Sabtu, 22 Agustus 2009

Metamorfosa Kursi


Oleh : Heru Emka


Selain para disainer interior, ternyata cukup banyak yang memikirkan kursi ? Ya kursi yang kita kenal sebagai benda yang bertebaran dalam realitas kehidupan sehari-hari kita, ternyata juga tak lepas dari muatan mitos yang tersendiri. Dalam pengertian sehari-hari, kursi memang lebih dinikmati secara fungsional : sebagai tempat duduk, sehingga betapapun narsisnya seseorang, dia tak bakalan memamerkan kursinya sebagai sebuah kesatuan tunggal, melainkan perangkat furniture dalam ruang dan bagian secara keseluruhan.

Namun makna kursi terkadang jadi lebih penting dibanding perangkat mebel lainnya, karena kursi punya makna simbolis yang tak dimiliki oleh mebel lainnya, yakni sebagai perlambang dari kekuasaan. Negasi kekuasaan, yang bisa diperluas sebagai jabatan atau kedudukan ( tak saja secara semiotik atau pun ragawi ) namun secara kultural, sudah lama ekstensi makna ‘duduk’ dan ‘kursi’ bertautan erat dengan kekuasaan atau penguasaan. Dalam istilah perang atau dalam wacana politik imperialisme misalnya, ‘menduduki’ berarti ‘menguasai’. Bukan sekedar duduk-duduk santai di suatu tempat.

Kata kursi sendiri berasal dari bahasa Arab, kursiyun. Dalam konteks yang berbeda, untuk mengacu makna simbolik kursi yang cukup penting, dalam Al Qur’an bahkan terdapat salah satu ayat yang bernama Ayat Kursi. Sejak awalnya, dalam bahasa Arab, arash kurshi diartikan sebagai sebagai tempat yang maha tinggi dan agung, sebuah lapisan prima mendekati puncak, di mana satu level di atasnya lagi tempat Tuhan bertahta.

Betapa kursi menempati konstelasi tersendiri dalam sejarah kebudayaan juga nampak dari perjalanan rekonstruksi makna kata ‘duduk; itu sendiri. Misalnya, ‘duduk’ yangt dilakukan orang pada obyek yang tersedia di alam; di atas batu, batang pohon yang tumbang dan sebagainya, yang mengacu pada bentuk penguasaan subyek.. Kebiasaan duduk bersama di lantai yang dilakukan oleh masyarakat nomaden, yang menghembuskan nafas demokrasi, segera berakhir pada era budaya kerajaan, di mana kursi mulai digunakan untuk kepentingan legitimasi kekuasaan. Hanya para penguasa saja ( raja, ratu, sultan dan sebagainya ) yang berhak duduk di atas kursi ( singgasana ). Para bawahan cukup duduk di lantai. Bahkan para penjaga keamanan yang berperan penting menjaga keselamatan raja pun harus berdiri. Kursi hanya punya pemilik tunggal :

Penguasa.

Lambang eksistensi

Awal mitos kursi sebagai legitimasi kekuasaan tak saja terlacak di Eropa, pada Abad Pertengahan, namuna juga pada berbagai bentuk kebudayaan tinggi di AQsia, Afrika (Mesir kuno) dan Amerika Latin pada masa sebelum era penaklukan para conquistador Eropa. Dengan masyarakat yang memuja berbagai bentuk lambang yang alegoris, kursi mengalami pemaknaan yang lebih jauh. Misalnya dianggap sebagai lambang pijakan manusia pada bumi atau lambang eksistensi, sedangkan sandarannya dipandang sebagai simbol kesenangan atau kemapanan. Karena kursi tidak dipandang dari sisi fungsionalnya semata, maka kreasi bentuk kursi menjadi tumpahan imaji dan ekspresi penafsiran si ‘seniman kursi’ pada bentuk dan gambaran yang ada dalam imajinasi mereka.

Seperti yang dilihat pada disain kursi Abad Pertengahan di Italia atau di Prancis, kursi hadir dengan disain yang canggih dan rumit, sarat dengan ukiran figuratif dengan detil yang bisa membuat iri seorang pematung. Perangkat lain yang mendukung seperti dudukan dan hiasan pembalut lengan kursi, terbuat dari kulit berhias indah aneka ragam ornament bordir bermotif Barok, yang – bahkan - oleh perancang busana seperti (mendiang) Gianni Versace. dijadikan sumber inspirasi fashion tanpa henti.

