=""> </span>yang memainkan musik klasik dengan <st1:city><st1:place>gaya</st1:place></st1:City> dan busana seksi. Daya pikat lain yang diberikan Bond adalah meramu musik klasik dengan <st1:city><st1:place>gaya</st1:place></st1:City> disko atau beat yang menghentak-hentak-enak. Aransemen yang cenderung ngepop, ritme yang membuat kaki mengetuk spontan. Saat menggelar konser di <st1:city><st1:place>Jakarta</st1:place></st1:City>, Bond malah memainkan lagu heavy metal Stairway to Heaven-nya Led Zeppelin dalam aransemen yang menawan.</p> <p class="MsoNormal"><span style=""> </span>Begitu juga dengan Maksim Mravica, pianis klasik dari Kroasia, yang berwajah ganteng dan bergaya trendi. Melihat penampilannya yang bagai seorang model, orang tak akan menduga bila si ganteng kelahiran <st1:city><st1:place>kota</st1:place></st1:City> Sibenik, <st1:city><st1:place>kota</st1:place></st1:City> semenanjung Laut Adriatik (1975) ini cukup dahsyat mengayun <i>running</i> jari jemarinya di bilah tuts piano akustik. Namun bila menyimak permainan Maksim pada nomor pendek Rimsky-Korsakov, <i>The Flight of the Bumblee-Bee</i> (selain dimainkan dalam konsernya di Jakarta tahun silam, juga bisa Anda saksikan dalam DVD Maksim, <i>the piano player</i>, yang dirilis EMI ) Anda pasti setuju bila Maksim tak hanya pintar bergaya, namun juga handal dalam semua teknik piano klasik, serta memiliki virtuositas seorang maestro. Dengeung lebah yang beterbangan cepat menjelma<span style=""> </span>dalam hentakan tuts piano dengan presisi tinggi pada tempo yang saling bersilangan cepat. Nomor pendek Rimsky-Korsakov ini sering dianggap sebagai jebakan bagi virtuositas seorang pianis. Maksim mampu menaklukkannya justru dalam usia yang masih muda, dan wajah seganteng vokalis <i>boys band</i>.</p> <p class="MsoNormal"><span style=""> </span>Baik Maksim, Vanessa Mae ataupun Bond, memang bisa dibilang sebagai orang yang berlari di jalan yang telah dirintis oleh pendahulu mereka, karena sebelumnya telah muncul The Cronos Quartet dan Nigel Kennedy. The Cronos Quartet memainkan musik klasik dengan aransemen yang kadang agak jazzy atau ngerock. Mereka bahkan memainkan lagu rock Jimi Hendrik dalam konser musik klasik mereka. Sedangkan pemain biola Nigel Kennedy tak saja merupakan seorang solis dengan penampilan punk, permainannya juga mengaduk-aduk konvensi musik klasik. <st1:city><st1:place>Gaya</st1:place></st1:City> <i>crossover</i> malah bisa dibilang bermula dari dia. </p> <p class="MsoNormal"><span style=""> </span>Andai Risky-Korsakov atau para sesepuh musik klasik lainnya melihay karyanya dimainkan oleh generasi muda seperti Maksim, tanpa menyertakan notasi musik dari komposisi yang diciptakannya, bisa jadi mereka akan mendelik dan berkata gusar,” Kurang ajar sekali anak muda ini, memainkan karya orang seenaknya saja.” Padahal, sejujurnya, orang tak harus menikmati musik klasik dalam suasana super formal ( Anda bisa melihat kultus adi-konser ini dalam pagelaran kondukter Herbert von Karajan bersama Wiener Philharmoniker yang memainkan <i>Requiem Verdi</i> – dalam DVD yang dirilis Sony Classical ). Orang harus bisa menikmati komposisi musik klasik dalam pilihan yang diinginkannya. (<b>Heru Emka</b> )<span style=""> </span></p>Kajian Budaya Heru Emkahttp://www.blogger.com/profile/02078320332372397648noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5360952122397939131.post-89741589690430289932008-01-14T08:17:00.000-08:002008-01-14T08:38:02.115-08:00<h4 style="text-align: center;"><span style="font-size:130%;"> Komik / Wayang ;</span></h4><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjjY6kSwNZlke-VtRBqAltGrNW8JGuG-aeOq1oiXO52IZEW9rd5yETHAEVo2KFSIGDjYh07_GrVC8e4UYjYVmoYiFXddVDNsQ5EI5M49RggIBHNbptlo6GzEyB9uQBfLTdu6wavtG2CuEM/s1600-h/ramayan_full.JPG"><img style="margin: 0px auto 10px; display: block; text-align: center; cursor: pointer; width: 289px; height: 434px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjjY6kSwNZlke-VtRBqAltGrNW8JGuG-aeOq1oiXO52IZEW9rd5yETHAEVo2KFSIGDjYh07_GrVC8e4UYjYVmoYiFXddVDNsQ5EI5M49RggIBHNbptlo6GzEyB9uQBfLTdu6wavtG2CuEM/s400/ramayan_full.JPG" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5155371774484117842" border="0" /></a><br /><h4 style="text-align: center;"><span style="font-size:180%;"> " Sang Jagoan di <br /></span></h4><h4 style="text-align: center;"> <span style="font-size:180%;"> Persimpangan Jalan "<br /></span></h4> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><span style="font-size:18;"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center">1.</p> <p class="MsoNormal" style=""><span style=""> </span><span style=""> </span> “ Kenapa nasib wayang kita begitu mengenaskan ? Padahal kesenian lainnya yangn juga telah berusia lama seperti <i>kabuki</i> di Jepang dan opera di Eropa masih bisa cemerlang hingga sekarang ?.”<span style=""> </span></p> <p class="MsoNormal"><span style=""> </span> Pertanyaan ini dilontarkan Bu Nini, seorang guru di sebuah SMK,- seusai menyaksikan berbagai adegan yang terpampang dalam pameran foto ‘<i>Ngesti Pandowo – Nyelaras Ing Zaman</i>’ di Rumah Seni Yaitu ( <st1:city><st1:place>Semarang</st1:place></st1:city>, 1 – 7 Juli 2006 yang lalu ). Deretan foto yang ada memang menggambarkan redupnya kehidupan para seniman wayang orang.. <st1:place>Para</st1:place> pemain tua yang mencoba berdandan, seakan mencoba meraih imaji yang telah tenggelam, bayangan samar permaisuri rupawan yang telah begitu lama memudar. Lainnya adalah potret para raksasa dan sosok ksatria, yang kini tak mampu lagi mengundang perasaan penuh debar, lalu potret segelintir penonton ( beberapa di antaranya orang asing ) : Semua menyiratkan sebuah kemeriahan yang yang usai. Bahkan penjual tiket pun tertidur dim kursinya : Tak ada lagi penonton datang… Dan cerita wayang sendiri, bukankah semakin tertinggal, menjadi sebuah gaung, seperti nostalgia<span style=""> </span>di lorong sejarah kebudayaan ?</p> <p class="MsoNormal"><span style=""> </span> Dalam situasi sekarang ini, wayang hanya berkelebat antara ada dan tiada. Apakah wayang akhirnya memang hanya bisa bertahan seperti makna katanya sendiri, sebagai ‘bayangan’?<span style=""> </span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center">2.</p> <p class="MsoNormal"><span style=""> </span><i> “ Ramayan Reborn !”</i>, seru Virgin Comic dalam sebuah publikasi yang segera memancing perhatian para peminat komik dunia. <i>Virgin Comic</i> adalah, anak perusahaan <i>DC Comics</i> – yang dikenal sebagai konglomerat komik dunia. Tak ubahnya produser film terkemuka di <st1:city><st1:place>Hollywood</st1:place></st1:city>, <i>DC Comics</i> selalu mempersiapkan produksinya sebaik mungkin. Mereka dengan cermat mengintai peluang sebelum membidik pasar. Tentu saja mereka juga merancang tim kreatif yang membuat komik ini, selain mampu mencetak sukses komersial,- juga menampilkan kualitas artistik yang maksimal. </p> <p class="MsoNormal"><span style=""> </span><span style=""> </span> Ilustrator komik Ramayana yang digarap dalam bentuk novel-grafis ini ( dirilis bulan September nanti) adalah Alex Ross, ikon komik DC, yang selama ini dikenal sebagai arsitek di balik penampilan baru para <i>super hero</i> <i>DC Comics</i>. Ross adalah legenda komik masa kini<span style=""> </span>yang berhasil merombak penampilan <i>Spider Man</i> menjadi lebih keren, dan karakter Batman menjadi lebih posmo. Dan di tangan Depak Chopra ( ingat bukunya <i>Seven Spiritual Laws of Success</i> dan <i>Peace Is The Way</i> yang meledak di pasaran ? ) dan sutradara Shekhar Kapur ( filmnya <i>Elizabeth</i> dan<span style=""> </span><i>Bandit Queen</i> juga mengundang pujian ) sebagai penulis cerita, Ramayana tak lagi menjadi legenda lama yang biasa dituturkan dalam dongeng, namun berubah menjadi kisah yang <i>‘</i><i><span style="color:black;">post-apocalyptical’</span></i><span style="color:black;">, sebuah tafsir baru yang melakukan upaya mendekonstruksikan mitologi India yang berusia lebih dari dua ribu tahun. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="color:black;"><span style=""> </span> Saya sempat mengintip sampul komik Ramayana garapan Alex Ross, yang memang menyegarkan citra wayang yang selama ini dilambangkan sebagai budaya Timur, dalam ‘sekapan’ citranya yang eksotik sekaligus terkungkung dalam imaji globaltentang dunia ketiga. Ilustrasi Alex Ross membuat figur Hanoman tampil menjadi sosok ‘Yang lain’ ( <i>the other</i>) dan memberi variasi tersendiri dalam kosmologi <i>super hero</i> Barat. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="color:black;"><span style=""> </span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center">3.</p> <p class="MsoNormal"><span style=""> </span> Fakta tadi menunjukkan bahwa terobosan budaya ( yang sebenarnya bisa diupayakan ) mampu melontarkan Ramayana melampai sekat masa dan perbedaan budaya. Sementara dalam realitas kita, wayang semakin tersisih dari realitas budaya sehari-hari justru dalam buai nina bobo sebagai ‘seni <i>adi luhung</i>’, seperti yang biasa kita dengar dari para birokrat kebudayaan.</p> <p class="MsoNormal"><span style=""> </span> Kenyataan di lapangan yang berbeda ( wayang orang dan wayang kulit tak lagi menjadi seni yang seksi bagi anak muda, mulai tergusur dari jalur utama budaya, dan mulai membeku dalam kotak kaca pelestarian ) seharusnya memberi inspirasi, bahwa wayang harus mulai – dan selalu<span style=""> </span>ditafsirkan kembali. Artinya wayang bukan harus dilestarikan, tapi justru harus hadir dalam arus jaman. Juga wayang harus disukai anak muda, karena mereka lah penggerak budaya di segala jaman. </p> <p class="MsoNormal"><span style=""> </span><span style=""> Bahkan dalam kultur hidup posmo, yang tak urung perlahan-lahan juga merembes ke </span><st1:country-region><st1:place><span style="">Indonesia</span></st1:place></st1:country-region><span style=""> ini,<span style=""> </span>bukan hanya wacana pemikiran budaya yang berubah. Maka Deleuze dan Guattari (dalam<span style=""> </span><i>A Thousand Plateaus: Capitalism and Schizophrenia</i>. </span><st1:city><st1:place><span style="">London</span></st1:place></st1:city><span style="">: The Athlone Press. 1988, hal<span style=""> </span>453) pun menyebutkan terbentuknya sebuah kondisi yang tak terelakkan bagi sebuah kehidupan </span><st1:city><st1:place><span style="">kota</span></st1:place></st1:city><span style=""> kontemporer, yakni terciptanya ruang urban kapitalis yang mereka sebut sebagai ‘ kawasan tak berbatas ( <i>the<span style=""> </span>'deterritorialization'</i>). <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;"><span style=""><span style=""> </span> Dalam kondisi seperti ini, wayang berada di persimpangan jalan. Orang tak lagi mau berpanjang-panjang , dengan semua pengorbanan ( waktu dan tentu saja uang ) untuk nanggap wayang. Nama dalang kondang seperti Ki Mantep memang masih berkibar. Namun berapa puluh dalang kecil yang sekarang alih profesi karena tak kunjung dapat tanggapan ? Dan bukankah tanggapan dalang kondang itu kebanyakan datang dari kalangan instansi<span style=""> </span>( bukan duit pribadi ) ?<br /></span></p><p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;"><span style=""><o:p></o:p><br /> Konsep '<i>deteritorialisasi'</i> di atas terbukti, dengan fakta ‘kawasan budaya’ seperti Sriwedari misalnya, tak lagi bermakna sebagai kawasan yang bisa menjaga kehidupan (realitas ) kesenian yang ada di sana, karena kota hanyalah ribuan keeping wilayah, dengan sorotan warna tunggal kapitalisme. Bahkan nama seperti Taman Budaya Raden Saleh terhuyung-huyung oleh gemerlap artifisial sebuah taman hiburan di sebelahnya. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style=""><span style=""> </span> Kita bisa menemukan benang merah dari pertanyaan kenapa drama tradisional Eropa ( teater <i>Shakespearean</i> misalnya ) masih punya banyak penonton, sementara wayang orang hidup segan mati tak mau ? Teater yang mementaskan cerita Shakespeare masih ditonton – juga oleh orang muda – karena dukungan para seniman dan intelektual dalam <i>The Shakespearean Society</i>, yang tak saja memikirkan konsep manajemen kesenian yang tepat, namun juga selalu merevitalisasi kisah Shakespeare dengan memberikan tafsir dan sudut pandang, wacana kajian<span style=""> </span>baru.<span style=""> </span>Narasi tentang karakter badut istana <i>( the fool</i>) dalam <i>King Lear</i>, misalnya, telah menimbulkan berbagai reinterpretasi, baik dari sisi karakteristik hingga upaya untuk melakukan dekonstruksi dari pada narasi.<span style=""> </span>( <b>Heru Emka</b> )<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style=""><span style=""> </span><span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style=""><span style=""> </span><span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style=""><span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p><span style="color: rgb(0, 52, 113);"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style=""><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal"><span style=""> </span></p> <p class="MsoNormal"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal"><span style=""> </span><span style=""> </span> <span style=""><o:p></o:p></span></p> <p style="margin: 5pt 8pt;"><span style=""><span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p style="margin: 5pt 8pt;"><span style="color: rgb(0, 52, 113);"><o:p> </o:p></span></p> <h3><span style="" lang="EN"><span style=""> </span><span style=""> </span></span></h3> <p class="MsoNormal"><span style=""><span style=""> </span><span style=""> </span><span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p><span style=""><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal"><o:p> </o:p></p>Kajian Budaya Heru Emkahttp://www.blogger.com/profile/02078320332372397648noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5360952122397939131.post-42308081268071123422008-01-12T09:07:00.000-08:002008-01-12T09:36:45.343-08:00<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgrB5ZmZgBtpk5YXtdDyqqHwFM4si-d9LPyLjMbJK8d3CXkpPyX9a4EuyqS0iCbTzLi72btE3HVTukKGzueEOo3N8QEAAr32-3-yL-ImYImk4sahaeXFkufrG2bRux2GKJVA2PB6zOQ2T4/s1600-h/1462d6e2fd8d79f4.jpg"><img style="cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgrB5ZmZgBtpk5YXtdDyqqHwFM4si-d9LPyLjMbJK8d3CXkpPyX9a4EuyqS0iCbTzLi72btE3HVTukKGzueEOo3N8QEAAr32-3-yL-ImYImk4sahaeXFkufrG2bRux2GKJVA2PB6zOQ2T4/s400/1462d6e2fd8d79f4.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5154643627203590354" border="0" /></a><br /><p class="western"> “<span style="font-size:100%;"><b><span style="font-size:180%;">Le Poete Maudit”</span></b></span></p><span style="font-size:100%;"><b> Cerita Pendek Heru Emka</b></span><br /><p class="western"><span style="font-size:100%;"><b> </b> Senja diam-diam mengambang dan menghisap panas mentari yang mereda. Hawa sejuk di hotel berbintang lima itu pun menyelimuti tubuh, menghapus keringat yang disisakan terik siang di jalanan. Riuh rendah deru-debu, teriak seru, eskspresi wajah-wajah kaku yang berjarak hanya selemparan batu, segera teredam lapisan kaca ber-AC. Tiga lantai berikutnya adalah ruang luas yang nyaman berisi gumam lembut perempun. Kursi empuk yang berderet rapi, dan hadirin yang berbusana indah dan semerbak wangi.</span></p> <p class="western"><span style="font-size:100%;"> Kontradiksi ini mengingatkan aku pada apologi sopir taksi,” Maaf pak, AC-nya baru ngadat. Padahal tadi pagi masih sehat .” Dari MP-4 di pinggang, Mick Jagger berdendang “ <i>You can’t always get what you want</i>.” <span style="font-size: 8pt;font-size:78%;" >1)</span> </span> </p> <p class="western" style="text-indent: 1.27cm;"><span style="font-size:100%;">Cukup banyak juga tuan dan nyonya kaya Jakarta yang saling bersapa ceria di sana, terpadu gaya hidup yang kini cukup diminati : mengoleksi benda seni (sekaligus menakarnya sebagai peluang inmvestasi). Di kursi deretan depan ada Erica Hesti Wahyuni, pelukis yang cepat tersohor sejak karyanya menjadi incaran kolektor. Ada juga Agus Dermawan T., pengamat seni rupa, beberapa kolektor, pemilik galeri, selebihnya wajah-wajah mewah yang belum kukenali. </span> </p> <p class="western"><span style="font-size:100%;"> Aku datang untuk bertemu Nurul Arifin. Artis yang satu ini mulai senang berburu lukisan, sejak wajahnya dilukis oleh Jeihan. Aku akan meminta dia untuk tampil sebagai bintang tamu di acara Jaya Suprana Show. <span style="font-size: 8pt;font-size:78%;" >2)</span> <i>Coffe break</i> baru lima menit mulai saat Nurul Arifin memberikan konfirmasi tanda jadi. Lalu seorang perempuan muda menghampiri dengan pesan seperti sebuah teka-teki : “ Masihkah nama ini ada dalam ingatasn ? <i>Ja pense toi joue et nuit</i> “ <span style="font-size: 8pt;font-size:78%;" >3)</span> </span> </p> <p class="western"><span style="font-size:100%;"> Pandangku penasaran menjelajah ruangan. Dan kulihat senyumnya saat dia melambaikan tangan. Ah..ah..Salindri Kuswardani. Anggota dewan dari partai XYZ, pengusaha muda yang naik daun di kota kami. Suka bicara ceplas-ceplos di media massa. Secara terbuka dia kritik kebijakan Gubernur yang dianggap menguntungkan para pendukungnya semasa Pilkada. Saat pihak yang merasa dirugikan berniat mengajukan tuntutan, Indri (begitu aku memanggilnya) tak gentar dan menantikannya di pengadilan. Namun seperti yang diduga oleh beberapa kalangan, tuntutan hukum itu tak pernah menjadi kenyataan. Pengacara kedua belah pihak sudah sepakat, untuk mengakhiri masalah dengan mufakat.