Sabtu, 22 Agustus 2009

Metamorfosa Kursi


Oleh : Heru Emka


Selain para disainer interior, ternyata cukup banyak yang memikirkan kursi ? Ya kursi yang kita kenal sebagai benda yang bertebaran dalam realitas kehidupan sehari-hari kita, ternyata juga tak lepas dari muatan mitos yang tersendiri. Dalam pengertian sehari-hari, kursi memang lebih dinikmati secara fungsional : sebagai tempat duduk, sehingga betapapun narsisnya seseorang, dia tak bakalan memamerkan kursinya sebagai sebuah kesatuan tunggal, melainkan perangkat furniture dalam ruang dan bagian secara keseluruhan.

Namun makna kursi terkadang jadi lebih penting dibanding perangkat mebel lainnya, karena kursi punya makna simbolis yang tak dimiliki oleh mebel lainnya, yakni sebagai perlambang dari kekuasaan. Negasi kekuasaan, yang bisa diperluas sebagai jabatan atau kedudukan ( tak saja secara semiotik atau pun ragawi ) namun secara kultural, sudah lama ekstensi makna ‘duduk’ dan ‘kursi’ bertautan erat dengan kekuasaan atau penguasaan. Dalam istilah perang atau dalam wacana politik imperialisme misalnya, ‘menduduki’ berarti ‘menguasai’. Bukan sekedar duduk-duduk santai di suatu tempat.

Kata kursi sendiri berasal dari bahasa Arab, kursiyun. Dalam konteks yang berbeda, untuk mengacu makna simbolik kursi yang cukup penting, dalam Al Qur’an bahkan terdapat salah satu ayat yang bernama Ayat Kursi. Sejak awalnya, dalam bahasa Arab, arash kurshi diartikan sebagai sebagai tempat yang maha tinggi dan agung, sebuah lapisan prima mendekati puncak, di mana satu level di atasnya lagi tempat Tuhan bertahta.

Betapa kursi menempati konstelasi tersendiri dalam sejarah kebudayaan juga nampak dari perjalanan rekonstruksi makna kata ‘duduk; itu sendiri. Misalnya, ‘duduk’ yangt dilakukan orang pada obyek yang tersedia di alam; di atas batu, batang pohon yang tumbang dan sebagainya, yang mengacu pada bentuk penguasaan subyek.. Kebiasaan duduk bersama di lantai yang dilakukan oleh masyarakat nomaden, yang menghembuskan nafas demokrasi, segera berakhir pada era budaya kerajaan, di mana kursi mulai digunakan untuk kepentingan legitimasi kekuasaan. Hanya para penguasa saja ( raja, ratu, sultan dan sebagainya ) yang berhak duduk di atas kursi ( singgasana ). Para bawahan cukup duduk di lantai. Bahkan para penjaga keamanan yang berperan penting menjaga keselamatan raja pun harus berdiri. Kursi hanya punya pemilik tunggal :

Penguasa.

Lambang eksistensi

Awal mitos kursi sebagai legitimasi kekuasaan tak saja terlacak di Eropa, pada Abad Pertengahan, namuna juga pada berbagai bentuk kebudayaan tinggi di AQsia, Afrika (Mesir kuno) dan Amerika Latin pada masa sebelum era penaklukan para conquistador Eropa. Dengan masyarakat yang memuja berbagai bentuk lambang yang alegoris, kursi mengalami pemaknaan yang lebih jauh. Misalnya dianggap sebagai lambang pijakan manusia pada bumi atau lambang eksistensi, sedangkan sandarannya dipandang sebagai simbol kesenangan atau kemapanan. Karena kursi tidak dipandang dari sisi fungsionalnya semata, maka kreasi bentuk kursi menjadi tumpahan imaji dan ekspresi penafsiran si ‘seniman kursi’ pada bentuk dan gambaran yang ada dalam imajinasi mereka.

Seperti yang dilihat pada disain kursi Abad Pertengahan di Italia atau di Prancis, kursi hadir dengan disain yang canggih dan rumit, sarat dengan ukiran figuratif dengan detil yang bisa membuat iri seorang pematung. Perangkat lain yang mendukung seperti dudukan dan hiasan pembalut lengan kursi, terbuat dari kulit berhias indah aneka ragam ornament bordir bermotif Barok, yang – bahkan - oleh perancang busana seperti (mendiang) Gianni Versace. dijadikan sumber inspirasi fashion tanpa henti.

