Sabtu, 22 Agustus 2009

Senjakala Pasar Tradisional Kita


Oleh : Heru Emka


Apa yang Anda pikirkan bila melewati sebuah pasar tradisional ? Jawabnya bisa jadi tergantung dari siapakah siapa Anda . Bila Anda anggota masyarakat biasa, mungkin Anda berpikir bahwa pasar adalah muara kegiatan jual-beli yang menjadi simpul kemampuan hidup masyarakat setempat. Seorang sosiolog atau antropolog melihat pasar sebagai muara interaksi sosial-ekonomi masyarakat, di mana berbagai lapisan bertemu dalam sebuah kebutuhan yang sama.

Seorang psikolog memandang pasar sebagai sarana untuk berinteraksi dengan anggota masyarakat lainnya, setidaknya mengenali dan terlibat dalam konsep komunikasi jual-beli. Bila Anda seorang arsitek, Anda akan melihat pasar sebagai sebuah ruang yang bisa menyatukan berbagai komunitas dalam sebuah ruang sosial yang nyaman. Dalam definisi yang paling sederhana, pasar menjelaskan sebuah lokasi fisik di mana komoditi dipertukarkan atau diperdagangkan. Sosiolog seperti Ellen Meiksins Wood dalam From Opportunity to Imperative: The History of the Market, menyatakan “hampir setiap definisi ‘pasar’ berkonotasi pada sebuah kesempatan. Dengan kata lain, pasar tak saja cermin geliat sebuah masyarakat, melainkan juga sebuah dokumentasi unik dari sebuah perjalanan sosial sebuah bangsa.

Dan pastilah, setiap pasar tradisional, memiliki karakternya sendiri. Hal ini akan lenyap bila Pasar Johar direnovasi menjadi ‘pasar modern’, karena himpunan spirit masyarakat akan musnah menjadi seonggok bangunan yang usang dan kumuh bila konsep renovasi itu ternyata tidak laku di masyarakat. Pembangunan komplek pertokoan Kanjengan yang gagal, seharusnya menjadi contoh nyata kegagalan Pemerintah dalam menata pasar tradisional.

Bukankah pangkal kisah kenapa pasar tradisional menjadi ‘lusuh’ juga bermula dari Pemerintah Daerah sendiri ? Maka ‘peremajaan’ dengan iming-iming kawasan pasar yang modern, bebas macet, ber-AC, sering menjadi alasan berbagai pihak membongkar pasar tradisional dan merubahnya menjadi pasar yang lebih menguntungkan mereka.

Memang, semakin bebas suatu pasar, semakin banyak barang dan jasa tersedia, semakin banyak pilihan bagi pedagang pun pembeli. Milton Friedman , yang menjadi idola baru para pemodal, dalam bukunya; Free to Choose : A Personal Statement (1980), memandang pasar sebagai arena pertemuan berbagai orang dengan kekuasaan setara, masing-masing berjuang untuk memperoleh pilihan terbanyak dalam hal yang mereka beli dan jual.

Agen pembaharuan ?

Para pemuja pemikiran pasar bebas ini mungkin tak pernah secara sengaja bersentuhan dengan pemikiran ekonom seperti Adam Smith (1723-90) yang tertuang dalam bukunya The Wealth of Nations (1776) . Buku yang kemudian menjadi teks standar ilmu ekonomi ini disebut sebagai ‘wasiat neoklasik’, karena ide Adam Smith sekarang ini masih saja disimak dengan penafsiran baru, dengan pendekatan paradigma budaya terkini, yang membuat MacDonald dan Coca Cola dipasarkan sebagai ‘agen pembaharuan’.

Bila menyimak edisi baru dari buku Smith ( judul aslinya cukup panjang : An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations, Oxford: Clarendon Press, 1976), Smith bahkan masih mengharapkan negara mendukung kesejahteraan publik dan tidak begitu saja menyerahkan potensi pasar pada pemodal. Smith juga berharap pasar dikendalikan dengan bijaksana, sehingga pasar itu bisa melayani kepentingan sosial yang bermanfaat bagi masyarakat.

Fenomena kehadiran hipermarket yang menjamur di mana-mana, sepintas lalu kebutuhan, karena konsepnya yang terpadu. Namun pada perspektif yang lebih luas, hal ini mengancam kelangsungan pasar tradisional. Ketua Umum Asosiasi Pedagang Pasar Tradisional Indonesia (APPSI), Ibih Hasan mengatakan, bila keberadaan hipermarket dibiarkan menjamur seperti sekarang, dalam delapan tahun ke depan Seluruh pasar tradisional di Indonesia yang berjumlah sekitar 13.650 unit terancam mati.

Ibih Hasan juga mengatakan , pertumbuhan pasar tradisional saat ini telah mencapai minus delapan persen, sedang pertumbuhan hipermarket yang aktif berkembang hingga ke wilayah pelosok, tumbuh membesar sebanyak 31,4 persen. "Itu penelitian dari AC Nielsen," katanya. Oleh karena itu, dalam delapan tahun mendatang sekitar 12,6 juta pedagang pasar tradisional ditambah masing-masing rata-rata dua pegawai dan empat anggota keluarganya terancam kehilangan pendapatan dan jatuh miskin.

Sejarah pasar tradisional sendiri tak hanya melulu berisi aktifitas ekonomi belaka, namun juga kental dengan aroma politik. Bahkan pemerintah kolonial Belanda pun menyadari benar potensi pasar sebagai ‘pintu masuk’ untuk meraih simpati rakyat. Di tahun ’30-’30-an mereka memfasilitasi ‘pasar rakyat’ yang disebut Jaarmarkt yang setiap tahun digelar di kawasan Gambir .

Bahkan belum hilang pula dari ingatan kita, betapa pasar juga menjadi panggung aktifitas politik ketika berlangsung pemilihan umum presiden yang baru ssaja usai. Di media massa kita lihat berbagai aksi para calon presiden yang berlomba berkunung ke pasar tradisional. Mereka tahu benar bahwa pasar adalah salah satu simpul perhatian masyarakat. Kunjungan ke pasar tradisional dilakukan untuk meraih citra ‘merakyat’.


  • Heru Emka, peminat kajian budaya -

2 komentar:

Anonim mengatakan...

saya mahasiswa arsitektur yang juga tertarik banget dengan kajian budaya..
sekarang saya lagi mencoba merancang ulang sebuah kawasan pasar tradisional di bandung untuk tugas perancangan. tulisan ini bener2 bisa ngebantu saya menemukan konsep yang akan saya pakai untuk perancangan...

makasih banyaakk!

-gracia-

tomtomz mengatakan...

aku suka budaya....hehe

lam kenal pak heru,tulisan edisi minggu ini jozzz...

aku mau seperti anda...hehehe