</span></p> <p class="western"><span style="font-size:100%;"> Setelah saling berjabat tangan dan bertukar basi-basi kesopanan, kami saling menatap wajah masing-masing, seakan melompati masa yang begitu lama memisahkan dan memberi kesan asing. Rasa ingin tahu berloncatan spontan, coba menakar apa yang masih tersisa dalam ingatan. Kelebat sinar mata sejak detik pertama, coba menengok lorong nostalgia. Menghitung seberapa banyak sisa keakraban yang terpendam.</span></p> <p class="western"> <span style="font-size:100%;"> “ Senang juga bisa ketemu lagi. Cukup lama ya kita tak jumpa. Mau kan ketemu lagi sama aku ?” tanyanya dengan sebuah senyum ceria.</span></p> <p class="western"><span style="font-size:100%;"> “ Cukup lama juga. Kamu sudah jadi orang penting sekarang”</span></p> <p class="western"><span style="font-size:100%;"> “ Kamu juga kan ? Aku tiga hari di sini, menjajaki kemungkinan membuka galeri. Bagaimana bila kita ngobrol nanti malam ? Bisa ?”</span></p> <p class="western"><span style="font-size:100%;"> Begitulah. Jam delapan malam aku sudah ada di lobby, menanti Indri. Lalu muncullah dia dengan langkah kijang dalam gaun malam lace berwarna hitam. Belahan panjang di sisi kiri memberiku paha jenjang cemerlang bagai bulan sabit keperakan dalam selimut awan kelam. Lalu suasana bertukar dengan denting piano <i>jazzy</i>, di sebuah bar yang <i>cozy.</i> <span style="font-size: 8pt;font-size:78%;" >4) Dan a</span>ku kembali tergoda untuk<span style="font-size: 8pt;font-size:78%;" > </span>untuk berperan sebagai laba-laba di depan serangga. Apakah ini sebuah kesempatan atau jebakan ? </span> </p> <p class="western"><span style="font-size:100%;"> Dulu Indri masih mahasiswa Fakultas Sastra, dan aku salah satu penyair muda (bersama Bambang Soepranoto dan Nung Runua ) yang diundang untuk membaca sajak di acara Gairah Malam Bulan Purnama, di kampusnya. Ada beberapa mahasiswi lain yang segera jadi teman, seperti Ayu dan Widuri. Tapi aku paling terkenang Indri karena parasnya yang melankolis, seakan pandangannya dilaputi selaputtipis kesedihan. Karena itu aku kemudian menuliskan sajak untuknya : “ <i>Adakah derita yang singgah tanpa sengaja, hingga senyuman begitu / singkat, bagai usia embun diserap surya ? Biar kucari melodi kata-kata / di heningmu. Dan benarkah redup sinar matamu tirai rahasia / dari sebuah mata air duka</i> ? “</span></p> <p class="western"><span style="font-size:100%;"> “ Well, pertemuan ini harus dirayakan dengan sebuah kesepakatan. Yang sudah biarlah lewat Kita bertemu dalam perspektif baru. Setuju ? “ katanya setelah mencicipi segelas mungil pinacolada <span style="font-size: 8pt;font-size:78%;" >5).</span></span></p> <p class="western"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: 8pt;font-size:78%;" > </span> “ Kau sepertinya sudah mengubur masa silam….”</span></p> <p class="western"><span style="font-size:100%;"> “ Haruskah aku terus menjadi gadis sentimentilmu. Aku harus membuat hidup ini terus berjalan. Seperti kamu yang terus melangkah bersama gadis-gadismu.”</span></p> <p class="western"><span style="font-size:100%;"> Sebuah adegan meloncat dari labirin ingatan : Aku berjalan mendekap pinggang Wieke, dan Indri melintas di depan dengan tawanya yang mendadak hilang, terhisap keberadaan kami berdua. Tak bisa kulupa wajahnya yang sedih dan bibirnya yang ternganga….</span></p> <p class="western"><span style="font-size:100%;"> Padahal baru sebulan aku bersama Indri. Namun ego seniman menyodorkan sebuah kesombongan yang tak berguna. Paman Indri yang ajudan duta di Swedia bicara soal masa depan Indri dan ‘kemungkinannya’ bila dipertemukan dengan putera duta besar kita di Swedia. Yang paling naïf, semua ini diucapkan saat Indri bersamaku, secara demonstratif. </span> </p> <p class="western"><span style="font-size:100%;"> Perasaan tersinggung yang melambung dan harga diri yang melayang terlalu tinggi. Rasa marah yang membuat yang situasi yang salah kaprah bertambah parah. Lalu pertengkaran kecil yang beranak pinak dalam tempo singkat, berakhir dengan sebuah kalimat di sebuah surat : “ <i>Kamu bukan kekasih yang tepat bagi seorang penyair, yang dikutuk untuk hidup hanya dengan cinta dan kata-kata. Bagiku apa gunanya berada di sorga bila tanpa kamu. Lebih baik aku terkutuk menjadi setan di neraka, tapi aku bahagia bila sempat memilikimu</i> “</span></p> <p class="western"><span style="font-size:100%;"> Lalu aku berusaha menghapus bayangan Indri. Dan berbagai nama mengisi hari-hari yang silih berganti. Tapi tak ada yang menyentuh sampai lubuk hati. Tak ada yang punya bibir tipis kepucatan seperti bibir Indri. Ah, pandangannya yang seperti kerjap sinar lilin di kejauhan malam. Angannya yang polos tentang masa depan. “ Aku ingin jadi istrimu, punya anak banyak, masak yang enak .” Benar-benar kepasrahan ombak, yang rela kehilangan daya saat mencumbu pantai. Tapi, sialan, kami bagai nyiur dan salju. Bukan asam di gunung dan garam di laut yang bertemu dalam belanga. Aku lari ke Jakarta, Cirebon dan Jogya untuk melupakan luka cinta. Aku bekerja silih berganti, untuk mencari situasi yang bisa membuatku lupa pada Indri. </span> </p> <p class="western" style="text-indent: 1.27cm;"><span style="font-size:100%;">Aku seperti kapal hantu, bergentayangan di samudera cinta, tanpa mengenal bandar atau kuala. Bagai nakhoda yang gila topan, aku selalu menghindari persinggahan. Empat kali aku merasa menemukan pelabuhan hati, tapi berulang kali digerogoti sangsi. </span> </p> <p class="western"><span style="font-size:100%;"> Saat aku mencoba jujur pada diri sendiri, yang muncul sebait puisi : “ <i>di hidup yang begini sunyi, aku tak tahu / senantiasa keluh, menunggu yang menghapus duka / senantiasa rubuh, membuang rindu yang ada</i> “ <span style="font-size: 8pt;font-size:78%;" >6) </span> Mabok mendamba cinta yang ternyata samar-samar saja, aku merasa bagaikan kelelawar yang “ <i>di dingin malam aku berlagu, sinar purnama kawanku merindu, di suram kabut sendiri aku, di kelam maut aku menunggu</i>” <span style="font-size: 8pt;font-size:78%;" >7)</span></span></p> <p class="western"><span style="font-size:100%;"><span style="font-size: 8pt;font-size:78%;" > </span> Tapi semua berubah tak terduga. Dan basa-basi yang terjadi sekarang ini tak bisa menghalangi kenangan yang seakan memancar deras dari pori-pori di tubuh kami. Beberapa kejap kemudian, tangan kami saling menggenggam. Sebuah nyanyian menyihir kami untuk sama mengayun langkah dalam dekapan. <i>Stranger In The Night</i> <span style="font-size: 8pt;font-size:78%;" >8) </span>mengalun dalam suara serak basah si penyanyi yang berleher jenjang. Kami bagai sepasang orang asing yang terdampar di tempat sama : di mana kesepian dan kerinduan saling membelit dan menyambar-nyambar. </span> </p> <p class="western"><span style="font-size:100%;"> “ Kok jadi pendiam sekarang ?,” katanya dalam dekapan.</span></p> <p class="western" style="text-indent: 1.27cm;">“ <span style="font-size:100%;">Kamu jauh berubah. <i>Tranquille, intelligent, sexy</i>.” <span style="font-size: 8pt;font-size:78%;" >9)</span> </span> </p> <p class="western" style="text-indent: 1.27cm;">“ <span style="font-size:100%;">Tahu nggak, aku selalu menunggumu. Eh mana sikap mbelingmu dulu ? Aku</span></p> <p class="western"><span style="font-size:100%;">sudah tak menarik lagi ya ?.” </span> </p> <p class="western"><span style="font-size:100%;"> “ <i>No, no, grosses mammelles, longies jambes ?</i> “ <span style="font-size: 8pt;font-size:78%;" >10)</span> </span> </p> <p class="western"><span style="font-size:100%;"> “ Sialan. <i>Es-tu occupe maintenant ?, </i><span style="font-size: 8pt;font-size:78%;" >11)</span> tanyanya lagi.</span></p> <p class="western"><span style="font-size:100%;"> “ Aku kini tim kreatif di sebuah acara televisi. Omong-omong, siapakah kekasihmu,” aku bertanya sambil menduga.</span></p> <p class="western"><span style="font-size:100%;"> “ Ada. Tapi sudah putus.”</span></p> <p class="western"><span style="font-size:100%;"> “ Sorry..”</span></p> <p class="western"><span style="font-size:100%;"> “ Lupakanlah. <i>La danse me rechauffe</i>, “ <span style="font-size: 8pt;font-size:78%;" >12)</span> desahnya sambil mendekatkan wajah. Dan terjasdilah peristiwa yang selalu dikisahkan dalam roman picisan. Sebuah kecupan pendek, berbuah ciuman panjang, dan kemudian tak ada yang perduli kronologi waktu ketika pristiwa di sebuah bar meloncat ke dalam kamar, di lantai enam. Walau kami saling menginginkan, ternyata masih saling coba mengulur kesabaran.</span></p> <p class="western"><span style="font-size:100%;"> “Apa yang biasa terjadi pada pertemuan para mantan ? “</span></p> <p class="western"><span style="font-size:100%;"> “ Mencari kenangan silam, mencicipi yang paling manis dalam ingatan “</span></p> <p class="western"><span style="font-size:100%;"> “ Bisakah teraba setelah begitu lama ?”</span></p> <p class="western"><span style="font-size:100%;"> “ <i>Just a stupid memory</i>. Tapi aku tak bisa melupakanmu. Jawablah sejujurnya. Masih adakah rasa cintamu untukku ?” </span> </p> <p class="western"><span style="font-size:100%;"> “ Entah bagaimana, aku pun tak bisa lupa. Kau bagai berdiri di luar waktu, dengan senyuman yang selalu mengambang dalam kenangan.”</span></p> <p class="western"><span style="font-size:100%;"> “ Dan kau menciumku dalam hujan. Ciuman pertama yang tak bisa hilang dari kenangan. Aku memilih sendiri, agar suatu saat kita bisa bertemu lagi.”</span></p> <p class="western"><span style="font-size:100%;"> “ Seperti ini ? “</span></p> <p class="western"><span style="font-size:100%;"> “ Ya. Seperti ini “</span></p> <p class="western"><span style="font-size:100%;"> “ Yang dilakukan oleh siapa saja yang dibakar api cinta ? “</span></p> <p class="western"><span style="font-size:100%;"> “ Yang dilakukan siapa saja yang rela hangus terbakar api cinta. “</span></p> <p class="western"><br /></p> <p class="western"><span style="font-size:100%;"> Apa mau dikata. Kadang logika tak berdiam satu sarang dengan gairah. Aku tak mengerti, atas nama apakah hasrat cinta yang mati kembali berkobar lagi. Rasa bersalah ? Atau penebusannya ? Saat lalu perlahan menghapus kalimat. Ketika intonasi nada kata-kata terdengar berat, bisikan pelan pun terdengar hangat. Lalu sentuhan demi sentuhan berbagi tempat. Kutemukan lautan membelah di tubuhnya, dan gelombang yang berpusar lalu menarikku, menghisapku ke dalam palungnya.</span></p> <p class="western"><span style="font-size:100%;"> “ <i>L’amour interdit</i>,” <span style="font-size: 8pt;font-size:78%;" >13)</span> gumamku. </span> </p> <p class="western"><span style="font-size:100%;"> “ <i>Mmm…le poete maudit</i>,” <span style="font-size: 8pt;font-size:78%;" >14) </span>bisiknya parau. </span> </p> <p><span style="font-size:100%;"> </span></p> <p><span style="font-size:100%;"> <b><br /></b></span></p> <p style="margin-left: 5.08cm; text-indent: 1.27cm;"><span style="font-size:100%;"><b> Semarang – 2007<br />Setelah obrolan bersama Saroni dan Lestat.</b> </span> </p> <p class="western"> </p> <p class="western"><span style="font-size: 9pt;font-size:85%;" ><b>Catatan : </b></span></p> <p class="western"><span style="font-size:85%;"><i>1) Sebuah lagu hit The Rolling Stones. Diciptakan untuk menggambarkan perasaan Mick Jagger tentang penghiburan bagi rasa kecewa saat putus cinta dengan pacarnya. </i></span> </p> <p class="western"><span style="font-size:85%;"><i>2) Sebuah talk show televisi yang pernah disiarkan oleh stasiun TPI. </i></span> </p> <p class="western"><span style="font-size:85%;"><i>3)” Aku masih mengenangmu siang dan malam”</i></span></p> <p class="western"><span style="font-size:85%;"><i>4) Istilah yang sering dipakai untuk menyebut suasana yang nyaman, mengasyikkan.</i></span></p> <p class="western"> </p> <p class="western"><span style="font-size:85%;"><i>5) Nama sejenis cocktail yang berasa segar </i></span> </p> <p class="western"><span style="font-size:85%;"><i>6) Dari sajak Potret Diri, termuat dalam kumpulan puisi Tanda ( Balai Pustaka, 1982)</i></span></p> <p class="western"><span style="font-size:85%;"><i>7) Dari sajak Kelelawar, dalam Tanda ( Balai Pustaka, 1982)</i></span></p> <p style="margin-bottom: 0.13cm;"><span style="font-size:85%;"><i>8) 8) Versi asli lagu ini ditulis oleh Ivo Robie dalam bahasa Kroasia, berjudul “Stranci u Noci’. Lirik bahasa Inggrisnya ditulis oleh Charles Singleton dan Rddie Snyder, tentang cinta dalam pandangan pertama. Lagu ini mendunia sejak meraih Golden Globe sebagai lagu terbaik dalam film A Man Get Killed (1967). Dinyanyikanulang oleh berbagai nama beken, dari Frank Sinatra, Shirley Bassey, James Brown dan sebagainya. </i></span> </p> <p style="margin-bottom: 0.13cm;"><span style="font-size:85%;"><i>9) Tenang, cerdas, seksi </i></span> </p> <p style="margin-bottom: 0.13cm;"><span style="font-size:85%;"><i>10) Payudara besar, paha yang jenjang ? </i></span> </p> <p style="margin-bottom: 0.13cm;"><span style="font-size:85%;"><i>11) Apa kau sibuk sekarang ? </i></span> </p> <p style="margin-bottom: 0.13cm;"><span style="font-size:85%;"><i>12) Dansa ini menghangatkan diriku </i></span> </p> <p style="margin-bottom: 0.13cm;"><span style="font-size:85%;"><i>13) Cinta terlarang</i></span></p> <p style="margin-bottom: 0.13cm;"><span style="font-size:85%;"><i>14) Penyair yang terkutuk</i></span></p><p style="margin-bottom: 0.13cm;"><br /></p><p style="margin-bottom: 0.13cm;"><span style="font-size:85%;"><i> <span style="font-weight: bold;">Sorry friend, terpaksa cerpenku ikut diposting di euang yang seharusnya hanya bicaratentang fenomena budaya pop dengan segala sisinya. Tapi cerpen kan termasuk budaya pop juga kan. Kalau Erica Awuy yang meminta, lebih baik aku pura-pura tak berdaya</span><br /></i></span></p> <p style="margin-bottom: 0.13cm; font-weight: bold;"><br /><br /></p> <p style="margin-bottom: 0.13cm;"><br /><br /></p>Kajian Budaya Heru Emkahttp://www.blogger.com/profile/02078320332372397648noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5360952122397939131.post-21075832070473936212008-01-12T08:58:00.001-08:002008-01-12T09:06:50.513-08:00<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgY1skdFHsaHZ2ru699MNnPCwqxoNaKXy671mM4H9Wb7BmEfnv1XoQt2f6OkgSeCpr6Zhk0QOsLYeWqX3U-19sqHwzX4Wh_9RJGppH_z1olCxF4mKdlYle_roGAkwJUIx-WIa02oWIc6RI/s1600-h/Si+Entong+%288%29.JPG"><img style="cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgY1skdFHsaHZ2ru699MNnPCwqxoNaKXy671mM4H9Wb7BmEfnv1XoQt2f6OkgSeCpr6Zhk0QOsLYeWqX3U-19sqHwzX4Wh_9RJGppH_z1olCxF4mKdlYle_roGAkwJUIx-WIa02oWIc6RI/s400/Si+Entong+%288%29.JPG" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5154637043018725570" border="0" /></a><br /><span style="font-size:180%;"><span style="font-weight: bold;">Logika Bonsai bagi Anak Kita</span></span><br /><br /> Oleh : <span style="font-weight: bold;">Heru Emka</span><br /><br /><br /> Televisi pernah dianggap sebagai penemuan terbesar dalam sejarah, dengan satu bukti : Pada 20 Juli 1969, Neil Armstrong menapakkan kakinya di bulan. Semua orang yang memiliki TV ikut menyaksikan langkah bersejarah ini di ruang tamunya. Pada saat itu, hampir semua pakar ilmu komunikasi menuetujui potensi dan ‘kuasa’ televisi untuk menyebarkan informasi, dan menyatukan orang untuk mencerapnya.<br /><br /> Harapan yang begitu besar ini ternyata berbalik arah 40 dasawarsa kemudian. Dr. Dimitri Christakis dalam bukunya; T<span style="font-style: italic;">he Elephant in the Living Room: Make Television Work For Your Kids</span>,- menyatakan bahwa TV ternyata lebih banyak menimbulkan lebih banyak masalah, daripada manfaat (produces more problems than it offers blessings). Dokter spesialis anak yang juga psikolog dan pengamat TV ini menyebutkan, bila orang tua sering salah duga tentang makna program TV terhadap para pemirsanya. Tadinya orang menduga bila kecenderungan orang tua mengajak anaknya nonton TV adalah untuk menyenangkan anaknya. "<span style="font-style: italic;">But in fact what we found was that the Number 1 reason they give is that it's good for their children's brain</span>,” tulisnya di buku itu. Dan anggapan tentang siaran TV yang (diharapkan) bisa mencerdaskan anak-anak ternyata lebih merupakan ilusi dibandingkan realitas.