Rosalind Williams dalam The Dream of Mass Consumption ( dalam antologi Rethinking Popular Culture, yang disunting oleh Chandra Mukerji dan Michael Schudson ) menyebutkan bila selera disain interior orang kaya Prancis sebagai ‘ abazaar climates.. the universe in a garden’. Semua kehendak artitistik dijejalkan sedemikian rupa, sehingga menjadi campur-aduk gaya yang berlebihan.

Berbagai gaya yang ganjil juga mulai dirancang untuk memenuhi selera orang pada kursi, tak saja mewakili hasrat pada eksistensi diri, namun melebar pada pemenuhan hasrat imajinasi. Dari kursi malas yang mencerminkan hasrat akan kenikmatan waktu luang mereka, hingga kursi super malas, yang diberi ‘lubang spesial’, agar pemiliknya bisa menjalankan ‘hajat kecil’ tanpa harus beranjak dari kursi, hingga pada gagasan penciptaan kursi listrik sebagai sarana penghantar maut yang ‘berpenampilan akrab’.

Kursi kemudian juga menjadi penanda tersendiri bagi perkembangan budaya pop. Film Hollywood yang berjudul The Party (1968) justru menjadi ikon karena didalamnya menampilkan tiga kursi yang disainnya dianggap legendaris hingga kini, yakni kursi Swan, Egg dan Oxford. Ketiga kursi yang dirancang Arne Jacobsen ini masih dibarengi dengan disain kursi lain yang tak kalah jempolan, misalnya disain Cone, karya Verner Panton, yang menjadi ikon klasik dalam sejarah disain interior modern.

Saat sutradara Stanley Kubrick merencanakan menggarap film 2001 : A Space Odyssey – yang ikonik itu – dia bahkan mengumpulkan para disainer interior terkemuka untuk memprediksikan tren disain interior di tahun 2001. Film ini akhirnya menampilkan rancangan disain kursi merah karya Oliver Morgue, yang kemudian mengawali tren disain ‘kursi futuristik’.

Bagi Foucault (yang menjabarkannya dalam Power / Knowledge) bila mitos kursi, dalam relasi kekuasaan yang bermetamorfosa sebagai Negara, maka yang terjelma kemudian adalah superstruktur berikut segenap jaringan kekuasaan yang memodifikasikan semua konsep sosial, ekonomi dan kebudayaan dalam bentuk seolah-olah yang terekayasa. Seperti konsep Orde Baru tentang stabilitas, misalnya. Kursi ternyata bisa juga bukan sekedar ‘kursi’.


- Heru Emka – peminat kajian budaya, tinggal di Semarang -


Ilustrasi : Desfile del 1o. de Mayo en MoscĂș, Diego Rivera, 1956

Senjakala Pasar Tradisional Kita


Oleh : Heru Emka


Apa yang Anda pikirkan bila melewati sebuah pasar tradisional ? Jawabnya bisa jadi tergantung dari siapakah siapa Anda . Bila Anda anggota masyarakat biasa, mungkin Anda berpikir bahwa pasar adalah muara kegiatan jual-beli yang menjadi simpul kemampuan hidup masyarakat setempat. Seorang sosiolog atau antropolog melihat pasar sebagai muara interaksi sosial-ekonomi masyarakat, di mana berbagai lapisan bertemu dalam sebuah kebutuhan yang sama.

Seorang psikolog memandang pasar sebagai sarana untuk berinteraksi dengan anggota masyarakat lainnya, setidaknya mengenali dan terlibat dalam konsep komunikasi jual-beli. Bila Anda seorang arsitek, Anda akan melihat pasar sebagai sebuah ruang yang bisa menyatukan berbagai komunitas dalam sebuah ruang sosial yang nyaman. Dalam definisi yang paling sederhana, pasar menjelaskan sebuah lokasi fisik di mana komoditi dipertukarkan atau diperdagangkan. Sosiolog seperti Ellen Meiksins Wood dalam From Opportunity to Imperative: The History of the Market, menyatakan “hampir setiap definisi ‘pasar’ berkonotasi pada sebuah kesempatan. Dengan kata lain, pasar tak saja cermin geliat sebuah masyarakat, melainkan juga sebuah dokumentasi unik dari sebuah perjalanan sosial sebuah bangsa.

Dan pastilah, setiap pasar tradisional, memiliki karakternya sendiri. Hal ini akan lenyap bila Pasar Johar direnovasi menjadi ‘pasar modern’, karena himpunan spirit masyarakat akan musnah menjadi seonggok bangunan yang usang dan kumuh bila konsep renovasi itu ternyata tidak laku di masyarakat. Pembangunan komplek pertokoan Kanjengan yang gagal, seharusnya menjadi contoh nyata kegagalan Pemerintah dalam menata pasar tradisional.