Rosalind Williams dalam The Dream of Mass Consumption ( dalam antologi Rethinking Popular Culture, yang disunting oleh Chandra Mukerji dan Michael Schudson ) menyebutkan bila selera disain interior orang kaya Prancis sebagai ‘ abazaar climates.. the universe in a garden’. Semua kehendak artitistik dijejalkan sedemikian rupa, sehingga menjadi campur-aduk gaya yang berlebihan.

Berbagai gaya yang ganjil juga mulai dirancang untuk memenuhi selera orang pada kursi, tak saja mewakili hasrat pada eksistensi diri, namun melebar pada pemenuhan hasrat imajinasi. Dari kursi malas yang mencerminkan hasrat akan kenikmatan waktu luang mereka, hingga kursi super malas, yang diberi ‘lubang spesial’, agar pemiliknya bisa menjalankan ‘hajat kecil’ tanpa harus beranjak dari kursi, hingga pada gagasan penciptaan kursi listrik sebagai sarana penghantar maut yang ‘berpenampilan akrab’.

Kursi kemudian juga menjadi penanda tersendiri bagi perkembangan budaya pop. Film Hollywood yang berjudul The Party (1968) justru menjadi ikon karena didalamnya menampilkan tiga kursi yang disainnya dianggap legendaris hingga kini, yakni kursi Swan, Egg dan Oxford. Ketiga kursi yang dirancang Arne Jacobsen ini masih dibarengi dengan disain kursi lain yang tak kalah jempolan, misalnya disain Cone, karya Verner Panton, yang menjadi ikon klasik dalam sejarah disain interior modern.

Saat sutradara Stanley Kubrick merencanakan menggarap film 2001 : A Space Odyssey – yang ikonik itu – dia bahkan mengumpulkan para disainer interior terkemuka untuk memprediksikan tren disain interior di tahun 2001. Film ini akhirnya menampilkan rancangan disain kursi merah karya Oliver Morgue, yang kemudian mengawali tren disain ‘kursi futuristik’.

Bagi Foucault (yang menjabarkannya dalam Power / Knowledge) bila mitos kursi, dalam relasi kekuasaan yang bermetamorfosa sebagai Negara, maka yang terjelma kemudian adalah superstruktur berikut segenap jaringan kekuasaan yang memodifikasikan semua konsep sosial, ekonomi dan kebudayaan dalam bentuk seolah-olah yang terekayasa. Seperti konsep Orde Baru tentang stabilitas, misalnya. Kursi ternyata bisa juga bukan sekedar ‘kursi’.


- Heru Emka – peminat kajian budaya, tinggal di Semarang -


Ilustrasi : Desfile del 1o. de Mayo en MoscĂș, Diego Rivera, 1956

Senjakala Pasar Tradisional Kita


Oleh : Heru Emka


Apa yang Anda pikirkan bila melewati sebuah pasar tradisional ? Jawabnya bisa jadi tergantung dari siapakah siapa Anda . Bila Anda anggota masyarakat biasa, mungkin Anda berpikir bahwa pasar adalah muara kegiatan jual-beli yang menjadi simpul kemampuan hidup masyarakat setempat. Seorang sosiolog atau antropolog melihat pasar sebagai muara interaksi sosial-ekonomi masyarakat, di mana berbagai lapisan bertemu dalam sebuah kebutuhan yang sama.

Seorang psikolog memandang pasar sebagai sarana untuk berinteraksi dengan anggota masyarakat lainnya, setidaknya mengenali dan terlibat dalam konsep komunikasi jual-beli. Bila Anda seorang arsitek, Anda akan melihat pasar sebagai sebuah ruang yang bisa menyatukan berbagai komunitas dalam sebuah ruang sosial yang nyaman. Dalam definisi yang paling sederhana, pasar menjelaskan sebuah lokasi fisik di mana komoditi dipertukarkan atau diperdagangkan. Sosiolog seperti Ellen Meiksins Wood dalam From Opportunity to Imperative: The History of the Market, menyatakan “hampir setiap definisi ‘pasar’ berkonotasi pada sebuah kesempatan. Dengan kata lain, pasar tak saja cermin geliat sebuah masyarakat, melainkan juga sebuah dokumentasi unik dari sebuah perjalanan sosial sebuah bangsa.