<br /><br /> Dalam bukunya, Dimitri Christakis menyodorkan sederet contoh studi kasus tentang acara-acara TV di AS yang tidak kondusif sebagai tontonan kanak-kanak. Di Indonesia, kita bisa menoleh pada Si Entong dan Si Eneng, dua ‘sinetron anak’ yang paling beken saat ini. Si Entong, oleh produsennya, Mega Vision,- disebut sebagai sebuah sinetron yang bergenre drama-komedi-religi (?). Tokoh utamanya sinetron yang ditayangkan oleh TPI ini tentu saja si Entong (Fahri), bocah lelaki 12 tahun, anak semata wayang Fatimah (Reina Ipeh ) yang ditinggal mati suaminya. Si Entong ini akrab dengan Ustad Somad (Adi Bing Slamet), guru mengajinya. Disamping memiliki sahabat karib, Entong juga punya ‘musuh bebuyutan’, yakni Mamat Cs. Uniknya walau Mamat dan teman-temannya ini berusaha untuk mencelakai Entong, mereka selalu gagal, bahkan mereka mereka sendiri yang sering tertimpa kesialan.<br /><br /> Cerita yang disajikan setiap episode sebenarnya amat sederhana : dengan tema tentang budi pekerti tentang bagaimana menghormati orangtua, jangan suka berbohong, akibat berbuat jahat pada orang lain, harus berbuat baik, memahami sesuatu yang salah, jangan mencuri, dan lainnya. Dari sini memang masih nampak ideal banget sehingga Manajer Humas TPI ;Theresia Ellasari menyatakan bila; " Si Entong sejauh ini sudah diproduksi lebih dari 50 episode dan sinetron ini aman dikonsumsi anak-anak.”<br /><br /> Setelah hampir setahun diputar, Si Entong pun naik daun. Menurut survei AGB Nielsen, Si Entong menembus rating 8,5 dengan audience share 15,1 atau ditonton oleh 25,1 persen pemirsa pada jam tayang sama. Posisi ini berada di peringkat lima dalam deretan 50 program teratas. Si Entong tak saja tenar di layar TV, gambar-gambarnya pun menghiasi sampul buku tulis, gambar umbul dan beberapa film iklan. Melihat bagaimana Si Entong meraih rating bagus dan begitu gencar dipromosikan ( dalam sehari, kadang ditayangkan dalam tiga versi yang berbeda : Si Entong, Si Entong dan Kawan-kawan, juga Si Entong : T<span style="font-style: italic;">he Movie</span> – dalam durasi yang lebih panjang), saya terpikat untuk menikmati kebolehan sinetron ini, dengan menonton sekitar 20 episode secara rutin. Begitu juga dengan sinetron Si Eneng (ditayangkan RCTI), saya rajin menongkronginya di depan TV, sekitar 20-an episode.<br /><br /> Terlepas dari keinginan produsernya yang berniat membuat sinetron yang berbobot sebagai tontonan anak-anak, kedua sinetron ini menimbulkan pertanyaan : atas dasar alasan apakah kedua sinetron ini dianggap sebagai tayangan anak yang baik ? Bila ada orang tua yang memuji dan mereferensikannya sebagai tontonan anak yang ideal, apakah dia juga telah menonton kedua sinetron ini secara intens ?<br /> <br /><span style="font-weight: bold;">Obsesi keajaiban</span><br />Kedua sinetron ini jelas mengandalkan konsep komedi <span style="font-style: italic;">slapstick</span>, dengan plot yang hanya berpegang pada kebetulan, keberuntungan instan dan kerangka penceritaan yang memprihatinkan dan mengabaikan logika. Dalam sebuah episode, Si Entong diberi senter wasiat oleh jin cantik. Senter ini bisa menggandakan uang, bisa membuat wajah perempuan jadi cantik dan sebagainya. Karena itu, banyak penduduk yang mencoba menemui jin cantik agar diberi benda wasiat juga. Jin itu marah, dan mengusir mereka dengan…kentut. Pada episode lainnya, ada ibu yang begitu ganjen dan menyuruh anak perempuannya merayu Entrong agar dipinjami senter wasiat, yang bisa membuat wajahnya bertambah cantik.<br /><br /> Logika bonsai (kerdil) seperti ini bahkan nampak dari ucapan anak-anak yang begitu terobsesi memiliki benda gaib agar “Bisa banyak makan terus,” kata seorang anak. “ Agar jadi anak-anak terus, biar nggak pusing jadi orang dewasa,” ucap anak lainnya. Peran pak ustad ternyata hanya sebatas pelengkap saja. Dia hanya berkata, “ Lupain senter wasiat, kalau mau dapat sesuatu ya kerja.” Tak nampak upayanya secara kongkrit untuk membuktikan ucapaannya. Bahkan dia terus muncul dalam setiap episode, bersama anak-anak yang masih saja terobsesi dengan hal yang serba gampang dalam hidup mereka.<br /><br /> Si Eneng (produksi Sinemart) juga dipenuhi karakter bonsai . Di sana ada orang dewasa yang berkopiah bayi sambil menghisap kempongan. Ada seorang bapak yang dengan noraknya berteriak tak mau disunat karena sakit rasanya. Ada keponakan juragan Wira, bocah besar yang bertingkah bagaikan idiot. Ada ibu (Yurike Prastika) yang bertingkah laku seperti iblis terhadap anak tirinya. Dan peran ustad (Teuku Ryan) di sini – lagi-lagi - hanya sebagai legitimasi logika skenario yang konyol.<br /><br /> Si Eneng malah menunjukkan tingkat obsesi yang lebih parah terhadap benda ajaib. Selama membetahkan diri menonton 20-an episode Si Eneng, saya menghitung lebih dari 50 benda ajaib yang dimiliki Si Eneng. Selain punya kaos kaki ajaib, yang bisa mengeluarkan apa saja yang diminta si Eneng, anak perempuan ini juga mempunyai TV Pengintai (dapat melihat kejadian pada masa lalu), Setrika Pengganda, Celana Terkenal, ( membuat pemakainya disukai banyak orang), Palu Ajaib ( bisa memperbaiki barang yang rusak), Benang Ajaib ( bisa membuat stelan baju lengkap seketika).<br /><br /> Dulu pernah ada sinetron yang baik untuk anak kita, seperti Jendela Rumah Kita dan sebagainya. Apakah tak ada lagi yang punya kemampuan seperti Arswendo untuk membuat tayangan anak yang baik dan mencerdaskan, justru di saat keluarga kita dikepungan berbagai tayangan TV ? Atau benar-benar tak ada lagi yang perduli dengan semua ini ? Bagaimana pendapat Anda.Kajian Budaya Heru Emkahttp://www.blogger.com/profile/02078320332372397648noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5360952122397939131.post-53315914006002010012008-01-12T08:46:00.000-08:002008-01-12T08:57:31.975-08:00<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiQLDbxImfQvZS1yRJHIvY1GNkz_LPHdQiNApRk3Gyi62Ta-GRDlCqMMep-cV6F1RegowNdVaBNB8A1dzZl8ikUuwF4P2P2YBQAvYffaYriJOkULeyN0ci5ghUDROOOkhbuR7dbmojdaSQ/s1600-h/Syair+Dunia+Maya.jpg"><img style="cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiQLDbxImfQvZS1yRJHIvY1GNkz_LPHdQiNApRk3Gyi62Ta-GRDlCqMMep-cV6F1RegowNdVaBNB8A1dzZl8ikUuwF4P2P2YBQAvYffaYriJOkULeyN0ci5ghUDROOOkhbuR7dbmojdaSQ/s400/Syair+Dunia+Maya.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5154634113851029682" border="0" /></a><br /><p style="margin-bottom: 0cm;"><span style="font-size:180%;"> Dunia Maya Sujiwo Tejo</span></p><br /><span style="font-family:georgia;"> Dalam sebuah blantika musik yang didikte oleh selera para produser, kita nyaris tak menemukan album musik yang berani melawan arus. Maka a</span><span style="color: rgb(255, 255, 255);font-family:georgia;" ><span style="font-size:85%;"><span style="font-size:100%;"><span style="color: rgb(0, 0, 0);">lbum terbaru Sujiwo Tejo, yang berjudul. <i>Syair Dunia Maya </i>( Eksotika Karmawibhangga Indonesia, 2005) bisa dipandang sebagai sebuah terobosan yang pantas dicatat dalam blantika musik pop kita. </span></span></span></span><p style="margin-bottom: 0cm;"> </p> <p style="text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;font-family:georgia;"><span style="color: rgb(255, 255, 255);"><span style="font-size:85%;"><span style="font-size:100%;"><span style="color: rgb(0, 0, 0);">Selain berisi sebelas lagu yang liriknya berbahasa Jawa, Kawi dan Madura ( dua lagu yang berbahasa Indonesia), Sujiwo juga merangkul beberapa musisi muda yang dikenal punya idealisme musik bagus, seperti basis Bintang Indiarto, harpis Maya Hasan, Henry Lamiri, Idang Rasyidi dan gitaris Dewa Bujana, juga merangkul pendatang baru berbakat seperti Ken Nala Amrytha, gadis cilik yang piawai menyanyi. Selain mencipta lagu, lirik dan menggarap aransemen semua lagu, dan menjadi ‘penyanyi kata-kata, Tejo juga menunjukkan kebolehannya memainkan cello, biola dan trombone.</span></span></span></span></p> <p style="margin-bottom: 0cm;font-family:georgia;"><span style="color: rgb(255, 255, 255);"><span style="color: rgb(0, 0, 0);"> <span style="font-size:85%;"><span style="font-size:100%;"> Tejo mengaku, bila album ketiganya ini, Syair Dunia Maya, disiapkan dengan matang. Ada berbagai revisi yang dilakukan saat menyiapkan album itu. Karena itu, waktu penggarapannya juga lama. Yang pasti, album ketiga Sujiwo berbeda dengan album-album sebelumnya. "Jadi, <i>kalo</i> mirip album satu dan kedua, ya mending saya <i>nggak</i> bikin album ini," katanya.</span></span></span></span></p> <p style="text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;">Ada sembilan lagu di album ini yang menggunakan bahasa Kawi. ''Bahasa Kawi itu indah, musikal. Banyaknya orang yang tidak paham bahasa Kawi justru bagus, supaya lagu-lagu ini diterima sebagai sebuah musik. Orang tidak harus mengerti apa yang dilafalkan dalam syair lagu, tetapi bisa menikmati suasana yang tercipta dari suatu lagu," tutur Tejo menyebutkan alasannya menggunakan lirik lagu berbahasa Kawi.</p> <h1 class="western"><span style="font-size:100%;"> Etnik Fusion</span> </h1> <p style="text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;">Pada lagu Tingkah-tingkah misalnya, bermula dengan intro unik dari gaya minimalis rock, lengkap dengan lenguhan pendek gitar listrik yang bluesy. Mungkin orang mengira bila nomor ini lagu yang dimainkan oleh Frank Zappa, andai vokal khas Sejiwo Tejo tidak melantunkan lirik yang memadukan bahasa Jawa dengan bahasa Kawi, “ Neja neko, kok sing kae kae, keh kang gyo den tanting, milang miling leh, mamilah milah aglaring pilihan, …”</p> <p style="text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;">Tak saja pilihan bahasa dan warna musik yang nampak unik, Tejo juga menunjukkan sikap yang serius sebagai seorang ‘pemusik kata-kata’. Pada lagu Saya dan Panakawan, dia mengolah kata-kata menjadi sebuah komposisi yang terdiri dari ‘alat musik paling purba’, yakni suara manusia. Sebagai seorang dalang, Tejo memiliki kemampuan dasar untuk mengolah suara manusia dalam berbagai ragam dan karakter bunyi. Nah , berbagai celotehan para punakawan; Semar, Gareng, Petruk, Bagong plus Togog dan Bilung, diolah Tejo menjadi komposisi a capella unisono yang menarik melalui teknik overdub. </p> <p style="text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;">Agaknya Sujiwo Tejo cukup jeli memilih gaya musik, yang dalam blantika musik dunia, dikenal sebagai genre musik etnik fusion. Genre yang kian merebak dalam blantika musik dunia ini, pengertiannya amat berbeda dengan istilah musik fusion, yang menyaran pada perpaduan antara musik jazz dengan rock atau disko, yang terjadi di tahun ’80-an. Genre musik etnik fusion yang satu ini lebih mengacu pada bentuk perkembangan selanjutnya dari musik new age, ketika unsur musik tradisional (<i>ethnic folk) </i>dipadukan dengan musik elektronik atau musik kontemporer saat ini. </p> <p style="text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;">Gaya etnik fusion sendiri sudah cukup lama mencuat ketika musisi jazz ternama seperti Tony Scott dan Don Cherry untuk pertama kali memadukan nuansa etnik world music dengan musik jazz. Para komposer minimalis seperti Terry Riley dan Philip Glass juga menggunakan pola nada dan struktur musik non-Barat menjadi bagian tersendiri dari komposisi musik yang mereka ciptakan. </p> <p style="text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;">Saat ini, musik etnik fusion dianggap sebagai sebuah gaya yang seksi, dan cukup favorit bagi para musisi untuk melakukan petualangan secara musikal, sekaligus memperluas gaya musik dengan melakukan penjelajahan untuk mencapai daya ucap musical yang tak terbatas. </p> <p style="text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;">Artis terkemuka yang meraih sukses dengan jenis musik ini cukup beken dalam blantika musik new age. Di antaranya adalah Clannad (pada gaya Celtic folk), Ottmar Liebert (flamenco), Kitaro ( melodi musik rakyat Jepang ) dan R. Carlos Nakai ( flute Indian Amerika ). Hingga tahun ’90-an, jejak sukses mereka diikuti oleh nama-nama yang lebih kontemporer seperti Enigma, Dead Can Dance, dan Deep Forest, yang meraih audien lebih luas dengan memadukan beat irama dansa, rekaman berbagai bebunyian (sampled field recordings) dengan pola bunyi musik etnis. Di tangan mereka, musik etnik fusion ini berubah menjadi bunyi yang enak sekali untuk ajojing..</p> <h1 class="western" style="font-family:georgia;"><span style="color: rgb(255, 255, 255);"><span style="font-size:85%;"><span style="font-size:100%;"><span style="color: rgb(0, 0, 0);"> Penafsir Perempuan<br /></span></span></span></span></h1> <p style="margin-bottom: 0cm;"><span style="color: rgb(255, 255, 255);"> <span style="font-family:Georgia,Book Antiqua,serif;"><span style="font-size:85%;"> </span></span></span> Tejo yang dilahirkan di Jember (1962) dengan nama Agus Hadi Sujiwo ini merupakan sosok yang unik dalam blantika kesenian kita. Setelah lulus ITB Jurusan Matematika (sarjana muda), dia melajutkan ke Jurusan Teknik Sipil. Kali ini tak diselesaikan karena dia lebih tertarik untuk menjadi wartawan Kompas sambil mendalang. <span style="color: rgb(255, 255, 255);"><span style="font-family:Georgia,Book Antiqua,serif;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:Times New Roman,serif;"><span style="color: rgb(0, 0, 0);">Dalang Edan ini </span></span></span></span></span></span>berusaha menghindari pola hitam putih dalam memainkan wayang.<span style="color: rgb(255, 255, 255);"><span style="font-family:Georgia,Book Antiqua,serif;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:Times New Roman,serif;"><span style="color: rgb(0, 0, 0);"> Rahwana ditampilkan bersuara halus, romantis, </span></span></span></span></span></span> Pandawa dibikinnya tidak selalu benar. Dengan wayang mbeling-nya, Tejo mendalang di banyak tempat, bahkan di rumah Gus Dur dan Mega, serta di Keraton Mangkunegaran, Solo. </p> <p style="text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;font-family:georgia;"><span style="color: rgb(255, 255, 255);"><span style="font-size:85%;"><span style="font-size:100%;"><span style="color: rgb(0, 0, 0);">Seniman berambut gondrong ini juga berusaha menafsirkan sendiri kaum perempuan di jagat pewayangan. Dewi Kunti, misalnya. Menurut pelantun lagu <i>Anyam-anyaman</i> ini, Dewi Kunti memiliki banyak suami. Ini lain dengan keyakinan yang menyatakan Kunti hanya mempunyai satu suami. Atau terkait cerita Dewi Sinta. Tejo menyatakan, Sinta sebenarnya ingin diculik Rahwana. Ini karena Sinta bosan pada suaminya, Rama. </span></span> </span></span> </p> <p style="margin-bottom: 0cm;"><span style="color: rgb(255, 255, 255);"><span style="font-family:Georgia,Book Antiqua,serif;"><span style="font-size:85%;"> </span></span></span> Ia bertemu dengan calon istri, Rosa Nurbaiti, kala menjaga ujian di Institut Teknologi Nasional, Bandung, tempat Rosa kuliah. Menikah pada 1989, dengan mas kawin unik : sebuah pertunjukan. Ini sempat ditolak oleh beberapa kiai, karena mas kawin harusberupa benda. Tapi Tejo tak kurang akal : seni pertunjukannya yang diberi judul Belok Kiri Jalan Terus dipotret, albumnya dijadikan mas kawin. Dari perkawinan itu, pasangan ini dikaruniai tiga anak. Si sulung bernama Rembulan Randu Dahlia, adiknya bernama Kennya Rizki Rionce. Sedang si bungsu, Jagat, tampaknya menyukai gamelan dan betah nonton wayang sampai dini hari, di saat kakak-kakaknya sudah tidur.