Bukankah pangkal kisah kenapa pasar tradisional menjadi ‘lusuh’ juga bermula dari Pemerintah Daerah sendiri ? Maka ‘peremajaan’ dengan iming-iming kawasan pasar yang modern, bebas macet, ber-AC, sering menjadi alasan berbagai pihak membongkar pasar tradisional dan merubahnya menjadi pasar yang lebih menguntungkan mereka.

Memang, semakin bebas suatu pasar, semakin banyak barang dan jasa tersedia, semakin banyak pilihan bagi pedagang pun pembeli. Milton Friedman , yang menjadi idola baru para pemodal, dalam bukunya; Free to Choose : A Personal Statement (1980), memandang pasar sebagai arena pertemuan berbagai orang dengan kekuasaan setara, masing-masing berjuang untuk memperoleh pilihan terbanyak dalam hal yang mereka beli dan jual.

Agen pembaharuan ?

Para pemuja pemikiran pasar bebas ini mungkin tak pernah secara sengaja bersentuhan dengan pemikiran ekonom seperti Adam Smith (1723-90) yang tertuang dalam bukunya The Wealth of Nations (1776) . Buku yang kemudian menjadi teks standar ilmu ekonomi ini disebut sebagai ‘wasiat neoklasik’, karena ide Adam Smith sekarang ini masih saja disimak dengan penafsiran baru, dengan pendekatan paradigma budaya terkini, yang membuat MacDonald dan Coca Cola dipasarkan sebagai ‘agen pembaharuan’.

Bila menyimak edisi baru dari buku Smith ( judul aslinya cukup panjang : An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations, Oxford: Clarendon Press, 1976), Smith bahkan masih mengharapkan negara mendukung kesejahteraan publik dan tidak begitu saja menyerahkan potensi pasar pada pemodal. Smith juga berharap pasar dikendalikan dengan bijaksana, sehingga pasar itu bisa melayani kepentingan sosial yang bermanfaat bagi masyarakat.

Fenomena kehadiran hipermarket yang menjamur di mana-mana, sepintas lalu kebutuhan, karena konsepnya yang terpadu. Namun pada perspektif yang lebih luas, hal ini mengancam kelangsungan pasar tradisional. Ketua Umum Asosiasi Pedagang Pasar Tradisional Indonesia (APPSI), Ibih Hasan mengatakan, bila keberadaan hipermarket dibiarkan menjamur seperti sekarang, dalam delapan tahun ke depan Seluruh pasar tradisional di Indonesia yang berjumlah sekitar 13.650 unit terancam mati.

Ibih Hasan juga mengatakan , pertumbuhan pasar tradisional saat ini telah mencapai minus delapan persen, sedang pertumbuhan hipermarket yang aktif berkembang hingga ke wilayah pelosok, tumbuh membesar sebanyak 31,4 persen. "Itu penelitian dari AC Nielsen," katanya. Oleh karena itu, dalam delapan tahun mendatang sekitar 12,6 juta pedagang pasar tradisional ditambah masing-masing rata-rata dua pegawai dan empat anggota keluarganya terancam kehilangan pendapatan dan jatuh miskin.

Sejarah pasar tradisional sendiri tak hanya melulu berisi aktifitas ekonomi belaka, namun juga kental dengan aroma politik. Bahkan pemerintah kolonial Belanda pun menyadari benar potensi pasar sebagai ‘pintu masuk’ untuk meraih simpati rakyat. Di tahun ’30-’30-an mereka memfasilitasi ‘pasar rakyat’ yang disebut Jaarmarkt yang setiap tahun digelar di kawasan Gambir .

Bahkan belum hilang pula dari ingatan kita, betapa pasar juga menjadi panggung aktifitas politik ketika berlangsung pemilihan umum presiden yang baru ssaja usai. Di media massa kita lihat berbagai aksi para calon presiden yang berlomba berkunung ke pasar tradisional. Mereka tahu benar bahwa pasar adalah salah satu simpul perhatian masyarakat. Kunjungan ke pasar tradisional dilakukan untuk meraih citra ‘merakyat’.


  • Heru Emka, peminat kajian budaya -

Rabu, 22 Juli 2009

Musik Etnik


Maestro Gending Semarangan


Oleh : Heru Emka



Bila menyebut nama (almarhum) Ki Nartosabdho, biasanya orang lebih sering membicarakan sebagai seorang dalang ternama. Padahal Ki Nartosabdho juga serorang maestro gendhing Jawa populer, bahkan dianggap sebagai pelopor seni karawitan gaya baru (gagrak anyar). Hal inilah yang hingga sekarang sering dilupakan.