Dan pastilah, setiap pasar tradisional, memiliki karakternya sendiri. Hal ini akan lenyap bila Pasar Johar direnovasi menjadi ‘pasar modern’, karena himpunan spirit masyarakat akan musnah menjadi seonggok bangunan yang usang dan kumuh bila konsep renovasi itu ternyata tidak laku di masyarakat. Pembangunan komplek pertokoan Kanjengan yang gagal, seharusnya menjadi contoh nyata kegagalan Pemerintah dalam menata pasar tradisional.

Bukankah pangkal kisah kenapa pasar tradisional menjadi ‘lusuh’ juga bermula dari Pemerintah Daerah sendiri ? Maka ‘peremajaan’ dengan iming-iming kawasan pasar yang modern, bebas macet, ber-AC, sering menjadi alasan berbagai pihak membongkar pasar tradisional dan merubahnya menjadi pasar yang lebih menguntungkan mereka.

Memang, semakin bebas suatu pasar, semakin banyak barang dan jasa tersedia, semakin banyak pilihan bagi pedagang pun pembeli. Milton Friedman , yang menjadi idola baru para pemodal, dalam bukunya; Free to Choose : A Personal Statement (1980), memandang pasar sebagai arena pertemuan berbagai orang dengan kekuasaan setara, masing-masing berjuang untuk memperoleh pilihan terbanyak dalam hal yang mereka beli dan jual.

Agen pembaharuan ?

Para pemuja pemikiran pasar bebas ini mungkin tak pernah secara sengaja bersentuhan dengan pemikiran ekonom seperti Adam Smith (1723-90) yang tertuang dalam bukunya The Wealth of Nations (1776) . Buku yang kemudian menjadi teks standar ilmu ekonomi ini disebut sebagai ‘wasiat neoklasik’, karena ide Adam Smith sekarang ini masih saja disimak dengan penafsiran baru, dengan pendekatan paradigma budaya terkini, yang membuat MacDonald dan Coca Cola dipasarkan sebagai ‘agen pembaharuan’.

Bila menyimak edisi baru dari buku Smith ( judul aslinya cukup panjang : An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations, Oxford: Clarendon Press, 1976), Smith bahkan masih mengharapkan negara mendukung kesejahteraan publik dan tidak begitu saja menyerahkan potensi pasar pada pemodal. Smith juga berharap pasar dikendalikan dengan bijaksana, sehingga pasar itu bisa melayani kepentingan sosial yang bermanfaat bagi masyarakat.

Fenomena kehadiran hipermarket yang menjamur di mana-mana, sepintas lalu kebutuhan, karena konsepnya yang terpadu. Namun pada perspektif yang lebih luas, hal ini mengancam kelangsungan pasar tradisional. Ketua Umum Asosiasi Pedagang Pasar Tradisional Indonesia (APPSI), Ibih Hasan mengatakan, bila keberadaan hipermarket dibiarkan menjamur seperti sekarang, dalam delapan tahun ke depan Seluruh pasar tradisional di Indonesia yang berjumlah sekitar 13.650 unit terancam mati.

Ibih Hasan juga mengatakan , pertumbuhan pasar tradisional saat ini telah mencapai minus delapan persen, sedang pertumbuhan hipermarket yang aktif berkembang hingga ke wilayah pelosok, tumbuh membesar sebanyak 31,4 persen. "Itu penelitian dari AC Nielsen," katanya. Oleh karena itu, dalam delapan tahun mendatang sekitar 12,6 juta pedagang pasar tradisional ditambah masing-masing rata-rata dua pegawai dan empat anggota keluarganya terancam kehilangan pendapatan dan jatuh miskin.

Sejarah pasar tradisional sendiri tak hanya melulu berisi aktifitas ekonomi belaka, namun juga kental dengan aroma politik. Bahkan pemerintah kolonial Belanda pun menyadari benar potensi pasar sebagai ‘pintu masuk’ untuk meraih simpati rakyat. Di tahun ’30-’30-an mereka memfasilitasi ‘pasar rakyat’ yang disebut Jaarmarkt yang setiap tahun digelar di kawasan Gambir .

Bahkan belum hilang pula dari ingatan kita, betapa pasar juga menjadi panggung aktifitas politik ketika berlangsung pemilihan umum presiden yang baru ssaja usai. Di media massa kita lihat berbagai aksi para calon presiden yang berlomba berkunung ke pasar tradisional. Mereka tahu benar bahwa pasar adalah salah satu simpul perhatian masyarakat. Kunjungan ke pasar tradisional dilakukan untuk meraih citra ‘merakyat’.


  • Heru Emka, peminat kajian budaya -