</p> <p style="text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;">Tejo kemudian memutuskan meninggalkan dunia jurnalistik untuk hidup total sebagai seniman. Langkahnya dalam berkesenian semakin melebar saat dia membuat album musik Pada Sebuah Ranjang (1999), yang selain khas , ternyata juga cukup sukses di pasaran. Setelah merilis albumnya yang kedua, Pada Suatu Ketika (2000), dramawan, musisi dan penulis esai ini menggenapi profesinya sebagai seorang aktor. Akting Tejo yang kuat antara lain bisa ditonton dalam film Telegram dan film horor Kafir. (<span style="font-weight: bold;">Heru Emk</span>a ) </p> <p style="margin-bottom: 0cm;"><br /></p>Kajian Budaya Heru Emkahttp://www.blogger.com/profile/02078320332372397648noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5360952122397939131.post-1717787265836689202008-01-12T08:41:00.000-08:002008-01-12T08:45:57.735-08:00<p style="text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;"><span style="font-size: 20pt;font-size:180%;" ><b>Camera Lucida<br /></b></span></p><p style="text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;"><span style="font-size: 20pt;font-size:180%;" ><b>dan Kebenaran Ganda Foto Berita</b></span></p><p style="text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;"><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhfYoq1gnBJNshx1S5zVunmMgpkEIL-PdcFKit9rQUCHcARpNOQEqRT6MYWeq7oS18hftlpgoLHw7KU9GHEQ2H253zPK74dD5utXgQSGUA1K0e7SphXgFCZUEt1VYIV1sasUb2YgpLOuW0/s1600-h/11+september.JPG"><img style="cursor: pointer; width: 468px; height: 373px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhfYoq1gnBJNshx1S5zVunmMgpkEIL-PdcFKit9rQUCHcARpNOQEqRT6MYWeq7oS18hftlpgoLHw7KU9GHEQ2H253zPK74dD5utXgQSGUA1K0e7SphXgFCZUEt1VYIV1sasUb2YgpLOuW0/s400/11+september.JPG" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5154631661424703650" border="0" /></a></p><br /><p style="text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;">Banyak yang setuju setuju dengan Rolland Barthes, saat dia berkata bahwa gambar (foto berita ) sudah menjadi menu harian kita. Semiotika gambar selalu berhamburan dari berbagai media. Banyak dari semua ini yang merupakan pesan langsung (yang oleh Barthes diistilahkan sebagai ‘<i>a message without a code’</i> , di mana kita tak memiliki ruang untuk mempersoalkan hubungan antara foto dan realitas. </p> <p style="text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;">Foto keluarga misalnya, jelas mengingatkan kita pada situasi sebenarnya yang pernah hidup dan terjadi di masa silam. Foto jurnalistik seperti pengibaran bendera Merah Putih yang pertama di Pegangsaan, 1945, atau foto-foto ilmiah yang menunjukkan realitas dengan segala detilnya, semua ini adalah jenis khas dari fotografi indeksial, yang dalam sudut pandang kajian budaya merupakan referensi dan korespondensi ikonik antara penanda fotografi dan obyeknya. Semua memberi kesaksian bagi kebenaran dalam sebuah foto. </p> <p style="text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;">Walau begitu, apakah semua orang yakin bila kebenaran dalam fotografi kini tak utuh lagi ? Apakah foto Gus Dur yang sedang ‘memangku’ seorang perempuan – yang pernah menjadi isu hangat media massa – adalah realitas yang sebenarnya ? Bagi Barthes, obyek yang direferensikan mungkin dijelmakan dalam gambar, sehiangga pemirsanya sampai pada kesan yang ilusif (direkayasa ) dan terperdaya (<i>deceptive</i>). Atau dalam <i><b>Camera Lucida: Reflections on Photography</b>.</i> (London: Cape, 1980) <span style="color:#000000;">Roland Barthes </span>menyatakan “ <span style="color:#000000;"><i>The studium is the spectator's attraction, because of cultural background, interest, curiosity, to an image.” </i>Dan “ <i>unary" photographs (e.g., news photographs, war photographs, sociological photographs) as providing for the spectator of a lot of studium.</i></span></p> <p style="text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;">Kita pernah mengalami masa di mana sebuah foto dianggap mencerminkan kebenaran yang ada. Melihat foto karya Mendur Bersaudara yang menggambarkan seorang petani datang dan bersimpuh memeluk kaki Bung Karno misalnya, memang menggambarkan realitas yang sebenarnya : bahwa seorang petani bisa bertemu dengan seorang presiden yang benar-benar dekat dengan rakyat kecil. Terbuka, apa adanya. </p> <p style="text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;">Dengan perannya sebagai ‘duta kebenaran’, juru foto legendaris seperti Henri Cartier-Bresson memperlakukan kameranya tak ubahnya bagian dari eksistensinya. Dia dengan bangga menggambarkan kamera pertamanya, sebuah Leica (yang dibeli di Marseille di awal tahun ’30-an), sebagai ‘perluasan pandangan matanya’. Obyek yang dihasilkan Cartier melalui kameranya pun, membuat orang ikut menyaksikan jalannya sejarah, yang terjadi di tempat berbeda, di waktu berbeda : Pembebasan kota Paris dari Nazi, kekalahan kaum Nasionalis di Cina, pemakaman Gandhi, pembangunan Tembok Berlinm dan sebagainya. </p> <p style="text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;"><span style="color:#000000;">Menggenggam kebenaran dan menyajikan kenyataan pun kemudian menjadi pedoman tunggal bagi foto-foto berita hingga setengah abad kemudian. Sampai sebuah foto dimanipulasikan, sehingga unsur realitas dengan mudah bisa direkayasa. ‘Foto’ yang menunjukkan lokasi pabrik senjata pemusnah masal di Irak, yang dijadikan pembenaran serangan AS, adalah rekayasa canggih teknologi <i>digital imaging</i>. </span> </p> <p style="text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;"><span style="color:#000000;">Nyatalah bahwa kecemasan Barthesa dalam </span><i><b>Camera Lucida</b>, </i>bahwa foto berita juga rawan manipulasi, atau setidaknya dipermudah untuk menimbulkan berbagai bias penafsiran, terbukti. </p><br /> Sekarang foto berita bahkan bisa menghadirkan sebuah representasi yang paradoksal. Misalnya foto para serdadu AS yang sedang meneropong Meulaboh. Bukan ini juga mengundang penafsiran kontras dari kehadiran mereka sebagai penolong dalam bencana tsunami Aceh ? Jangan-jangan mereka meneropong bagian terlemah dari pertahanan kita. Bukankah ketua BIN sendiri menyatakan bila kehadiran pasukan asing itu memiliki agenda tersembunyi ? <p style="margin-bottom: 0cm;"> Manipulasi gambar fotografi ternyata berhasil mengecoh pemikiran banyak orang. Termasuk Umberto Eco, sang pemuka dalam pemikiran budaya pop kontemporer. Dalam <i>Semiotics and the philosophy of language</i> ( Bloomington: Indiana University Press, 1984, halaman 223), dia berpendapat bahwa foto tak pernah berdusta ("<i>photographs can lie</i>"). Dalam fotografi iklan misalnya, sebagai pengganti sebuah kebohongan, tersedia banyak metafora visual yang dibesar-besarkan, namun tak dianggap serius. </p> <p style="text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;">Nyatanya dalam foto berita – yang bahkan sengaja dibuat dengan niatan tertentu – selalu muncul <i>trick effect</i>. Bukankah foto para serdadu AS yang memondong anak korban tsunami di Aceh (foto sampul majalah <b><i>Time</i></b> di bulan Januari 2006),- menampilkan apa yang disebut Barthes sebagai <i>systems of signification</i> ? Ekspresi si prajurit AS yang ‘baik hati’ jelas merupakan <i>signification</i> (penciptaan tanda) yang amat kontras dengan keberingasan pasukan AS saat melantakkan kota Faluyah di Irak, misalnya. Inikah yang disebut sebagai kebenaran yang bermakna ganda, sebuah realitas paradoksal, yang oleh Barthes disebut sebagai ‘<i>real unreality’</i>.</p> <h1 class="western"><span style="font-size:100%;"> Butuh penafsiran beragam</span></h1> <p style="text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;">Mungkin yang selama ini luput dari pemikiran kita sebagai pemirsa awam foto berita adalah menafsirkan makna foto berita tidak secara tunggal. Marcia Eaton, dalam "<i>Truth in pictures</i>" (<b><i>Journal of aesthetics and art criticism</i></b> 39, 1980) berkata, “ Manipulasi foto berita yang diawali oleh CIA di tahun ’60-an, kini sudah menjadi wacana terselubung bagi kepentingan politis suatu pihak, baik itu negara, kelompok orang atau bahkan perusahaan besar yang berkuasa.” Foto jenasah Aldo Moro yang tewas ditembak kelompok Brigade Merah bahkan pernah menjadi bahan indoktrinasi kelompok kanan Italia, bagi kepentingan politik mereka.</p> <p style="margin-bottom: 0cm;"> Agaknya gagasan tentang perlunya multi tafsir bagi foto berita bisa menjadi sarana yang pas untuk mengapresiasi kondisi yang sebenarnya, dari apa yang ditampilkan oleh fotoberita itu sendiri. Foto yang merekam adegan dramatis dari penyerangan menara kembar Wolrd Trade Center yang sensasional tadi misalnya, menyimpan banyak tanda (<i>stock of signs</i> ) : Fakta yang mengacu pada begitu besar kebencian terhadap Amerika, atau strategi penyerangan teroris yang semakin canggih, atau fakta lainnya bahwa Amerika Serikat tak lebih cuma macan kertas , dengan pertahanan wilayah yang rapuh. Atau bahkan tak ada sebuah negara yang kebal serangan. </p> <p style="margin-bottom: 0cm;"> Walaupun foto ini diambil secara obyektif, murni lahir dari spontanitas seorang juru foto yang bersemangat mengabadikan peristiwa, seperti juru foto kondang lainnya (<span style="color:#000000;">Robert Capa, Sebastião Salgado atau </span>Henri Cartier-Bresson ), muncul banyak order bagi para fotografer Gedung Putih untuk menindak lanjuti foto dramatis ini dengan membidik ekspresi para korban, dan mempublikasikan kampanye global Amerika Serikat sebagai korban, yang kemudian menuntut keadilan, justru dengan menyerang Afganistan dan Irak. Ada begitu banyak foto yang sengaja di lansir ke berbagai media massa di AS, untuk mempersiapkan sebuah pembenaran bagi invasi mereka ke negara lain. Seperti dusta itu sendiri, foto yang dimanipulasikan hanya bisa tampil sebatas pesan-pesan visual yang digambarkan, namun tak berhubungan dengan kenyataan yang sebenarnya ( <b>Heru Emka</b>, peminat kajian budaya )</p> <p style="text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;"><br /></p>Kajian Budaya Heru Emkahttp://www.blogger.com/profile/02078320332372397648noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5360952122397939131.post-91996209533662097132008-01-12T08:23:00.000-08:002008-01-12T08:41:22.399-08:00<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhmV8iMkQgeX4nNMq0JngK6tvl9jqrHKwDTHk3o18caZNUh_tddmfd87hsKg6RgJtR1QCWDRYmGVZuyEGEUaglI4nAvzyRlfszjAKTRzuOSUfnCM4CLLk6bp5s3d5La1U709laCCLpIxfA/s1600-h/Silk+%26+cashmere+cropped+cardigan.JPG"><img style="margin: 0px auto 10px; display: block; text-align: center; cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhmV8iMkQgeX4nNMq0JngK6tvl9jqrHKwDTHk3o18caZNUh_tddmfd87hsKg6RgJtR1QCWDRYmGVZuyEGEUaglI4nAvzyRlfszjAKTRzuOSUfnCM4CLLk6bp5s3d5La1U709laCCLpIxfA/s400/Silk+%26+cashmere+cropped+cardigan.JPG" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5154630256970397842" border="0" /></a><b><span style="font-size: 20pt;font-size:180%;" >Kecantikan sebagai mantera abadi</span></b> <p style="margin-bottom: 0cm;"><span style="font-size: 20pt;font-size:180%;" ><b> </b></span></p> <p style="margin-bottom: 0cm;"><b><span style="font-size: 20pt;font-size:180%;" > </span></b> Dalam sebuah tayangan infotainmen, seorang presenter menanyakan alasan apakah yang membuat aktris BT mendadak tampil dengan wajah baru ? “ Bukankah dia sebelumnya sudah berwajah cantik ?” . “ Sebenarnya alasannya cukup sederhana. Perempuan kan selalu ingin tampil lebih cantik. Jadi apa salahnya <i>kalo</i> kita selalu berusaha mempercantik diri ? Kan yang melihat juga lebih senang kan ?,” jawab si artis yang bersangkutan.</p> <p style="margin-bottom: 0cm;"> Kecantikan, bagi siapa saja, selama ini memang menjadi semacam mantera abadi, yang tak pernah lekang pengaruhnya sejak awal peradaban manusia. Media <i>cyber</i> seperti Salon.com, dalam tajuk <i>special section</i>,- menampilkan artikel menarik tentang mitos keindahan para dewi kecantikan dari masa ke masa. Mulai dari Ratu Helena (<i>Helen of Troy</i>), Cleopatra hingga para selebritis belia Hollywood seperti Liv Tyler. </p> <p style="margin-bottom: 0cm;"> Ratu Helena yang secara sepihak dituding menjadi biang keladi pecahnya Perang Troya, menduduki peringkat pertama sebagai ‘perempuan tercantik didunia’, dengan dengan sorot mata indah yang ‘mengandung bius’, seperti digambarkan oleh pujangga Homerus. Ratu Mesir; Cleopatra, ada di peringkat kedua dengan resep istimewanya mandi susu plus madu, yang masih diadopsi oleh para perempuan sekarang ini. Posisi perempuan berikutnya yang dianggap membawa tren kecantikan adalah aktris tahun ’60-an; Raquel Welch, yang bentuk tubuhnya dianggap seindah Venus. Yang terakhir adalah citra dewi muda Hollywood : aktris Liv Tyler, yang dipandang mewakili kecantikan alami, jauh dari rekayasa fisik secara medis. </p> <p style="margin-bottom: 0cm;"> Menurut saya, yang menarik bukan apa atau siapa yang menghiasi galeri dewi kecantikan versi <i>Salon</i>, namun penjelasan bahwa definisi kecantikan telah bergeser maknanya, dari masa ke masa. Kecantikan yang semula dikagumi sebagai seni keindahan ( <i>art of beauty</i> , yang barangkali mewakili tahap pemikiran mitik ) bergeser sebagai ‘teknologi keindahan’ (<i>science of beauty</i>) yang mewujud lewat rekayasa kecantikan artifisial seperti bedah plastik, implan sel hidup atau terapi ozon dan sebagainya.Bagi para pendamba kecantikan, <i>‘science of beauty’</i> menjelma mantera baru, dengan ‘kuil’ yang baru : salon kecantikan yang ekslusif nan mewah, dengan peralatan moderen yang menggabungkan kemampuan medis rumah sakit spesial dengan kenyamanan pelayanan hotel berbintang lima.</p> <p style="margin-bottom: 0cm;"> </p> <h1 class="western"><span style="font-size:100%;"> Tubuh yang termodifikasi</span></h1> <p style="text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;">Tubuh menjadi obyek baru bagi senirupa kecantikan, obyek utama sebuah modifikasi atas nama estetika. Dalam <i>Body Modification</i> (Mike Featherstone, Thousand Oaks, London 2000 ) disebutkan secara jitu bahwa ‘tubuh manusia akhirnya menjelma menjadi berhala baru dalam sudut pandang studi kebudayaan’.(<span style="font-size:130%;"> </span><i>The human body is the new fetish of cultural studies</i>.)</p> <p style="text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;">Dalam antologi ini - menurut saya paling komprehensif untuk menjelaskan ‘hasrat’ dan ‘politik tubuh’- tak saja para feminis, namun juga psikoanalis, fenomenolog dan antropolog,- ikut mengembangkan teori yang tajam dan beragam tentang tubuh manusia. Menjadi cantik memang lebih menyenangkan (<em class="western">preferable)</em>. Menurut pemahaman aktris BT tadi, selama ini mereka yang cantik tak saja lebih mudah mendapatkan pasangan, namun juga pekerjaan, dan berbagai peluang dan kemudahan lainnya. Di sisi lain, konsep kecantikan sendiri telah direduksi oleh kepentingan kapitalisme. Versi kecantikan yang begitu beragam lalu diperas dalam sebuah defenisi yang seragam, versi kapitalisme perusahaan kosmetik atau lembaga yang merasa punya hak untuk menentukan wanita tercantik sedunia. Miss World, misalnya.</p> <p style="text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;">Masalahnya, haruskah ada kelompok tertentu yang punya legitimasi untuk menentukan kriteria kecantikan ? Dan bisakah kriterianya mewakili suatu obyektifitas ? Industri global yang menjadikan kecantikan dan keindahan tubuh sebagai isu panas, juga menunjukkan kecenderungan untuk bergerak secara homogen. </p> <h1 class="western"><span style="font-size:100%;"> Belenggu, candu</span></h1> Tokoh feminis postmodern seperti Julia Kristieva sendiri menganggap kecantikan sebagai rahmat sekaligus ‘kutukan’. “ Ada semacam belenggu kecanduan dalam konsep kecantikan, sehingga wanita tergoda untuk merantai dirinya dalam citra cantik, dan mengabaikan isu strategis lainya yang tak kalah penting dalam kehidupannya. Mereka menjadi boneka yang terantai dalam etalase kekaguman para pria,” ujarnya dalam <i>Desire in Language</i> ( Columbia University Press, 1982.<br /><br /> Saya memahami kegundahan feminis yang satu ini. Gairah para wanita untuk terus melakukan perombakan atas tubuhnya sendiri melalui berbagai upaya : bedah plastik, .<i>body piercing</i>, rekayasa prosthetik, proses <i>neural implants</i>, hingga metode pengobatan mutakhir nanoteknologi,- yang atas nama fashion dalam tahun-tahun terakhir ini, telah membuat mereka menjadikan tubuh sebagai tempat yang paling aktual untuk melakukan eksperimen.<br /><br /> “ Bila kecantikan menjadi mantera abadi, berikut mitos-mitos yang hampa dan tak relevan bagi aktualisasi diri, maka alangkah menderitanya tubuh wanita masa kini, “ begitu keluh Kathy Davis, dalam ' <i>"My Body is My Art": Cosmetic Surgery as Feminist Utopia'</i>. - <i>The European Journal of Women's Studies</i>. No 4: pp 23-37. (1997). Dan para korban mitos ini masih saja berjajar dalam jarak yang begitu panjang. Tak saja aktris BT yang mendadak saja muncul dengan bentuk hidung dan dagu yang berubah ( padahal wajah sebelumnya sudah cantik ) namun juga seorang ibu rumah tangga di sebuah kota kecamatan, seperti Mranggen, Demak. Pendapat tentang kecantikan kadang terasa begitu <i>absurd</i>, terutama bila kita berpikir bahwa kecerdasan, kearifan dan kelembutan perempuan juga merupakan kecantikan yang tiada tara …….