Setting budaya dalam kehidupan sosial di Jawa Tengah pada awal tahun ’50-an, yang perlahan-lahan menyerap wacana modernisme yang mulai mengembang sebagai konsekuensi dinamika sosial politik yang terjadi paska Kemerdekaan, membuat gending Jawa tradisional, yang bersumber pada tradisi tembang macapatan tradisi literer Keraton seperti Serat Wulangreh atau Wedhatama, tersaingi oleh kemunculan gending-gending Jawa populer yang lebih cepat akrab di telinga masyarakat.

Gending Jawa populer yang diciptakan oleh Ki Nartosabdho ini, sebenarnya juga merupakan respon musikal Ki Narto sebagai seorang budayawan Jawa terhadap suasana kultural-politik yang ‘baru’. Ki Narto sebagai inovator gending Jawa, memilih melakukan pendekatan yang populis Maraknya lagu-lagu pop sebagai klangenan baru masyarakat di perkotaan Jawa tengah membuat popularitas gending Jawa ( yang punya porsi dan penggemar tersendiri, seperti sajian acara Uyon-Uyon yang dulu disiarkan secara rutin di RRI Semarang, misalnya) sedikit demi sedikit mulai ditinggalkan.

Ki Nartosabdho yang ingin agar gending Jawa tetap diminati masyarakat, pun membuka diri terhadap berbagai kemungkinan yang bisa memperkaya wacana musikal gending Jawa, dengan membentuk grup karawitan Condong Raos di tahun 1961 dan menciptakan inovasi yang menyegarkan. Selain melakukan pengayaan pada model tempo dan ‘sinkopasi’ kendangan yang lebih dinamis – dalam hal ini Ki Narto bahkan dikenal sebagai maestro kendang yang jempolan -, dia juga membuka diri terhadap warna musik lain, baik yang berasal dari Barat (samba) atau pun gaya musik etnis kita lainnya, seperti gaya karawitan Sunda, Bali atau Jawa Timur-an.

Maka Ki Nartosabdho pun dikenali dengan gending gagrak anyar ciptaannya, yang antara lain bertempo cepat dalam suasana yang sigrak (dinamis), dengan durasi yang lebih pendek ( hampir menyamai durasi rata-rata lagu pop Indonesia), serta lirik lagu yang lebih ngepop, yang berkisah tentang peristiwa dan pengalaman yang bersifat personal dalam keseharian hidup manusia Jawa modern. Maka, gending Ki Nartosabdho pun segera menandai kebangkitan gendhing Jawa Populer.

Sebut saja beberapa judul gending ciptaannya, seperti Swara Suling, Praon,- yang dalam buku Gending Jawi soho Dolanan Gagrak Enggal anggitanipun Ki Nartosabdho, (diterbitkan untuk memperingati 4 windu Paguyuban Ngesti Pandowo, 1969) tertulis dengan judul Ayo Praon, juga gending lainnya : Aja Lamis, Sapu Tangan, Kembang Glepang, Glopa-Glape atau Lumbung Desa,- pun menjadi hit abadi yang hingga sekarang ini masih diputar di radio dan dimainkan – tak saja di berbagai pagelaran kesenian Jawa – namun juga dibawakan dalam irama pop, keroncong atau jaipongan. Gending Swara Suling bahkan pernah dimainkan oleh Tamam Husein dan Bubi Chen dalam irama jazz.

Sebagai seniman dengan pribadi yang hangat, humoris dan romantis, Ki Narto juga piawai mencipta gending percintaan seperti Aja Lamis, Mari Kangen, Sapu Tangan, Janjine Piye, Aku Ngimpi dan sebagainya. Nuansa keseharian orang Jawa yang merasuki jaman modern pun terasa pada gending Lesung Jumengglung, Bemo Semarang dan sebagainya. Sebagai dalang kondhang, Ki Narto amat piawai menampilkan gaya bahasa yang hidup, ungkapan yang segar, dan iidiom bahasa yang menggigit. Dalam gending Kembang Glepang yang bergaya Banyumasan itu, dia menampilkan idiom bahasa yang tak kalah greget dengan sastrawan Indonesia terkemuka, seperti ‘ nyumbang geni sak wuwungan, nyumbang banyu sakuranjang’.