<br /><p style="margin-left: 7.62cm; text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;">(<b>Heru Emka</b> – mitra perempuan )</p> <p style="text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;">. </p>Kajian Budaya Heru Emkahttp://www.blogger.com/profile/02078320332372397648noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5360952122397939131.post-14532394307748130252008-01-12T08:17:00.000-08:002008-01-12T08:22:53.390-08:00<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhyjjAWtOpS3AhxN7Sp2GqAFp7wNvm8Df6kdWjOkswzABe6YU0V6YzG7dCaS-mNZMUmz7igc7FXfgDSccvi9m8jw2qxDkA5-ei_96YoRJ0fVCAelFp-2cGCWx0BiztgvWK7YhM_BsNwWgM/s1600-h/OSCAR.JPG"><img style="margin: 0pt 0pt 10px 10px; float: right; cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhyjjAWtOpS3AhxN7Sp2GqAFp7wNvm8Df6kdWjOkswzABe6YU0V6YzG7dCaS-mNZMUmz7igc7FXfgDSccvi9m8jw2qxDkA5-ei_96YoRJ0fVCAelFp-2cGCWx0BiztgvWK7YhM_BsNwWgM/s400/OSCAR.JPG" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5154625923348396130" border="0" /></a><br /><p style="margin-bottom: 0cm;"><b><span style="font-size: 20pt;font-size:180%;" >Oscar yang tidak gemebyar</span></b></p> <p style="margin-bottom: 0cm;"><br /></p> <p style="margin-bottom: 0cm;"> Selama ini perhatian dunia bisa dibilang hanya tertuju pada pemenang Oscar untuk kategori mayor, yang selama ini dikenal sebagai Oscar yang penuh gebyar, seperti Oscar untuk aktor dan aktris terbaik, sutradara terbaik, penulis skenario terbaik, juru kamera terbaik dan beberapa lagi. Sedangkan Oscar untuk kategori minor, seperti tata rias terbaik, disain kostum terbaik, atau editor terbaik,- sepertinya luput dari perhatian publik. Padahal Oscar untuk kategori minor seperti ini bukanlah sekedar pengakuan atas prestasi mereka sebagai insan film, namun bisa berarti sebagai pendorong besar bagi perubahan hidup mereka. Pekerjaan menjadi lebih mudah bagi pekerja film yang pernah meraih Oscar.</p> <p style="text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;">Bagi nama beken seperti Tom Cruise atau Stephen Spielberg, meraih piala Oscar, mungkin bukan hal yang luar biasa. Sebelum meraih Oscar sebagai Sutradara Terbaik, Spielberg sudah lama kondang sebagai sutradara jempolan. Begitu juga dengan Tom Cruise, yang sudah termashur sebagai aktor papan atas, walau hingga sekarang dia belum pernah mendapat Oscar. Oscar bagi Tom Cruise mungkin hanya menambah sebuah masukan bagi curiculum vitae-nya : sebagai peraih Oscar. Nama mereka sudah lama berada dalam daftar nama beken yang diincar para produser untuk mendapat proyek film berbiaya besar. Bagi mereka, penyebabnya sudah jelas, bukan karena Oscar,- namun karena mereka memiliki nama besar.</p> <p style="text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;">Namun bagi Pietro Scalia misalnya ( nama yang mungkin belum pernah Anda dengar ) Oscar adalah sebuah pengakuan penting. Scalia, yang meraih Oscar untuk Editing Terbaik dalam film <i>JFK</i> (1993) tidaklah sekondang sutradaranya; Oliver Stone, atau aktor Oliver Stone,- pemeran utama dalam film ini. Pietro Scalia hanya seorang pekerja film yang mempertaruhkan kepiawaiannya dalam mengedit gambar. Dia bahkan tak punya agen, yang ‘menawarkan’ dia ke berbagai pihak , agar mendapat pekerjaan. </p> <p style="text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;">Dan lagi, <i>JFK</i> adalah proyeknya yang pertama yang editingnya dikerjakan sendiri. Editing Scalia dalam JFK memang jempolan. Dengan bagus, bahkan nyaris sempurna, dia menggabungkan film dokumenter dengan adegan buatan Oliver Stone. Namun bagi Hollywood, Scalia masih seorang editor kelas teri. Sampai dia meraih sebuah Oscar, dan pintu Hollywood mendadak terbuka lebar untuknya. </p> <p style="margin-bottom: 0cm;"> Tak cuma itu, nama Scalia juga melejit di negeri asalnya, Italia. Dampak yang paling menyenangkan adalah saat dia menerima sebuah telpon dari seorang produser di sana, yang mengabarkan bahwa sutradara kondang Bernardo Bertolucci, meminta kesediaan Scalia untuk menjadi editing dalam film yang sedang digarap oleh Bertolucci.</p> <p style="margin-bottom: 0cm;"> “ Saya nyaris tak percaya dengan kata-kata yang saya dengar, ‘Ada waktu untuk Bertolucci ?’ Ini sebuah kesempatan emas,” tutur Scalia, yang segera berkemas ke Nepal menyusul Bertolucci yang sedang menggarap film <i>Little Budha</i>. Scalia merasa, bila tak meraih Oscar, tak mungkin Bertulucci meliriknya. Scalia kemudian meraih Oscar yang kedua lewat film <i>Black Hawk Down</i>. Dua juga meraih nominasi lewat film <i>Good Will Hunting</i> dan <i>Gladiator</i>.</p> <p style="margin-bottom: 0cm;"> Oscar tak hanya bagi mereka yang baru merintis karir seperti Scalia, namun juga bagi Vilmos Zsigmond yang telah 20 tahun berkarir, saat dia meraih Oscar 1977 lewat film <i>Close Encounters of the Third Kind</i>, yang membuat dia mendapat julukan ‘<i>master of lights</i>’ di samping tawaran proyek film mahal yang semakins erring datang kepadanya. “ Ini membuat simpanan saya bertambah, walau sebenarnya saya lebih suka bekerja untuk proyek film indie, karena di situ saya bebas mengembangkan kreatifitas,” ujarnya.</p> <p style="margin-bottom: 0cm;"> Namun di satu sisi, para produser independen takut bila para peraih Oscar ini kemudian menaikkan tarifnya. Hal ini sudah dirasakan oleh para pekerja film yang pernah meraih Oscar. Lynn Barber – yang meraih Osdar 1990 sebagai Penata Rias Terbaik dalam film <i>Driving Miss Daisy </i>– terpaksa harus mondar mandir ke berbagai perusahaan film, untuk menyatakan bahwa tarifnya tidak naik. Soalnya, setelah dia meraih Oscar, malah tak ada tawaran kerja yang datang. Setelah para produser tahu bila dia tak menaikkan tarifnya, baru tawaran kerja mengalir. Bagi Lynn Barber, Oscar yang diraihnya bukan jenis Oscar yang penuh gebyar, seperti Oscar bagi aktor atau sutradara terbaik. Nyatanya Oscar yang diraihnya tak meningkatkan penghasilannya. Apalagi ada 1500 penata rias yang terdaftar di tempat tinggalnya. Dengan kata lain, persaingannya amat ketat. </p> <p style="margin-bottom: 0cm;"> Walau begitu Lynn Barber mengatakan, bahwa menerima Oscar amat menyenangkan. “ Ini membuktikan bila kemahiran seseorang mendapat pengakuan. Apalagi bil;a menyadari banyak penata rias yang jauh lebih senior, yang belum bisa meraih Oscar. Soal kemashiran dan konor yang melonjak, saya menyadari, bahwa di langit pun tak semua bintang bersinar terang kan ? ,” katanya pada <i>The Hollywood Reporter</i>.</p> <p style="margin-bottom: 0cm;"> Bruce Stambler, Penata Suara Terbaik dalam Oscar 1996, lewat film <i>The Ghost and the Darkness</i>,- juga tak berani menaikkan tarif setelah meraih Oscar. Kerja Srambler dalam film ini pantas mendapat acungan jempol, karena dia sukses menggabungkan rekaman auman singa dengan sosok singa elektronik dalam film yang menyerupai robot.</p> <p style="margin-bottom: 0cm;"> Baru dia tahun kemudian dia menaikkan tarifnya, itu pun hanya 15 persen. Dan lagi alasannya memang bukan karena Oscar. “ Selama dua tahun ini semua kebutuhan dan biaya hidup memang telah naik,” katanya. </p> <p style="margin-bottom: 0cm;"> Piala Oscar memang tak membuat para peraihnya otomatis menjadi kaya raya. Faktor ini tak saja berlaku bagi para peraih Oscar kategori minor seperti tadi, namun juga para aktris dan para aktor itama. Bila sebelumnya mereka tak punya nama beken, susah bagi mereka untuk berada dalam daftar jalur <i>box office</i>.</p> <p style="margin-bottom: 0cm;"> Walau begitu, Oscar tetap menjadi dambaan para insan film di seluruh dunia ( hal ini nampak dengan terus bertambahnya peserta manca negara yang ingin meraih Oscar dalam kategori Film Berbahasa Asing Terbaik ). Bruce Stambler menganggap Oscar cukup penting, sebagai pengakuan atas pekerjaan dan reputasinya. “ Saya tak bisa melupakan saat menjadi pemenang Oscar. Nama-nama beken yang selama ini Cuma saya dengar atau saya baca di koran, menelpon, mengucapkan selamat. Spielberg dan Michael Douglas menelpon saya. Saya masih menyimpan rekaman suaranya,” katanya senang.</p> <p style="margin-bottom: 0cm;"> Namun toh ada kemungkinan lain, berlalu dalam sunyi. Oscar 2001 yang diraih Marcia Gay Harden untuk Aktris Pembantu Terbaik dalam film <i>Pollock</i>, tak memberi kesan apa-apa. Saat itu dia mengira banyak sambutan menyenangkan dari kalangan Hollywood dan media massa. “ Ternyata semua berlalu seperti hari-hari sebelumnya. Tak ada gemerlapnya sedikitpun,” tuturnya. Ternyata benar bila pepatah mengatakan, di balik sinar matahari ada cahaya yang suram. Dan rasanya benar, bila bintang pun tak selalu bersinar terang.<br /></p><p style="margin-bottom: 0cm;"> (<b>Heru Emka</b> )</p> <p style="margin-bottom: 0cm;"> </p>Kajian Budaya Heru Emkahttp://www.blogger.com/profile/02078320332372397648noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5360952122397939131.post-77112924386107130652008-01-12T08:11:00.000-08:002008-01-12T08:17:23.794-08:00<h2 class="western" style="text-indent: 1.27cm; text-align: left;"><span style="font-size:180%;">Sushi nan ‘seksi’</span></h2><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgpC_62UailRwTWNpNzJLE1O1zaFlFuWE6otP9eWbH2G5k6Ik20KRISlw_P7_eZzIGTXufZWsOQFU_iZq5fVHztcEaAGZsL6eMugLu3FpAyYHqi7-MoVvEpW5eLujR9fu3ARSawW8VTCDM/s1600-h/sushi-bar-sushi.JPG"><img style="cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgpC_62UailRwTWNpNzJLE1O1zaFlFuWE6otP9eWbH2G5k6Ik20KRISlw_P7_eZzIGTXufZWsOQFU_iZq5fVHztcEaAGZsL6eMugLu3FpAyYHqi7-MoVvEpW5eLujR9fu3ARSawW8VTCDM/s400/sushi-bar-sushi.JPG" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5154624304145725522" border="0" /></a><p style="margin-bottom: 0cm;"><br /></p> Sejak melihat berbagai jenis sushi yang terpajang cantik dalam display kaca di sebuah resto Jepang di Plaza Indonesia, tiga tahun silam, saya jadi berpikir bila makanan khas Jepang yang indah mungil ini mungkin lebih tepat dijadikan pajangan, daripada menjadi isi perut pengganjal lapar. Tapi bagaimana rasanya menelan daging ikan mentah yang cuma dicelup saos cuka dan dicocol sambal (<i>wasabi</i> ) ? . Rasa penasaran yang cukup kampungan inilah yang membuat saya bergabung dengan milis Jalansutra-nya mas Bondan Winarno, dan tanya sana-sini tentang sushi, dengan anggota milis ini yang hampir semuanya penggemar makanan enak. <p style="margin-bottom: 0cm;"> Dari mereka saya mendapat gambaran, walau sushi menyajikan sayatan daging ikan mentah, namun rasanya cukup nyaman bagi lidah Indonesia. Cuma, bila sushi itu di dapatkan di restoran Jepang kecil (apalagi restoran cepat saji), maka yang kita dapatkan adalah sushi yang masih menyisakan bau amis ikan. Saran teman Jalansutra ini membuat saya berpikir; apakah sushi yang enak hanya bisa didapat di restoran mahal ? Dan yang ini jelas tidak ‘menyehatkan’ kantong saya. Maka saya pun melupakan hasrat menyantap sushi yang benar-benar unggul dalam rasa dan rupa. </p> <p style="text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;">Teman Jalansutra tadi mereferensikan Sushi Sei sebagai restoran sushi yang cukup ekslusif. Namun <i>Jakarta Food Guide</i> menyebutkan bila restoren Jepang di kawasan Plaza Senayan ini tergolong high class, dengan harga yang disepadankan nilai dolar. Walau bung Nirwento, menyarankan,” menu andalan mereka, hotategai dan ikura pantas dicoba,- saya melupakannya dengan alasan yang cukup provokatif : sajian mereka bukan untuk orang kelas bawahan seperti saya.</p> <p style="text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;">Namun saat saya ditraktir seorang teman nonton pagelaran Megalitikum Kuantum di Jakarta, bulan lalu, hasrat untuk menikmati sushi mahalan muncul lagi. “ Mas Heru suka <span style="font-style: italic;">sushi</span> ? Besok malam kita cari sushi ya, ada kok yang enak,” kata mas Edwin - sahabat <i>cyber</i> saya sejak empat tahun silam di milis penggemar <span style="font-style: italic;">progressive rock</span>; sepulang nonton pagelaran musik megah itu.</p> <p style="text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;">Besok malamnya, mas Edwin sudah menjemput saya. Eksekutif muda yang tergila-gila dengan musik <span style="font-style: italic;">progresif rock</span> ini ( dia punya <i>CD limited edition</i> Jehtro Tull yang harganya sekitar lima juta rupiah – dan di audio room-nya, saya melihat sederetan CD langka dan mahal seperti itu) menuju Sushi Sei di Plaza Senayan, yang terletak di belakang bioskop kelas atas milik Ram Punjabi. Namun nampaknya resto Jepang ini sedang <i>full booked</i>. Mas Edwin melajukan Peugeot 807-nya ke Jalan Kemang Raya, dan berhenti di depan Aozora Sushi Lounge. </p> <p style="text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;">Terus terang perasaan kampungan saya muncul lagi, saat dalam hati saya bergumam,” <i>What a felling</i> ?”. Beda dengan suasana di Sushi Sei yangt nampak formal, atmosfir Aozora terasa akrab dan romantis, atau istilah para <i>hang out fans</i>; ‘ <i>cozy</i> bangeet!’. Bunyi piano mengalunkan melodi lagu <i>Misty</i>, yang diciptakan Errol Garner. Mengalun nyaman di telinga. Ternyata sushinya – terutama <span style="color: rgb(0, 0, 0);"><i>nigiri zushi</i> dan <span style="font-style: italic;">California Roll </span>– memang empuk dan lezat. Sayatan daging tuna yang berwarna putih lembut itu terasa di lidah seperti daging kelapa muda yang manis-manis gurih. Yah, sepadan dengan harganya, yang 350 ribuan untuk empat potong sushi dengan variasi irisan daging <i>maguro</i> (tuna,) <i>Anago</i> (sejenis belut ), <i>Eb</i>i (udang) dan <i>Ika</i> (cumi cumi). </span> </p> <p style="text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;"><span style="color: rgb(0, 0, 0);">Bung Edwin menyarankan untuk pertama kali mencoba <i>sashimi</i>, sebagai perkenalan awal dengan berbagai menu sushi. Setelah oke, baru kemudian mencicipi <i>unagi</i> (belut) atau <i>maki</i> (kerang-kerangan). Namun jangan sekali-kali mencoba memesan fugu ( ikan buntal yang beracun ). Apakah restoran sushi di sini juga menjual menu yang selain enak juga mematikan ini ? Yang lainnya saya menetujui bung Edwin, bahwa sushi menawarkan rasa, warna, aroma yang eksotis. Rempah Jepang yang dipakai kan berbeda dengan rempah di dapur ibu kita , kan ? </span> </p> <p style="text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;"><span style="color: rgb(0, 0, 0);">Bila malam itu, di </span>Aozora saya melihat banyak orang bule pun asyik menikmati sushi, wajar saja, karena su<span style="color: rgb(0, 0, 0);">shi sekarang kini menjadi makanan Jepang yang paling tenar di dunia. Seperti mobil dan benda elektronik Jepang lainnya, sushi ‘menyerbu’ Amerika di awal tahun ’70-an. Dalam waktu singkat terdapat sekitar 5000 restoran sushi di seantero AS. Setahunnya tak kurang dari 380 ribu dolar dibelanjakan untuk membeli rumput laut, bahan pembungkus nasi sushi. Perkiraan penghasilan yang diraup dari penjualan sushi, bisa berlipat dua puluh lima kali dari jumlah uang tadi. Tak heran bila </span><span style="font-style: italic;">The Chicago Tribune</span> (edisi 16 Februari 2000) menurunkan laporan utama yang berjudul ; "<i>Sushi savvy, unwrapping the mysteries of one of Japan's most popular culinary exports</i>."</p> <p style="margin-bottom: 0cm;"> </p> <h1 class="western"><span style="font-size:100%;"> Menyenangkan untuk dipandang dan dipikirkan</span></h1> <p style="text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;">Mary Douglas, dalam bukunya; <i>Food and Social Order</i> (New York 1984) bahwa makanan, selain menjadi sarana pertahanan hidup utama manusia, juga merupakan sebuah domain budaya, yang secara rumit dijabarkan dalam sistem makna yang komplek. Tak heran bila Claude Levy Strauss pun menegaskan, bahwa makanan tak hanya ‘menyenangkan untuk dimakan’, namun juga ‘menyenangkan untuk dipikirkan’. Pendapat Strauss ini benar 100 persen bila dihadapkan pada realitas sushi sebagai hidangan yang <i>fashionable</i>. Tersaji dalam bentuk mungil, rapi dan ‘menyegarkan pandangan’ (<i>catching eye</i>). Rata-rata penampilan sushi jauh lebih ‘seksi’ daripada berbagai hidangan ikan kita, yang dari waktu ke waktu masih disajikan dalam bentuk yang masih seperti dulu. </p> <p style="text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;">Sejarah kebudayaan memang membuktikan bila makanan tak saja memanipulasi kita (secara fisik) dengan hasrat untuk makan enak, namun juga memanipulasi kita (secara intelektual) untuk selalu menciptakan berbagai metafora yang selalu meneguhkan eksistensi makanan dalam kehidupan kita. Misalnya konsep hidangan ristafel dalam gaya boga kolonial dulu. Uniknya, sifat yang menyatukan dari makanan ( lebih enak bila dinikmati bareng) membuat makanan cukup penting sebagai simbol sosial, bahkan tak jarang disakralkan ( misalnya kue apem, yang sehari-harinya tergolong sebagai jajan pasar, dalam ritual Jaqowiyyu di Klaten, memiliki citra sebagai ‘benda bertuah’ yang bisa membuat orang awet muda, atau dagangannya laris dan sebagainya)</p> <p style="text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;">Secara tradisional, sushi juga memiliki kaitan dengan filsafat Zen, di mana segala hal dalam kehidupan, termasuk makan, harus menyertakan unsur harmoni. Karena itu, konon sushi dibuat dalam ukuran mungil, karena tidak disajikan bagi orang kelaparan, namun orang yang bisa menahan diri, dan mampu menggenggam harmoni. Karena itu, bentuknya harus indah, rasanya harus enak, walau sepenuhnya terbuat dari bahan makanan alami. </p> <p style="text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;">Namun saya lebih berpikir bahwa orang Jepang sekarang menjaga citra eksotik sushi karena faktor ekonomi, sebagai komoditas ekspor global, tak ubahnya dengan Coca Cola bagi Amerika. Dan lagi, menurut <i>Global Sushi Guide</i>, tempat yang direferensikan sebagai restoran sushi terenak di dunia, tak lagi berada di Jepang, namun di Los Angeles, AS. Di restoran Los Angeles Dodger, Hideo Nomo - koki sushi yang legendaris – mjemperagakan superioritas masakan tradisional Jepang, dengan gaya dan selera yang disesuaikan dengan lidah para orang kaya sedunia. ( <b>Heru Emka</b> ) </p>Kajian Budaya Heru Emkahttp://www.blogger.com/profile/02078320332372397648noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5360952122397939131.post-3975828081835351652008-01-12T07:57:00.000-08:002008-01-12T08:09:30.423-08:00<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiHqwM49HTDC6a7FG2qDqoFR5ZP0DluqTaoF0wlpF1ThbjSYO_9tyMPQYdrBL0q6ADjsmyC873TAw7otNosasLTfrl7EWZ4fIiNWcAZzwKyjW698x-WcmAALX2tTXDcj5eStjg-SPzK3qk/s1600-h/agnes+Monica.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiHqwM49HTDC6a7FG2qDqoFR5ZP0DluqTaoF0wlpF1ThbjSYO_9tyMPQYdrBL0q6ADjsmyC873TAw7otNosasLTfrl7EWZ4fIiNWcAZzwKyjW698x-WcmAALX2tTXDcj5eStjg-SPzK3qk/s400/agnes+Monica.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5154622826676975682" border="0" /></a><br /><br /><h2 class="western"><span style="font-size:130%;"> Musik Pop Indonesia</span></h2> <p class="western" style="font-style: normal;" align="left"> <b><span style="font-size:180%;"> “ Musik, gaya hidup, fashion dan identitasnya“</span></b></p> <p class="western" style="font-style: normal;" align="left"><br /></p> <p class="western" style="font-style: normal;" align="left"> </p> <p class="western" style="margin-left: 1.27cm;" align="left">“ Living in the limelight<br />The universal dream<br />For those who wish to seem. “</p> <h2 class="western"><span style="font-size:100%;"> - Rush, <i>Limelight</i></span></h2> Setiap kali kita berbicara tentang musik pop (di) Indonesia, kita tak bisa memisahkannya dengan gaya hidup. Bukan saja musik pop, seperti yang diduga oleh banyak orang – menjadi bagian dari gaya hidup kaum muda di perkotaan, namun lebih jauh lagi musik pop sudah dianggap sebagai gaya hidup itu sendiri. Artinya, untuk menikmati gaya hidup <i>heavy metal</i> , anak muda di berbagai kota kecil di Jawa Tengah (misalnya Kendal, Kaliwungu, Batang dan sebagainya ) cukup mengadopsinya dengan memanjangkan rambut, mengenakan kaos hitam berhias sablon bintang metal seperti metallica dan sebagainya, sambil tentu saja mendengarkan musik gfaduh riuh itu sesering mungkin. <p style="text-indent: 1.27cm; font-style: normal;" align="left">Untuk mencebur dalam budaya <i>J-Pop</i>, tak harus mejeng di kawasan <span style="font-style: italic;">Harayuku Street</span> di Jepang sana, namun cukup dengan segenap mengenakan fashion gaya ‘tabrak lari’ yang memadu semua unsur fashion secara kontras dan naïf. Seperti apa yang dikenakan sebagai kostum panggung duo cantik Ratu. Gaya hidup <i>hip-hop girl </i>yang serba seksi lengkap dengan irama -dansa ala Britney Spears berikut gaya fashion mereka yang serba terbuka dan seksi, juga bukan hal yang baru bagi para gadis muda kita, dengan idola mereka; Agnes Monica,- yang akhir-akhir ini dilanda hasrat untuk bisa go <i>international</i>. Di samping itu, kita tahu gaya yang cenderung ‘bohemian’, suka-suka gua dengan wacana pemikiran yang kritis pada beberapa masalah sosial, juga menjadi ‘prinsip’ para pecinta berat Iwan Fals. </p> <p style="text-indent: 1.27cm; font-style: normal;" align="left">Semua ini menunjukkan bahwa musik pop (di) Indonesia kini bukan lagi tampil sebagai sekedar produk budaya pop, yang bermula dari faktor kebutuhan dan pemenuhan ( Di AS bermula dari adanya radio yang butuh materi musik untuk disiarkan, lalu ada perusahaan rekaman yang merekam penyanyi baru, setelah disiarkan jadi beken, diminta manggung di mana-mana, dan menciptakan peluang bagi industri musik untuk memenuhi kebutuhan itu ), namun sudah terkomodifisakisan sedemikian rupa, dari luar-dalam, hingga menjadi seuatu keniscayaan yang tak bisa dilewatkan dalam kehidupan kaum muda kita. </p> <p class="western" style="text-indent: 1.27cm; font-style: normal;" align="left"><br /></p> <p class="western" style="text-indent: 1.27cm; font-style: normal;" align="left"> <b>Realitas pop yang artifisial </b> </p> <p class="western" style="text-indent: 1.27cm; font-style: normal;" align="left"> Hugh Mackay, pada bab <i>Introduction</i>, dalam bukunya tentang kajian gaya hidup dan budaya pop yang cukup berpengaruh ( berjudul <i>Consumption and Everyday Life</i>), menjelaskan setidaknya ada tiga hal yang bisa kita jadikan sebagai cirri atau penanda bagi redefinisi budaya pop dan maknanya dalam kehidupan sehari-hari, yakni : <i>waste/use up</i> ( apa yang masih ngetren atau apa yang sudah ‘nggak’ musim ), <i>pleasure </i>( sejauh mana lagu pop cukup asyik dinikmati ) <i>, everyday practice </i>( kaitan dengan pengalaman hidup sehari-hari. Misalnya lirik lagu SMS-nya Trio Macan yang akrab dengan gejala SMS-mania di kalangan anak muda ) dan faktor lain yang cukup terkait, yakni <i>related to our identity</i><b> </b>( warna musik atau makna lirik yang dianggap mewakili citra dan hasrat seseorang secara personal ).</p> <p class="western" style="text-indent: 1.27cm; font-style: normal;" align="left"> Karena itu eksistensi musik pop tak bisa dipisahkan dari gaya hidup dan fashion, sebagai ‘habitat alami’nya. Bahkan keberadaan dua unsur lain itu, gaya hidup dan fashion, akhirnya menjadi satu bagian tak terpisahkan ( istilah ngepopnya satu paket ) sebagai sebuah produk kultur modernisme, dengan segenap bentuk komodifikasinya, yang di era cybernetik ini justru semakin menjadi-jadi.</p> <p class="western" style="text-indent: 1.27cm; font-style: normal;" align="left"> Konsep pasar musik misalnya, ikut berubah. Bila sebelumnya jaringan pasar musik adalah gerai toko kaset dan berbagai outlet lainnya, dengan produk jadi berupa album kaset atau cakram CD, kini bisnis <i>cyber</i> seperti <i>download</i> lagu dan <i>ring tone</i> menjadi kenyataan pasar yang sebelumnya tak terbayangkan. Artinya citra selebritis yang sebelumnya sudah melebar ke layar kaca ( sesuatu yang bisa dinikmati secara <i>un-real</i>) malah semakin berpotensi untuk menjadi <i>hyper-real</i>. Para Slanker semakin merasa akrab sebagai bagian dari komunitas musik grup Slank secara ‘personal’, karena setiap saat mereka bisa ‘terkoneksi’ dengan Slank atau para personilnya dengan mengakses lewat cara tertentu pada perangkat ponsel. Para pecinta musik pop (di) Indonesia bisa setiap saat menimati lagu, video klip, <i>wall paper</i>, foto-foto, bahkan ‘ngobrol’ dengan bintang idolanya. Bukankah ini merupakan suatu kelebihan yang tak ada sebelumnya. Begitu nyata, sekaligus begitu artifisial. </p> <p class="western" style="text-indent: 1.27cm; font-style: normal;" align="left"> Jadi, bila bicara soal gaya hidup atau sisi <i>fashioning</i> budaya pop, saya setuju dengan pandangan John Fiske tentang Madonna. Dalam bukunya; <i>Understanding Popular Culture</i>. (New York: Routledge, 1989.),- Fiske menyebutkan bila sukses Madonna menjadi <i>diva</i> musik pop dunia berkaitan erat dengan pendekatan para kapitalis lelaki untuk mengolah semua peluang bisnis yang bisa ditangguk dari sisi seksual dan keperempuanan Madonna. (<i>Madonna as the product of </i><span style="color: rgb(255, 102, 0);"><span style="text-decoration: none;"><span style="font-family:Verdana,sans-serif;"><span style="font-size:85%;"><a class="western" href="javascript:parent.remoteStart('../popups/patriarchy.html')"><u><i><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:Times New Roman,serif;"><span style="color: rgb(0, 0, 0);">patriarchal</span></span></span></i></u></a></span></span></span></span><i><u> </u>capitalism… shows the typically exploitative approach of the capitalist pop music industry, exploitative of both her and her teenage girl fans</i> ). Dengan demikian, secara tidak langsung, para fans Madonna, bagi Fiske merupakan semacam <i>‘cultural dopes’ </i>. Mereka (harus) ada, dan bila perlu diciptakan sebagai pendorong si artis untuk mencapai puncak perhatian. Untuk itu sang artis berusaha untuk memenuhi apa yang diinginkan para pemujanya. </p> <h2 style="font-weight: normal;" class="western"><span style=""><span style="font-size:100%;"> Bila secara fisik mereka tak bisa hadir setiap saat di antara pemujanya, kini mereka melakukannya secara virtual. Ruang cyber telah menginvasi ruang yang nyata ( <i>perceptual space</i>), di sisi lain tubuh sang artis berkembang menjadi ‘tubuh-media’, mungkin sekali di-klon setiap saat, dengan berbagai cara. Maka jelaslah kutipan sebait lirik lagu dari Rush yang saya tampilkan di atas tadi. Kenikmatan mendapat sorotan lampu popularita tak saja dirasakan oleh si artis, namun juga para penggemarnya yang secara komunal menikmati impian yang didambakan. Bagi si artis, jadi ternama karena banyak pemuja. Bagi si pemuja, merasakan keasyikan (<i>pleasure</i>) karena menjadi bagian dari kemashuran pujaannya. . </span></span> </h2> <p class="western" style="text-indent: 1.27cm; font-style: normal;" align="left"> Maka budaya musik pop (di) Indonesia sama pekatnya dengan lumpur budaya komersial di kancah global. Soal gaya hidup, fashion, bahkan identitas kluturalnya pun tak bisa dipilah-pilah secara sepihak. Misalnya, jawablah pertanyaan ini : Adakah musik pop yang sepenuhnya berwajah Indonesia ? Ubiet pernah berupaya ketika merekam albumnya yang berjudul <span style="font-style: italic;">Archipelagongs</span>. Niat bagus yang sayangnya tak pernah menjadi bagian dari <i>mainstream</i> musik pop (di Indonesia. Agnes Monica dengan album terakhirnya <i>Waddup A ?</i> lebih bicara dalam idiom musik pop kita. Inilah lingkungan lumpur budaya yang membuat kita setengah mati berenang mencapai air jernih. Dalam budaya hype ini, selebriti memang menjadi penguasa. Taak heran bila kadang ada yang merasa tolol sendiri, seperti Nirvana dalam lagu ini : “ <i>I feel stupid and contagious<br /> Here we are now, entertain us.” ( <b>Smells Like Teen Spirit</b> )</i></p> <p class="western" style="font-style: normal;" align="left"> - <b>Heru Emka</b>, pengamat musik dan pekerja seni -</p>Kajian Budaya Heru Emkahttp://www.blogger.com/profile/02078320332372397648noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5360952122397939131.post-45051264255256026902008-01-12T07:06:00.000-08:002008-01-12T07:28:19.717-08:00<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiviD0KxH8yUCl8UFgqv9xGX-_jbcEi8McxEmVQ27u6u3juyfsfZaGJpZP-wSauLoSxoFhX9ks-gMpWBlOWquQvOjQ4T3PmrbPVOzyJKqXhjTx2BTURXoOv19zIFJCQy8cL_xXUEuY5BAk/s1600-h/CHOMSKY.JPG"><img style="margin: 0px auto 10px; display: block; text-align: center; cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiviD0KxH8yUCl8UFgqv9xGX-_jbcEi8McxEmVQ27u6u3juyfsfZaGJpZP-wSauLoSxoFhX9ks-gMpWBlOWquQvOjQ4T3PmrbPVOzyJKqXhjTx2BTURXoOv19zIFJCQy8cL_xXUEuY5BAk/s400/CHOMSKY.JPG" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5154607360499742738" border="0" /></a><br /> <h1 class="western"> Pemberontakan Noam Chomsky</h1> <p style="text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;">Blantika perfilman dunia kini makin disemarakkan oleh kehadiran film-film dokumenter yang digarap secara tematik, dan diistilahkan sebagai film <i>docu-drama</i>. Terutama sejak film docu-drama garapan Michael Moore; <i>Fahrenheit 9/11</i> tampil sebagai pemenang Festival Film Cannes 2004. Sejak menyaksikan kebolehan Michael Moore mengumpulkan seabreg gambar dokumenter yang menampilkan berbagai fakta dan blunder tersembunyi di balik peristiwa 11 September, saya amat terpikat untuk mencari film docu-drama lainnya. </p> <p style="text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;">Film dokumenter ternyata telah berkembang tak lagi sekedar menjadi komunitas tersendiri. Kehadiran gaya <i>docu-drama</i> ini membuat genre film dokumenter tampil lebih unik. Bahkan Fahrenheit 9/11 berhasil menciptakan rekor tersendiri : diputar di gedung bioskop dan laris manis tak ubahnya sebuah film cerita garapan Hollywood. Jenisnya juga amat beragam. Mulai dari upaya merekonstruksi kebenaran fakta tewasnya tokoh pemberontak Che Guevara ( <i>The Last Hour of Che Guevara</i> ), upaya memahami makna sosial historis keterlibatan AS dalam Perang Pasifik ( <i>Price for Peace</i>), menyelami dunia pelacuran anak di India ( <i>Born into Brothels</i> ), hingga kisah perjuangan penguin jantan untuk meneruskan garis keturunannya (<i>March of the Penguins</i> ). </p> <p style="text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;">Namun yang paling menarik perhatian saya adalah <b><i>Noam Chomsky : Rebel Without a Pause,</i> </b>sebuah<b> </b><i>docu-drama</i> tentang Noam Chomsky, cendekiawan kritis yang dikenal dengan ucapannya yang blak-blakan yang kritikan pedasnya terhadap berbagai kebijakan AS sering memerahkan telinga para petinggi di Gedung Putih. Film yang beredar dalam format DVD ini bukanlah film biografi ala Hollywood (<i>biopict</i>) yang diwarnai romantisme tentang kehidupan tokoh yang dikisahkan. <i>Noam Chomsky : Rebel Without a Pause</i> yang digarap oleh sutradara Will Pascoe ini adalah dokumentasi langsung dari serangkaian wawancara, liputan ceramah dan kuliah Chomsky serta komentar beberapa orang yang mengenalnya, termasuk Carol Chomsky, isterinya,- yang membeberkan seluk beluk kehidupan Chomsky sehari-hari.<br /> <span style="font-family: georgia;font-family:Times, Times New Roman, serif;" ><span style="font-size:100%;">Noam Chomsky saat ini dikenal sebagai cendekiawan terkemuka, perintis iolmu linguistik modern, seorang filsuf, analis sosial-politik, kritikus media yang tajam, penulis lebih dari 70 buku, pemenang beberapa anygerah dan penghargaan ilmiah. Bahkan para pengagumnya menjajarkan Chomsky dengan Marx, Shakespeare. Buku yang ditulis oleh profesor di MIT ini pun tergolong dalam 10 buku humanisme yang paling sering dikutip. Dia juga dipujikan sebagai </span></span><i style="font-family: georgia;">"one of the world's leading voices of dissent."</i> Karenanya dokumentari tentang Chomsky dan berbagai makna histories penting dari era paska serangan 11 September, yang menjurus pada Perang Irak, jadi bagian yang menarik untuk disimak. </p> <p style="text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;">Karya Chomsky sendiri sepertinya belum banyak dikenal di sini. Namun saya cukup terkesan dengan beberapa ucapannya yang dengan tajam menyindir kapitalisme AS yang semakin rakus, misalnya; <i>“ If I'm analyzing capitalism and I point out that General Motors tries to maximize profit, that's not a conspiracy theory. That's analysis</i>.”<br /></p> <p style="margin-bottom: 0cm;"> Sutradara Will Pascoe memberikan pernyataan tersendiri, tentang kenapa dia membuat film Chomsky yang lain ? Pertama, menurut Pacoe,- gagasan politik Chomsky belum tersebar secara luas. Kedua, sutradara ini ingin memahami kenapa pikiran Chomsky masih seperti saat dia berada di pertangtahan tahun ’70-an, di mana dia mengkritik banyak kebijakan AS yang salah kaprah. Pascoe menjelaskan bila dia ingin mendokumentasikan pemikiran yang menonjolkan isu-isu dunia, langsung dari cendekiawan yang merasa terlibat, sementara sebagian besar cendekiawan lain memilih bungkam seribu bahasa. </p> <p style="margin-bottom: 0cm; font-family: georgia;"> Untuk itu Pascoe dan awak filmnya rela mengikuti Chomsky, yang sepanjang Nopember 2002 melakukan kuliah keliling di Kanada. Karena itu, dalam film docu-drama ini, walau pemikiran dan kritikan Chomsky cukup tajam, nampak disampaikan dalam gaya yang santai dan akrab, suasana ruang kuliah yang sejuk atau auditorium ilmiah (<span style="font-size:100%;"><i>lecture halls</i></span> ) yang padat pendengar.