Sungguh nuansa yang absurd bila kita menelan begitu saja aforisma dalam lagu ini tentang ‘ menyumbang api sebubungan rumah ( yang amat berbahaya) atau menyumbang air sekeranjang ( jelas sia-sia karena airnya pasti terbuang semua). Ini menunjukkan bila Ki Narto sungguh piawai bermain pasemon. Gending Glopa-Glape misalnya, yang berkisah tentang para binatang yang lupa diri, secara jenaka merupakan pasemon dan sebuah kritik sosial yang menyindir perilaku serakah serta nafsu kuasa yang tak terkendalikan yang pada akhirnya hanya membawa kebinasaan.

Musikolog Judith Becker dalam bukunya; Traditional Music in Modern Java ( The University Press of Hawaii, 1980) menyebutkan bila kemampuan menciptakan gending-gending popular yang diterima oleh masyarakat Jawa secara luas membuat Pemerintah kemudian menggandengnya untuk menciptakan gending yang bisa mengajak masyarakat luas untuk menjadi ‘partisipan aktif pembangunan’ ( ini memang istilah politik khas Pemerintah Orde Baru). Beberapa gending ciptaannya seperti Sensus Pertanian, Transmigrasi, Bahagia KB atau Eka Prasetya Panca Karsa pun menunjukkan bahwa Ki Narto juga diakui Pemerintah sebagai komposer (pangrawit) penting, bahkan gending seperti Identitas Jawa Tengah penciptaannya diawali dengan sebuah SK dari Gubernur Jawa Tengah pada waktu itu. Maka secara unik Ki Nartosabdho juga mengalami relasi pujangga dan patron penguasa, sebagaimana yang terjadi pada para pujangga istana seperti Mpu Sedah atau Mpu Panuluh di jaman dulu.

Walau begitu, bila kita cermati benar semua gending yang diciptakan oleh Ki Nartosabdho menghembuskan nafas kerakyatan yang kuat. Seniman yang dilahirkan pada tahun 1925 di desa Wedi, Jawa Tengah ini lebih bangga dengan perannya sebagai seorang pengendang dan dalang, sama sekali jauh dari pretensi untuk menjadi seorang ‘pujangga penguasa’. Kini, 24 tahun sepeninggalnya ( penerima Bintang Mahaputra ini meninggal dunia pada 7 Oktober 1985) gending gending ciptaannya masih mewarnai blantika musik Indonesia. Banyak sudah bermunculan dalang-dalang kondang yang memadukan seni karawitan dengan peralatan musik elektronik, yang bermaksud menghadirkan idiom musikal yang baru bagi pagelaran wayang mereka. Namun keunggulan Ki Nartosabdho sebagai maestro gending gaya Semarangan, hingga kini belum tergantikan.

Heru Emka, peminat kajian budaya, tinghgal di Semarang.

Musik Etnik


Maestro Gending Semarangan


Oleh : Heru Emka



Bila menyebut nama (almarhum) Ki Nartosabdho, biasanya orang lebih sering membicarakan sebagai seorang dalang ternama. Padahal Ki Nartosabdho juga serorang maestro gendhing Jawa populer, bahkan dianggap sebagai pelopor seni karawitan gaya baru (gagrak anyar). Hal inilah yang hingga sekarang sering dilupakan.

Setting budaya dalam kehidupan sosial di Jawa Tengah pada awal tahun ’50-an, yang perlahan-lahan menyerap wacana modernisme yang mulai mengembang sebagai konsekuensi dinamika sosial politik yang terjadi paska Kemerdekaan, membuat gending Jawa tradisional, yang bersumber pada tradisi tembang macapatan tradisi literer Keraton seperti Serat Wulangreh atau Wedhatama, tersaingi oleh kemunculan gending-gending Jawa populer yang lebih cepat akrab di telinga masyarakat.

Gending Jawa populer yang diciptakan oleh Ki Nartosabdho ini, sebenarnya juga merupakan respon musikal Ki Narto sebagai seorang budayawan Jawa terhadap suasana kultural-politik yang ‘baru’. Ki Narto sebagai inovator gending Jawa, memilih melakukan pendekatan yang populis Maraknya lagu-lagu pop sebagai klangenan baru masyarakat di perkotaan Jawa tengah membuat popularitas gending Jawa ( yang punya porsi dan penggemar tersendiri, seperti sajian acara Uyon-Uyon yang dulu disiarkan secara rutin di RRI Semarang, misalnya) sedikit demi sedikit mulai ditinggalkan.