<span style="font-size:100%;"> Di sini nampak betapa Chomsky dengan sabar membeberkan analisisnya, memberikan jawaban jitu pada pertanyaan-pertanyaan yang menguji analisisnya. Tentang menipulasi media, hasratnya menbgkritik kekuasaan, turingan tentang akar sentimen anti-Amerika, serta penekanan pentingnya aktifitas sosial sebagai penyeimbang pemerintah dan pengawas demokrasi ( <i>the need for social activism to maintain a balanced and genuine democracy</i> )</span></p> <p style="margin-bottom: 0cm; font-family: georgia;"><span style="font-size:100%;"> </span><i> The New York Times</i> menyebut Chomsky sebagai ‘intelektual terpenting saat ini’ (<span style="font-size:100%;"> <i>the most important intellectual alive</i> ) saat dia bicara blak-blakan soal serangan 11 September, perang AS melawan terorisme, manipulasi media massa, perang Irak dan berbagai peristiwa sosial yang melibatkan pemerintah AS. Keberanian Chomsky untuk mengkritik kebijakan pemerintah AS secara terbuka bahkan dianggap sebagai kibaran bendera pemberontakannya sebagai seorang ilmuwan. Dan ini dimulai sejak dia menilai sikap AS yang menjadi provokator agar Indonesia menyerang Timor Timur.</span></p> <p style="margin-bottom: 0cm;"><span style="font-family:Times, Times New Roman, serif;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:Times New Roman, serif;"> </span></span></span> Film<i> Rebel Without a Pause</i> ini tak saja memancarkan kecerdasan Chomsky dan kekuatan ingatannya sebagai orang yang setiap hari membaca enam koran , namun juga menunjukkan bila dia memmang menjalankan kewajiban akademiknya sebagai seorang cendekiawan. Dia menekankan bila dunia akademik sesungguhnya melatih seseorang untuk berpikir kritis, dan menjawab semua permasalahan dunia dengan pikiran kritisnya. Chomsky memutuskan bila dia tak keberatan disebut sebagai pemberontak intelektual, bila dia harus berbeda sikap dan pemikiran btentang kebijakan pemerintah AS yang merugikan kepentingan dunia luas., seperti yang diungkapkan sendiri oleh Chomsky dalam kuliahnya di <span style="font-family:Times, Times New Roman, serif;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:Times New Roman, serif;">Ontario's McMaster University, saat Amerika menginvasi Irak di tahun 2003 kemarin.</span></span></span></p> <p style="text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;">Film dokumenter ini juga menampilkan wawancara dengan sahabat dan teman diskusi malam Chomsky, yakni Graeme McQueen, professor ilmu Kajian Agama ( <i>Religion Studies</i>) di McMaster University, yang menuturkan asal usul pemikiran kritis Noam Chomsky. McQueen juga berkata, ada baiknya bila Chomsky kini terkenal seperti ‘bintang musik rock’ karena ‘dia benar’ saat berkata tentang kondisi yang memicu serangan 11 September. Profesor ini juga menyodorkan fakta bahwa Chomsky termasuk dalam daftar Sepuluh Besar tokoh kesenian dan kemanusiaan . “ Dia berada di urutan ke delapan, setelah Frued dan sebelum Hegel. Dia bergabung bersama nama besar lainnya seperti Marx, Lenin, Shakespeare, Aristotle, dan Cicero.” </p> <p style="text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;">Sebelumnya sudah ada dua film tentang Chomsky, yakni <i>Noam Chomsky – Distorted Morality: America's War on Terror?</i> (<span style="color:#000000;">Wea Corp,<i> </i></span>2003) dan <i>Manufacturing Consent – Noam Chomsky and the Media</i> (1993), garapan sutradara Mark Achbar dan Peter Wintonick, yang dilengkapi dengan fitur menarik; diskusi Chomsky dengan Michel Foucault di tahun 1971. Dan semua film tentang Chomsky ini, ternyata laris manis di pasaran. Film <i>docu-drama</i> seperti ini, menambah sisi positif bagi blantika film komersial yakni memberi sudut pandang yang lebih luas bagi wawasan kita. (<b>Heru Emka</b> )</p>Kajian Budaya Heru Emkahttp://www.blogger.com/profile/02078320332372397648noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5360952122397939131.post-46419289449490355682008-01-12T06:48:00.001-08:002008-01-12T07:05:31.143-08:00<p style="margin-bottom: 0cm; text-align: left;"><span style="font-size:180%;"> “ <b>Nietzsche di Tengah Mall</b></span></p><br /> Affa ( 26 tahun) mungkin pantas men jadi citra ‘ideal’ gadis manis masan kini, seperti yang sering muncul dalam berbagai film iklan kita. Selain cantik ( wajahnya mirip dengan Titi Kamal – malah tubuhnya lebih seksi dan berisi ), dengan kulit yang bersih mulus. Tak heran bila pacarnya bilang, walau dia cemberut, wajahnya masih sedap dipandang. Dan Affa baru saja memborong baju terbaru dari gerai Mango di Singapura. Tiga style-jeans <p style="margin-bottom: 0cm;"> Mango dia bawa. Salah satunya dengan bahan <i>corduray</i> ala <i>retro</i>, yang dulu dikenal dengan model <i>cutbray</i>. Bukan itu saja, ada lagi, blus sutra model menyilang rancangan An</p> <p style="margin-bottom: 0cm;"><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj0EnYZwqLmpIk8quD-pEiyShyphenhyphenLpXcRra5WMWLRW85J0e9LpUS_ItiJvr4TqmLnMhOTVGVhA3oxzFFo7yb0EZQ8qyV2SN0M7w-34aMyETQAArfCsAoCF-Z_VqoxXgCFVLSnlsNXuFvGe-A/s1600-h/SHOPPING.JPG"><img style="margin: 0pt 0pt 10px 10px; float: right; cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj0EnYZwqLmpIk8quD-pEiyShyphenhyphenLpXcRra5WMWLRW85J0e9LpUS_ItiJvr4TqmLnMhOTVGVhA3oxzFFo7yb0EZQ8qyV2SN0M7w-34aMyETQAArfCsAoCF-Z_VqoxXgCFVLSnlsNXuFvGe-A/s400/SHOPPING.JPG" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5154602455647090690" border="0" /></a>tonio Marras, yang kini menjadi direktur artistik rumah mode Kenzo. Saat Affa mencoba blus yang bermotif <i>happy floral</i> itu dengan <i>style-jeans</i> hitam bersulaman bunga merambat sepanjang paha hingga lurut Affa yang indah,.. hmmm…tercipta sudah gaya <i>boho</i> yang membalut tubuh ranum yang indah. Dari celetukan Affa dan mamanya, nampak bila setelan yang khusus dicari di kawasan Orchard Road itu akan menjadi ‘kostum’ pesta ulang tahun teman, yang sepakat memilih gaya <i>boho (bohemian style)</i> sebagai <i>dress code</i>-nya.</p> <p style="margin-bottom: 0cm; font-family: georgia;"> Lantas kenapa si cantik kesayangan keluarga kaya yang tinggal di kawasan Pondok Indah ini cemberut ? Dari celetukan mereka juga, saya dengar bila si Amenita (teman Affa),- ternyata tak mengajaknya saat menemukan gaun FCUK di Plaza Senayan.. Padahal Affa sudah lama ingin punya baju berlabel ini. Oh ya, FCUK ( singkatan dari <i>French Connection UK</i> ) – lagi naik daun ini memang ditujukan bagi kaum muda yang merasa dirinya ‘kontemporer’ dan ingin tampil beda. Busana FCUK ini selalu tampil dalam disain berani, dengan warna-warna <i>ngejreng</i>, seperti biru neon, <i>shocking pink</i> dan warna lain yang membuat penampilan pemakainya lebih cerah.</p> <p style="margin-bottom: 0cm; font-family: georgia;"> Hanya karena ingin menginap di rumah Rudi, seorang <i>bomber</i> ( julukan khas bagi pelukis grafiti - yang juga sesama milis pecinta musik klasik rock) ,- saya ‘kesasar’ di kalangan kelas atas di Jakarta. Melihat penampilan Rudi, yang ‘cuma’ bersepatu basket (Nike), jean lusuh dan kaos <i>punk</i> distro, serta ransel yang berisi buku sket graffiti dan lima kaleng cat semprot,- orang tak menduga bila orang kaya. Tapi memang hak Rudi bukan, bila dia ingin berpenampilan miskin ? </p> <p style="margin-bottom: 0cm; font-family: georgia;"> </p> <h6 class="western" style="font-family:georgia;"><span style="font-size:130%;"> <span style="font-size:100%;">Ritual gaya hidup</span></span></h6> <p style="text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm; font-family: georgia;">Saat ‘kesasar’ di rumah orang kaya itulah , saya melihat ada tren tersendiri yang mereka persiapkan untuk mengisi liburan, yakni berbelanja. Aktifitas belanja ini dirancang cermat, tak ubahnya ritual tersendiri bagi gaya hidup mereka. Sejak awal mereka mencari informasi berbagai produk yang akan dibeli saat melakukan perjalanan belanja ke mancanegara. Saya lihat berbagai katalog produk konsumsi yang serba mahal, berbagai peralatan dapur dari perak, katalog furniture - baik yang bergaya Barok atau aneka disain futuristik yang minimalis. Brosur lainnya menawarkan arloji dan perhiasan mahal, lampu kristal, serta katalog terbaru dari berbagai rumah mode beken ternama : Fendi, Burbery, Hermes, Celine. Di sebuah meja <i>cocktail</i> di sudut ruang tamu, saya lihat sebuah tas Birkin Hermes hijau muda (yang agaknya sudah jarang dipakai) .</p> <p style="margin-bottom: 0cm; font-family: georgia;"> Bagi kalangan berduit, musim liburan adalah musim belanja. Sebuah musim bunga meriah bagi konsumerisme. Pengamat gaya hidup seperti David Chaney menyebut bila kaum berduit, yang sebelumnya mendapat predikat orang kaya baru setelah menemukan kesempatan untuk ikut dalam perubahan ekonomi yang vertikal, membutuhkan gaya hidup yang sepadan untuk mendapatkan pengakuan sosial. </p> <p style="margin-bottom: 0cm; font-family: georgia;"> Dan bicara soal gaya hidup, penampilan tentu saja menjadi bagian intinya. Tak heran bila suasana kehidupan sehari-hari mengalami estesisasi. Harus lebih indah, lebih beda. Tubuh dan ruang (rumah, mobil dan sebagainya ) pun menjadi obyek yang tiada habisnya untuk didandani, diberikan citra mewah dan ekslusif. Para pemodal dan penjual sama-sama menyambut hangat, dengan menjadikan mall sebagai titik kepekaan, Cobalah amati, bukankah mall tak lagi sekedar tempat berbelanja yang representatif, namun sudah menjadi bagian lingkungan, di mana diri mengalami transformasi, dari seorang pengunjung menjadi konsumer. Soal apakah transformasi ini mampu memberikan kebahagiaan yang mereka cari, berhasil mewujtkan apa yang mereka impikan, atau hanya sebatas membeli komoditi, itu soal nanti.</p> <p style="margin-bottom: 0cm; font-family: georgia;"> </p> <h6 class="western" style="font-family:georgia;"><span style="font-size:100%;"> Khotbah agung konsumerisme</span></h6> <p style="text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm; font-family: georgia;">Yang jelas meraih keuntungan (dengan tanpa henti menciptakan magnit baru bagi mimpi-mimpi konsumerisme) adalah moda para kapitalis yang meniru dalil Descartes dengan menciptakan semboyan baru, <i>modern cogito</i>; “ Aku berbelanja, karena itu aku ada” ( <i>"I consume therefore I am.").</i> Neil McKendrick dalam <i>The Birth of a Consumer Society</i> (London: Europa, 1982), menyebutkan, hasrat dan katakjuban berbelanja ini kadang dihayati sebegitu rupa, tak ubahnya hasrat penebusan dosa. Pendapat sosiolog dan pakar kajian budaya ini sepenuhnya benar. Di mall gemerlap seperti Sogo Plaza Senayan, saya banyak melihat wajah-wajah yang begitu khusuk memandang produk bermerek dan menenggelamkan diri dalam khotbah agung konsumerisme. </p> <p style="margin-bottom: 0cm; font-family: georgia;"> Pengamatan yang lebih jitu ditampilkan oleh Daniel R. White dan Gert Hellerick dalam esainya; <i>Nietzsche at the Mall: Deconstructing the Consumer</i>. Disebutkan bahwa fesyen akhirnya tampil sebagai kekuatan sosial yang tak terduga. Fungsinya tak saja efektif sebagai tanda keberhasilan ekonomi, namun juga sebagai praktek rekayasa sosial. Hal ini tak saja melibatkan selera, perilaku sosial dan identitas <i>personal</i> kalangan kelas atas sebagai konsumer, namun fesyen kadang menjadi anak tangga tersendiri, sejenis pijakan untuk beranjak dari inferioritas sosial. </p> <p style="margin-bottom: 0cm; font-family: georgia;"> Karena itu, Nietzsche yang begitu gigih mendefenisikan eksistensi, pasti akan gusar bila dia sekarang berada di sebuah mall. Dia akan mengerutui kedangkalan dan kemunafikan gaya hidup ini, seperti yang diucapkan Niezsche dalam <b><i>Will to Power</i></b>, <i>"There exists neither 'spirit,' nor reason, nor thinking, nor consciousness, nor soul, nor will, nor truth: all are fictions that are of no use"</i> Eksistensi gaya hidup mall ini bagi dia serba mertanggung, mengambang dan tak berguna.</p> <p style="margin-bottom: 0cm; font-family: georgia;"> Untunglah tak semua orang kaya konsumtif, walau itu hak asasi mereka juga sebenarnya. Rudi misalnya, yang bersemboyan; “ <i>You’re happier than you think</i>,”- lebih suka membelanjakan uangnya untuk membeli sekian puluh tabung cat <i>pylox</i>, untuk digunakan bersama para <i>bomber</i> lainnya. Seperti malam itu, HP-nya berbunyi, dan seorang <i>bomber</i> lainnya mengabarkan ada sebuah spot di kolong jalan layang di kawasan Pancoran. Saat itu menjelang tengah malam, kami menuju ke sana (menurut saya, daerah itu cukup rawan penodongan). Toh Rudi dan keenam kawannya <i>cuek</i> saja. Mereka mulai ‘ngebom’, merubah dinding kusam menjadi sebuah ruang ceria, dengan semprotan cat yang membentuk ekspresi seni jalanan. Bentuk ekspresi yang menggeliat, menolak kemandegan yang mampat.</p> <p style="margin-left: 5.08cm; text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;"><span style="font-family:georgia;"> (</span><b style="font-family: georgia;">Heru Emka</b><span style="font-family:georgia;">, penyair dan peminat kajian budaya.)</span> </p> <p style="text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;"><br /></p>Kajian Budaya Heru Emkahttp://www.blogger.com/profile/02078320332372397648noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5360952122397939131.post-5206412704802289052008-01-12T06:41:00.000-08:002008-01-12T06:47:51.541-08:00<p style="margin-bottom: 0cm; text-align: center;"> <span style="font-size:180%;"><b>Ada <span style="font-style: italic;">Batman</span> di perutmu</b></span></p><p style="margin-bottom: 0cm;"><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiCfGpKKBSq0Ks4W_k7oS_m8EOKPikORdhGLxIsuRs7d5g7jsbPHjJK2hZbL0ArYwY29t6CB3gX_ne2EAzd0jb6x63j1QlOa_hDkNmfQm-6CxdSQjKy3gmiLjoFdr0gbRy-Xn_QPU4bVOU/s1600-h/tatto+.JPG"><img style="margin: 0px auto 10px; display: block; text-align: center; cursor: pointer; width: 361px; height: 536px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiCfGpKKBSq0Ks4W_k7oS_m8EOKPikORdhGLxIsuRs7d5g7jsbPHjJK2hZbL0ArYwY29t6CB3gX_ne2EAzd0jb6x63j1QlOa_hDkNmfQm-6CxdSQjKy3gmiLjoFdr0gbRy-Xn_QPU4bVOU/s400/tatto+.JPG" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5154600797789714418" border="0" /></a></p><br /><p style="text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;"><br /> Dina tertawa ketika saya melontarkan sebuah <span style="font-style: italic;">joke</span> tentang cecak ( “ Tiga ekor cecak melekat di dinding . Yang dua ekor sedang <i>making love</i>, yang seekor jatuh karena onani, dia lupa memegang dinding “ ). Cewek yang bertubuh sintal ini lantas menghabiskan pizza-nya dan berdiri, sambil berkata “ Udahan ya, aku mau kerja nih.” katanya .<i>Hotpant hipster</i> Dina yang berwarna hitam itu membuat sebagian perut pelatih senam taebo ini nampak indah. Di situlah saya melihat tato Batman.</p> <p style="text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;">Saat saya tanyakan apakah itu temporary tattoo, Dina membantah. “ Nggak dong, lihat aja, tato asli kan ? Temenku banyak juga yang punya tato indah.” </p> <p style="text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;">“ Lain kali kita ngobrol lagi ya ?,” kata saya. </p> <p style="text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;">“ Aah..mau ngomong apaan ?,” katanya. </p> <p style="text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;">“ Ngomongin tato.”</p> <p style="text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;">Tentu saja Dina bukan satu-satunya wanita bertato. Cewek asal Bandung ini kemudian memperkenalkan saya pada temannya, yang juga senang bila bagian tubuhnya dihiasi tato indah : Bunga mawar, kupu yang mengepakkan sayapnya, gambar puteri duyung, Minnie mouse, juga super hero seperti Spiderman atau Batman, yang menghiasi perut Dina. Wanita penggemar tato ini bisa ditemukan di berbagai kalangan. Ada yang mahasiswi, ibu rumah tangga, karyawati, bahkan eksekutif madya di sebuah bank. Dan tentu saja para artis.</p> <p style="text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;"><i><b>Dekat wilayah pribadi</b></i></p> <p style="text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;">Aktris Rebecca Tumewu, misalnya, punya tato ikan lumba-lumba di sebelah kanan pusarnya. Tato ini dibuat saat Becky berkunjung ke Bali. Si cantik Nafa Urbah punya tato mawar merah di perutnya. Dan masih banyak lagi. Rudy, jebolan fakultas seni rupa yang asal Semarang, yang pernah membuka studio tato di Bali, bahkan mengaku mentato seorang bintang sinetron di dekat salah satu sudut wilayah pribadinya.</p> <p style="text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;">Sekarang tato tak lagi dikaitkan dengan konotasi kelam dunia hitam, karena jenis tato sudah beragam. Bila dulu tato dibuat secara kasar di penjara, kini tato bisa dipesan di berbagai studio tato yang ada di kota-kota besar, dengan bentuk tato yang lebih artistic. Mereka yang ingin punya tato tapi tak mau kulitnya ditembusi jarum mesin tato, bahkan bisa membeli tato temporer yang banyak dijual di Mal Ciputra misalnya. Ini jenis ‘tato bohongan’ yang bisa dibersihkan dalam jangka waktu tertentu.