Ki Nartosabdho yang ingin agar gending Jawa tetap diminati masyarakat, pun membuka diri terhadap berbagai kemungkinan yang bisa memperkaya wacana musikal gending Jawa, dengan membentuk grup karawitan Condong Raos di tahun 1961 dan menciptakan inovasi yang menyegarkan. Selain melakukan pengayaan pada model tempo dan ‘sinkopasi’ kendangan yang lebih dinamis – dalam hal ini Ki Narto bahkan dikenal sebagai maestro kendang yang jempolan -, dia juga membuka diri terhadap warna musik lain, baik yang berasal dari Barat (samba) atau pun gaya musik etnis kita lainnya, seperti gaya karawitan Sunda, Bali atau Jawa Timur-an.

Maka Ki Nartosabdho pun dikenali dengan gending gagrak anyar ciptaannya, yang antara lain bertempo cepat dalam suasana yang sigrak (dinamis), dengan durasi yang lebih pendek ( hampir menyamai durasi rata-rata lagu pop Indonesia), serta lirik lagu yang lebih ngepop, yang berkisah tentang peristiwa dan pengalaman yang bersifat personal dalam keseharian hidup manusia Jawa modern. Maka, gending Ki Nartosabdho pun segera menandai kebangkitan gendhing Jawa Populer.

Sebut saja beberapa judul gending ciptaannya, seperti Swara Suling, Praon,- yang dalam buku Gending Jawi soho Dolanan Gagrak Enggal anggitanipun Ki Nartosabdho, (diterbitkan untuk memperingati 4 windu Paguyuban Ngesti Pandowo, 1969) tertulis dengan judul Ayo Praon, juga gending lainnya : Aja Lamis, Sapu Tangan, Kembang Glepang, Glopa-Glape atau Lumbung Desa,- pun menjadi hit abadi yang hingga sekarang ini masih diputar di radio dan dimainkan – tak saja di berbagai pagelaran kesenian Jawa – namun juga dibawakan dalam irama pop, keroncong atau jaipongan. Gending Swara Suling bahkan pernah dimainkan oleh Tamam Husein dan Bubi Chen dalam irama jazz.

Sebagai seniman dengan pribadi yang hangat, humoris dan romantis, Ki Narto juga piawai mencipta gending percintaan seperti Aja Lamis, Mari Kangen, Sapu Tangan, Janjine Piye, Aku Ngimpi dan sebagainya. Nuansa keseharian orang Jawa yang merasuki jaman modern pun terasa pada gending Lesung Jumengglung, Bemo Semarang dan sebagainya. Sebagai dalang kondhang, Ki Narto amat piawai menampilkan gaya bahasa yang hidup, ungkapan yang segar, dan iidiom bahasa yang menggigit. Dalam gending Kembang Glepang yang bergaya Banyumasan itu, dia menampilkan idiom bahasa yang tak kalah greget dengan sastrawan Indonesia terkemuka, seperti ‘ nyumbang geni sak wuwungan, nyumbang banyu sakuranjang’.

Sungguh nuansa yang absurd bila kita menelan begitu saja aforisma dalam lagu ini tentang ‘ menyumbang api sebubungan rumah ( yang amat berbahaya) atau menyumbang air sekeranjang ( jelas sia-sia karena airnya pasti terbuang semua). Ini menunjukkan bila Ki Narto sungguh piawai bermain pasemon. Gending Glopa-Glape misalnya, yang berkisah tentang para binatang yang lupa diri, secara jenaka merupakan pasemon dan sebuah kritik sosial yang menyindir perilaku serakah serta nafsu kuasa yang tak terkendalikan yang pada akhirnya hanya membawa kebinasaan.

Musikolog Judith Becker dalam bukunya; Traditional Music in Modern Java ( The University Press of Hawaii, 1980) menyebutkan bila kemampuan menciptakan gending-gending popular yang diterima oleh masyarakat Jawa secara luas membuat Pemerintah kemudian menggandengnya untuk menciptakan gending yang bisa mengajak masyarakat luas untuk menjadi ‘partisipan aktif pembangunan’ ( ini memang istilah politik khas Pemerintah Orde Baru). Beberapa gending ciptaannya seperti Sensus Pertanian, Transmigrasi, Bahagia KB atau Eka Prasetya Panca Karsa pun menunjukkan bahwa Ki Narto juga diakui Pemerintah sebagai komposer (pangrawit) penting, bahkan gending seperti Identitas Jawa Tengah penciptaannya diawali dengan sebuah SK dari Gubernur Jawa Tengah pada waktu itu. Maka secara unik Ki Nartosabdho juga mengalami relasi pujangga dan patron penguasa, sebagaimana yang terjadi pada para pujangga istana seperti Mpu Sedah atau Mpu Panuluh di jaman dulu.

Walau begitu, bila kita cermati benar semua gending yang diciptakan oleh Ki Nartosabdho menghembuskan nafas kerakyatan yang kuat. Seniman yang dilahirkan pada tahun 1925 di desa Wedi, Jawa Tengah ini lebih bangga dengan perannya sebagai seorang pengendang dan dalang, sama sekali jauh dari pretensi untuk menjadi seorang ‘pujangga penguasa’. Kini, 24 tahun sepeninggalnya ( penerima Bintang Mahaputra ini meninggal dunia pada 7 Oktober 1985) gending gending ciptaannya masih mewarnai blantika musik Indonesia. Banyak sudah bermunculan dalang-dalang kondang yang memadukan seni karawitan dengan peralatan musik elektronik, yang bermaksud menghadirkan idiom musikal yang baru bagi pagelaran wayang mereka. Namun keunggulan Ki Nartosabdho sebagai maestro gending gaya Semarangan, hingga kini belum tergantikan.

Heru Emka, peminat kajian budaya, tinghgal di Semarang.

Film Robotik


Transformasi, Mitos dan Mimpi Terkini

Oleh : Heru Emka

heruemka@yahoo.com


Hollywood baru saja merayakan sukses komersial film Transformer 2 : Revenge of The Fallen, yang memang sedang dinantikan oleh para pecinta film laga bergenre scifi.

Dalam film berdurasi 149 menit, garapan Michael Bay ini, memang tergambarkan adegan pertempuran dahsyat antara para mahluk alien yang berbentuk robot, dari kubu Autobot dan Deception, dengan segala bentuk kecanggihan mereka untuk mentransormasikan diri, dari penyamaran dalam bentuk aneka mobil, dalam wujud aslinya sebagai robot gigantik dengan daya penghancur tinggi.

Salah satu pimpinan robot antagonis, The Fallen, bahkan berencana untuk menghisap energi matahari untuk berkuasa dan memusnahkan bumi. Untunglah pimpinan robot protagonis, Optimus Prime beserta kelompoknya berpihak pada Pentagon untuk menyelamatkan bumi dari kehancuran. Kita lepaskan sejenak jalan cerita yang memang digagas untuk melariskan mobil mainan produksi Hasbro, juga tanpa berpikir, kenapa semua alien yang saling bermusuhan ini, sama sepakat untuk menyamar dalam berbagai bentuk kendaraan yang ada di AS ? Yang jelas terbaca dari tren film seperti ini adalah betapa budaya pop Amerika berhasil mendesakkan konsep transformasi ( dari pemuda lugu bernama Clark Kent menjadi mahluk super kuat bernama Superman, dan seterusnya) sebagai bagian dari harapan dan mimpi panjang untuk menjadi pemenang.

Mitos tentang kesaktian para dewa di jaman dulu, oleh industri budaya pop kini dengan sukses diterjemahkan sebagai semua keutamaan dan keunggulan manusia super ( hasrat untuk mengatasi keterbatasan fisik manusia) berikut perluasan fantasi akan robot (perlambang harapan akan kemampuan mempersekutukan teknologi) dalam sejarah panjang Hollywood. Di dunia nyata, visi manusia terhadap pengembangan robot memang kian meningkat, dan di layar perak, metamorfosa fisikal robot dan kecerdasan buatannya melaju lebih kencang, dari bentuk Manusia Kaleng (Tin Man) dalam Wizard of Oz hingga cyborg penyelamat bumi dalam Terminator 2.

Sebelumnya para penulis fiksi ilmiah seperti H.G. Wells, Francis Flagg atau Karel Capek telah memulai ekpslotasi imajinernya tentang ‘mesin yang hidup’, yang dihadirkan secara visual oleh para sutradara film, dengan penafsiran dan dramatisasi sebegitu rupa hingga lebih dinikmati daripada sekedar gambaran fantasi semata.

Keresahan psikologis masyarakat industri

Kecemasan ini (terhadap salah fungsi teknologi ) lantas menjadi tema dalam berbagai film tentang robot, dianggap sebagai keresahan psikologis tersendiri bagi masyarakat industri. Otomatisasi yang menghalau peran manusia memuncak pada dramatisasi perebutan kekuasaan oleh para robot terhadap manusia. Dalam wacana budaya pop seperti komik atau novel sci-fi, robot banyak digambarkan dalam berbagai bentuk dan penampilan yang beragam, mulai dari pelayan yang patuh dan efisien hingga sebagai mesin pintar yang ‘jahat’ dan merancang ‘penghianatan’ sistematis terhadap penciptanya.