</p> <p style="text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;">Ricky, pelajar sebuah SMU di kawasan Tanah Mas, termasuk penggemar tato yang murup sticker ini. “ Selain nampak keren, bisa gonta-ganti, “ ujarnya. Selain Ricky ada juga cewek lain yang menjadi pelanggan tato sementara ini.</p> <p style="text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;">Dulu tato kalau tidak dikaitkan dengan para preman, dikaitkan dengan anak jalanan, pemain band, atau mereka yang hidup ‘semau gue’. Tato bahkan pernah diidentikkan dengan sebuah perlawanan gaya hidup, seperti yang ditunjukkan oleh generasi muda AS yang anti Perang Vietnam. Namun sebenarnya sejarah tato jauh lebih tua dari tampilan gaya hidup anak muda tahun ’60-an. Ini terbukti dari munculnya berbagai kajian khusus tentang tato, yang diterbitkan dalam bentuk buku referensi. Di antaranya adalah <i>Tattoo History : A Source Book</i>, karya (editor) Stephen G. Gilbert. </p> <p style="text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;">Buku yang dikomentari sebagai ‘ <i>A whirlwind tour of tattoo history</i>’ ini boleh jadi merupakan antologi terlengkap tentang tato, yang menghimjpun tulisan para sejarahwan, petualang, penjelajah, antropolog, kriminolog, psikoanalis dan sejumlah wartawan terkemuka, termasuk pemaparan beragam jenis tattoo sejak jaman dulu di Polynesia, Jepang, Amerika pra-Columbus, Eropa abad 19. Termasuk wawancara dengan seniman tato ternama seperti Ed Hardy, Lyle Tuttle, Tricia Allen danh Kazuo Oguri, yang karyanya menghiasi tubuh para selebritis kelas dunia.</p><p style="text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm; font-weight: bold;"><span style="font-size:100%;">Uskup bertato</span></p> <p style="text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;">Kata tato sendiri berasal dari kata Haiti; <i>tattau</i>, yang berarti ‘menandai’. Penjelajah Inggris James Cook diyakini yang membawa kata ini ke Eropa seiring dengan ekspedisi South Pacific (1769 ). Namun para ilmuwan meyakini bahwa orang Mesir dan Numibia lah yang pertama kali mentato tubuhnya. Di tahun 1991, ditemukan sebuah mumi dari Jaman Perunggu ( tahun 3.300 Sebelum Masehi ) dengan beberapa tato menghiasi tubuhnya.</p> <p style="text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;">Dari Mesir Kuno, tato menyebar ke Arab, kemudian menyebar ke wilayah Asia Tenggara di tahun 2000 Sebelum Masehi. Suku pengembara Ainu kemudian membawa tradisi tato ke Jepang, dan kemudian menyebar lagi ke kawasan Asia lainnya. </p> <p style="text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;">George Burchett, seniman tato yang berkarir lebih dari 50 tahun di London, , dalam bukunya <i>Memoirs of a Tattooist </i>( London: Oldbourne, 1958) , juga mendokumentasikan budaya tato di berbagai penjuru dunia. Burchett berhasil membuktikan bahwa tato juga pantas dimiliki oleh orang terhormat. Di antara kliennya adalah para akitris, dokter, hakim, dan anggota Kerajaan, termasuk Raja George V dan Raja Frederick dari Denmark. Bahkan memoar Buchett menceritakan seorang uskup Inggris yang juga pernah ditato olehnya.</p> <p style="text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;">Di tahun 1891, seorang Amerika bernama Samuel O'Reilly mempatenkan mesin tato moderen. Alat yang disebutnya "<i>autographic printer</i>," sebenarnya ditemukan oleh Thomas Edison. Alat ini bekerja menggetarkan jarum ke atas – ke bawah dengan kecepatan beberapa ratus getaran per menit, dan menembus permukaan kulit sekitar satu millimeter, serta mengalirkan tinta ke bagian yang ditato. Alat inilah yang sekarang menjadi andalan para seniman tato, termasuk yang berada di Yogya. </p> <p style="text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;">Oh ya, selain Jakarta, Bandung dan Denpasar, Yogya memiliki posisi tersendiri dalam ‘dunia tato’, dengan berbagai komunitas tato yang tumbuh di sana. Yang pertama kali dikenal luas adalah Studio Tato Yogya di kawasan Sosrowijayan, Yogyakarta. Juga Java Tattoo Club,yang dimotori oleh Bob ''Sick'' Yuditha. Dulu kelompok ini punya dua program : Pertama, memasyarakatkan tato melalui aneka lomba. Yang kedua menggulingkan Soeharto. Kelompok ini sempat tidak aktif pada awal 1999. Yang menjadi penggantinya adalah Serikat Tato Gampingan. yang lebih menekankan tato sebagai seni. Akhir tahun lalu, mereka menyelenggarakan ''Gampingan Tato Expo''. Di sini dipamerkan foto berbagai motif tato dari seantero penjuru dunia. Gongnya ditandai oleh peluncuran buku <i>Tato</i>, terbitan Lembaga Penelitian ISI.<br /></p><p style="text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;"> Kini tato memang sering identik dengan yang indah-indah, sepeerti yang menghiasi anggota tubuh wanita cantiktadi. Yang jelas, kini para bintang sudah bertato, juga para atlet professional, pengacara, tentara, mahasiswa dan ibu rumah tangga. social Kini, tato lebih merupakan bentuk unggapan sebuah gaya ( <i>a fashion statement</i>) daripada sebagai sebuah stigma sosial. ( <b>Heru Emka</b> ).</p>Kajian Budaya Heru Emkahttp://www.blogger.com/profile/02078320332372397648noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5360952122397939131.post-56304846274791515672008-01-12T06:30:00.000-08:002008-01-12T06:39:52.844-08:00<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEieu3yIeGVeBJk_Fj-G3oJ9k-EYwmXITHBEAfU0jCKAzzPwT4ItF3ZRR1ACiHESKeDNVe6h1k43zLLqzI_RX0BXw4tgYtO558944K5h2uDV4XRZeY290thsWqWvLcueC8P6oinE8KxGLxk/s1600-h/DUGEM.JPG"><img style="margin: 0pt 0pt 10px 10px; float: right; cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEieu3yIeGVeBJk_Fj-G3oJ9k-EYwmXITHBEAfU0jCKAzzPwT4ItF3ZRR1ACiHESKeDNVe6h1k43zLLqzI_RX0BXw4tgYtO558944K5h2uDV4XRZeY290thsWqWvLcueC8P6oinE8KxGLxk/s320/DUGEM.JPG" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5154599169997109218" border="0" /></a><br /><h1 class="western"> <span style="font-style: italic;">Trancecology</span> </h1> <p face="georgia" style="text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;"><i>Trancecology.</i> Istilah apa lagi ini ? Tentu saja bermula dari kata ‘<i>trance</i>’. Namun bukan mengacu pada istilah mengaburnya kesadaran seperti yang banyak ditemukan dalam kaidah mistikisme, melainkan lebih mengacu kondisi saat kesadaran seseorang ‘menyublim’ dalam nuansa ekstase. Dan sungguh mati, kondisi ini tak dicapai dalam suasana sunyi-hening meditasi , namun dalam gelegar suara dan hingar-bingar suasana. Lantai dansa sebuah diskotik, atau anak muda punya istilah yang lebih personal, ‘dugem’ (dunia gemerlap ). </p> <p face="georgia" style="text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm;">Inilah sihir musik, yang ternyata mampu membius pendengarnya lewat hentakan-hentakan serba gegap gempita. Maka pengamat perilaku yang juga kolomnis majalah <i>Psychology Today</i>, Amanda Druckman, menyebut kecenderungan dugem ini sebagai ‘<i>trance party’</i>. Tentu saja ada genre musik tersendiri bagi komunitas seperti ini, yang istilahnya sudah jauh berkembang dari sekedar kata ‘disco’, saat jenis musik ini mencuat di awal tahun ’80-an. <i>Rave, house, tribal, techno</i>, atau <i>prog trance</i> menjadi idiom khas bagi musik dansa seperti ini. </p> <p style="text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm; font-family: georgia;">Geletar bebunyian musik virtual-elektronika yang jalin menjalin begitu rupa dengan beat yang merangsang gerak, serta nuansa psikedelik yang dibombardir begitu tupa oleh lighting scene , memang bisa menyedot kesadaran <i>crowd</i> ( istilah bagi pengunjung setia dugem ) dan memilinnya menuju kondisi ‘trance’. Maka istilah <i>trancecology</i> bukan saja mengacu pada kepiawaian para DJ (disk jockey) untuk meramu aransemen musik dansa, namun juga mengacu pada berbagai model aktifitas yang dilakukan para penikmat dugem itu sendiri. Mulai dari aktifitas massal di udara terbuka seperti open rave party, atau trance party yang di gelar di ruang tertutup, diskotik misalnya. </p> <p style="text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm; font-family: georgia;">Berbagai resident (istilah mereka untuk diskotik dan tempat menggelar dance party) di Jakarta sendiri sudah sering menggelar trance party yang cukup sukses, seperti di Retro misalnya. Dalam jenis musik yang satu ini, ternyata para DJ kita bukan sekedar konsumen saja, melainkan sudah mulai unjuk gigi,paling tidak sekawasan Asia-Pasifik, terbukti dengan kemenangan DJ Adhe pada kontes DJ <span style="color:#000000;"><span style="text-decoration: none;"><span style="font-size:16;"><span style=""><span style="font-size:100%;">Global Heineken Asia Pasifik yang bergengsi itu. </span></span></span></span></span> </p> <h2 class="western" style="font-family:georgia;"><span style="color:#000000;"><span style="text-decoration: none;"><span style="font-size: 16pt;font-size:180%;" ><b><span style="font-size:100%;"> </span></b><span style=""> <span style="font-size:100%;">Nggak tiarap bener</span></span></span></span></span></h2><h2 class="western" style="font-family:georgia;"> <span style="color:#000000;"><span style="text-decoration: none;"><span style="font-size: 16pt;font-size:180%;" ><span style=""><span style="font-size:100%;"><span style="font-weight: bold;">Menurut Erie Javas, pengamat dance scene yang juga produse eksekutif stasiun TV hiburan </span><i style="font-weight: bold;">O Channel</i>, perkembangan musik dugem di Indonesia sudah sangat maju. Beberapa happening dalam dance scene di tanah air dalam beberapa tahun terakhir ini memunculkan banyak dance organizer, para DJ baru serta berbagai club. </span></span></span></span></span></h2> <p style="text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm; font-family: georgia;"> </p> <p style="text-indent: 1.27cm; margin-bottom: 0cm; font-family: georgia;"><span style="color:#000000;"><span style="text-decoration: none;">“ <span style="font-size:16;"><span style=""><span style="font-size:100%;">Kalau dibandingkan dengan situasi di negara lain, kita nggak tiarap bener. Lihat saja kalau ada <i>Rave Party</i>, <i>JakMov</i> misalnya, event ini malah lebih keren dibanding event serupa di luar negeri seperti <i>Zoukout</i> misalnya. Bedanya kalau di negara lain, dance scene seperti ini sudah jadi industri yang didukung pemerintah, kita di sini walau sudah besar komunitasnya ,masih tetap saja underground. Bahkan tak jarang dunia dance masih dipandang sebagai dunia kelam yang berhubungan dengan narkoba,” komentarnya.</span></span></span></span></span></p> <p style="margin-bottom: 0cm; font-family: georgia;"> Bagaimanapun, p<span style="color:#000000;"><span style="font-size: 8pt;font-size:78%;" ><span style="font-size:100%;">ertama kali tampil i di kompetisi Global Heineken, DJ Adhe sudah menorehkan prestasi. Ia berhasil memenangkan babak final regional dan berhak mewakili kawasan Asia Pasifik pada babak final <i>Global Heineken Thirst 2005</i>.</span></span></span> Pada <span style="color:#000000;"><span style="font-size: 8pt;font-size:78%;" ><span style="font-size:100%;"> babak semifinal sebelumnya, di Kuala Lumpur , dia berhasil menyisihkan DJ KoFlow (Singapura) dan DJ K. Switch ( Jepang). Pada babak final di Thailand, 28 Mei lalu, DJ Adhe bersama Andrey (perkusi / vokal) dan Derry (keyboard / perkusi) berhasil menyingkirkan saingannya; </span></span></span><span style="color:#000000;">Altered Image</span><span style="color:#000000;"><span style="font-size: 8pt;font-size:78%;" ><span style="font-size:100%;"> dari Malaysia dan </span></span></span><span style="color:#000000;">DJ Switch dari </span><span style="color:#000000;"><span style="font-size: 8pt;font-size:78%;" ><span style="font-size:100%;">Selandia Baru.</span></span></span><br /></p><p style="margin-bottom: 0cm; font-family: georgia;"> DJ Adhe ( 21 tahun ) yang nama aslinya Adi Pria Devara Bachtiar sendiri belum telalu lama nge-spin - istilah untuk aktifitas menggesek-gesek piringan hitam saat nge-DJ - walau sejak SMP sudah menyatu dengan musik disko. ( Maaf, menurut saya istilah disko sendiri sudah ‘ketinggalan jaman’ karena nama ini mengacu pada jenis musik tahun ala Donna Summer di tahun ’80-an. ) Setelah tampil pada berbagai pesta antar kawan, baru di tahun 2001 Adhe tampil sebagai DJ professional di klab Diva, Jakarta. </p> <p style="margin-bottom: 0cm; font-family: georgia;"> Obrolan siber (chatting) yang singkat dengan DJ Adhe akhirnya bisa terjalin ( terima kasih atas bantuan Erick_ElectricFuzz, rekan sesama milis <i>Beatcommunity</i> ), di mana Adhe menuturkan kerisuannya karena susana dugem sudah dirusak citranya oleh mafia narkoba, dan berobsesi untuk mengembalikan <i>dance scene</i> (lantai dansa) kepada para pecinta musik yang sebenarnya. </p> <p style="margin-bottom: 0cm; font-family: georgia;"> </p> <h3 style="font-family: georgia;" class="western"><span style="font-size:100%;"> Mengembalikan diskotik untuk dansa</span></h3> <p style="margin-bottom: 0cm; font-family: georgia;"> Saat ditanyakan komentarnya tentang perkembangan musik dansa di Indonesia (Jakarta), Adhe menjawab,” Saya ngikutin perkembangan dance scene dari tahun 90-an dan sekarang udah bagus banget keadaannya. Sekarang ini club favrit saya Embassy, di sana selain tempatnya enak, bagus juga crowdnya dan. Kalo soal event saya pilih Jakarta Movement dan Heineken Thirst, itu <i>event dance</i> yang terbaik sekarang ini.”</p> <p style="margin-bottom: 0cm; font-family: georgia;"> Soal ke depan, bagaimana persiapan dalam final <span style="color:#000000;"><span style="font-size: 8pt;font-size:78%;" ><span style="font-size:100%;">Global Heineken Thirst yang menjadi ajang kompetisi internasional ? “ B</span></span></span>anyak latihan juga, dan persiapan untuk final nanti adalah kolaborasi dengan MC sekaligus perkusi dan satu orang pemain keyboard. Karena belum pernah kolaborasi, jadi sekarang lagi banyak mempersiapkan diri,” jawab DJ muda yang sering meramu gaya <i>Tribal, Techno Trance</i>, yang dianggap lebih enak untuk suasana dugem di Jakarta.</p> <p style="margin-bottom: 0cm; font-family: georgia;"> Soal DJ favorit, Ade mengaku pecinta berat Carl Fox di manca negara, sedang DJ Indonesia yang disuka DJ 1man dan Irwan, termasuk nama lama, DJ Naro. Sebagai jawara DJ kawasan Asia-Pasifik, Adhe cukup rendah hati. Ketika ditanya faktor yang menjadi kunci kemenangannya, dia menjawab,” <i>Mixing</i> aja !.” Namun Adhe menunjukkan keprihatinannya saat membicarakan betapa citra dunia clubbing yang tercoreng oleh kiprah para pengedar dan pemakai narkoba yang menjadikan diskotik sebagai tempat operasinya. </p> <p style="margin-bottom: 0cm; font-family: georgia;"> “ Situasinya kayak lingkaran setan, dan kita semua, pecinta musik dan penyuka dance yang terkena getahnya. Dance itu kan sebuah hobi dan gaya hidup yang positif. Nggak ada anak muda pecinta dance yang loyo, mereka semua fit. Kalo ditanya obsesi, kita semua ingin mengembalikan <i>dance scene</i> pada pecinta semua, pada <i>music lover</i>, <i>dance lover</i>. Kita geram juga melihat diskotik diacak-acak pemakai ineks. Tapi backing mereka juga kuat,” katanya gusar. </p> <p style="margin-bottom: 0cm; font-family: georgia;"> Mengembalikan diskotik pada musik, pada dansa, pada pecintanya semula. Boleh juga, paling tidak kita bisa membuktikan bahwa keunggulan DJ kita dalam tranccecology – membuktikan bahwa kita bukan sekedar konsumen budaya dari luar saja , seperti yang dicemaskan oleh M. Gangland Davis dalam bukunya; <i>Cultural Elites and the New Generationalism</i>. (Sydney: Allen and Unwin, 1997.) Davis mencemaskan pesona budaya pop yang begitu kuat, mampu memudarkan struktur budaya lokal yang sudah tertata begitu lama (<i>local genius</i> ), sehingga banyak kaum muda Aborigin yang lebih suka menyetel lagu rap daripada melakukan tembang ritual pada upacara pernikahan suku di kawasan pedalaman Australia sana. </p> <p style="margin-bottom: 0cm; font-family: georgia;"> Menurut Davis, bila kita ternyata juga unggul dalam menyerap budaya luar, mesih lebih baik, karena bisa menjadikannyasebagai bentuk ekspresi umpan balik, daripada sebatas menjadi konsumen dengan keterlibatan artifisial belaka. DJ Adhe setidaknya sudah membuktikan, d<span style="color:#000000;"><span style="font-size: 8pt;font-size:78%;" ><span style="font-size:100%;">engan kemenangan ini, Adhe bersama timnya akan mewakili Asia Pasifik pada babak final Global Heineken Thirst, yang akan berlangsung pada bulan Januari 2006 di Afrika Selatan. Mereka bakal berhadapan dengan pemenang regional dari kawasan Eropa, Amerika, dan Timur Tengah. Jelas ini merupakan tantangan yang pantas dijawab, agar kita tak dianggap cuma latah saja di musik dansa. (<b>Heru Emka</b>) </span></span></span> </p>Kajian Budaya Heru Emkahttp://www.blogger.com/profile/02078320332372397648noreply@blogger.com0