Dalam film Forbidden Planet (1956), si robot bernama Robbie adalah sahabat yang setia. Maria, robot ‘perempuan’ dalam Metropolis, bahkan tampil sebagai robot seksi yang pertama kali. Serial Star Wars-nya George Lucas memberikan gambaran robot gemuk R2D2 (baca : artuditu) yang mengingatkan kita akan peranan paea punakawan dalam kisah wayang.

Transformasi robot dari sebuah mesin semata menjadi mahluk-setengah-manusia baru muncul dalam film Blade Runner karya Ridley Scott. Dalam film ini, digambarkan bahwa manusia sudah terbiasa hidup berdampingan dengan cyborg (manusia setengah robot). Para cyborg di film ini tak saja bisa melakukan kejahatan, namun juga bisa menjalin hubungan cinta den gan manusia.

Tema ini lalu digambarkan ikut membelah kepribadian manusia, kemudian memicu dilema moral. Problematika antara hubungan robot dan manusia pun mengalami babak baru dalam film Hollywood. Tak lagi sebatas budak dan tuannya, atau seperangkat mesin dan teknisi penciptanya, namun juga berada dalam suatu kondisi krisis yang mengancam keutuhan identitas manusia, baik secara moral atau psikologis.

Gene Rodenberry, penulis cerita fiksi ilmiah Star Trek, mengatakan, “ Dalam wacana fiksi-ilmiah, robot tak lagi diberi identitas sebagai sebuah benda serba guna, namun kemudian dijelmakan juga sebagai perluasan sifat manusia itu sendiri (extension of man) yang sebenarnya amat didambakan, namun tak bisa terwujud dalam kenyataan. Robot bisa melakukan berbagai hal yang tak bisa dilakukan oleh manusia, karena keterbatasan fisik dan kemampuan manusia. Gagasan awal tentang cyborg dan para humanoid (mahluk buatan yang ben tuknya seperti manusia ) lainnya adalah awal dari penggambaran mimpi kita sendiri, untuk menjadi mahluk super yang melampaui keterbatasan fisiknya.”

Apa yang diungkapkan oleh Roddenberry dalam Science Fiction and Borders menunjukkan eksistensi kekinian yang tak saja terjadi di ranah fiksi, namun dalam realitas teknologi. Moralitas kloning dan pencangkokan indera buatan pada mnusia kini mulai menjadi ‘mainan’ yang digemari para ilmuwan. “ Semua diilhami pesona khayali film fiksi ilmiah yang selama ini telah melenakan manusia di seluruh dunia, “ ujarnya lagi.

Dilema emosional yang terjadi saat manusia berinteraksi dengan para robot, tadinya memang hanya sebatas bumbu cerita semata, agar film robot bisa nyantol di hati penontonnya. Upaya lebih jauh lagi untuk mempertajam konflik kepribadian manusia yang tercekam situasi robotik justru dilakukan oleh Hollywood dengan memadukan bentuk fisik robot dengan emosi humanis, seperti kita lihat dalam film Robocop. Dalam film garapan sutradara Irvin Kershner ini, aktor Peter Weller berperan sebagai seorang polisi yang sengaja ‘dicangkokkan’ dalam tubuh robot. Yang muncul adalah tahapan hidup tragis, tentang bagaimana perasaan seseorang yang amat sadar dirinya terpenjara dalam sebuah mesin, sementara memorinya sebagai manusia masih tersisa dan berjuang keras untuk melawan program komputer yang berusaha mendesak kesadarannya sebagai manusia ke tingkat yang paling rendah.

Karena film robot telah menjadi genre tersendiri yang memiliki penonton fanatik dari segala usia, Hollywood terus memperbaharui tema-tema yang bisa diangkat untuk mengemas film robot menjadi tontonan yang laris manis di pasaran. Dalam film robot produksi Pixar; Wall-E, para robot digambarkan bisa mengembangkan kecerdasan buatannya sendiri hingga mencapai tahap empati. Bahkan bisa jatuh cinta segala. .

Sebuah ‘percintaan mekanik’ seperri ini pasti cukup unik, karena apakah yang mendasari perasaan cinta robot ? Bagaimanakah mereka mengidentifikasi ‘lawan jenisnya’ ? Apakah berdasarkan pesona seksual seperti manusia ? Atau apakah ada logika cinta yang sama sekali berbeda ? Inilah babak baru ‘dunia robot’ di layar Hollywood.