Camera Lucida
dan Kebenaran Ganda Foto Berita
Banyak yang setuju setuju dengan Rolland Barthes, saat dia berkata bahwa gambar (foto berita ) sudah menjadi menu harian kita. Semiotika gambar selalu berhamburan dari berbagai media. Banyak dari semua ini yang merupakan pesan langsung (yang oleh Barthes diistilahkan sebagai ‘a message without a code’ , di mana kita tak memiliki ruang untuk mempersoalkan hubungan antara foto dan realitas.
Foto keluarga misalnya, jelas mengingatkan kita pada situasi sebenarnya yang pernah hidup dan terjadi di masa silam. Foto jurnalistik seperti pengibaran bendera Merah Putih yang pertama di Pegangsaan, 1945, atau foto-foto ilmiah yang menunjukkan realitas dengan segala detilnya, semua ini adalah jenis khas dari fotografi indeksial, yang dalam sudut pandang kajian budaya merupakan referensi dan korespondensi ikonik antara penanda fotografi dan obyeknya. Semua memberi kesaksian bagi kebenaran dalam sebuah foto.
Walau begitu, apakah semua orang yakin bila kebenaran dalam fotografi kini tak utuh lagi ? Apakah foto Gus Dur yang sedang ‘memangku’ seorang perempuan – yang pernah menjadi isu hangat media massa – adalah realitas yang sebenarnya ? Bagi Barthes, obyek yang direferensikan mungkin dijelmakan dalam gambar, sehiangga pemirsanya sampai pada kesan yang ilusif (direkayasa ) dan terperdaya (deceptive). Atau dalam Camera Lucida: Reflections on Photography. (London: Cape, 1980) Roland Barthes menyatakan “ The studium is the spectator's attraction, because of cultural background, interest, curiosity, to an image.” Dan “ unary" photographs (e.g., news photographs, war photographs, sociological photographs) as providing for the spectator of a lot of studium.
Kita pernah mengalami masa di mana sebuah foto dianggap mencerminkan kebenaran yang ada. Melihat foto karya Mendur Bersaudara yang menggambarkan seorang petani datang dan bersimpuh memeluk kaki Bung Karno misalnya, memang menggambarkan realitas yang sebenarnya : bahwa seorang petani bisa bertemu dengan seorang presiden yang benar-benar dekat dengan rakyat kecil. Terbuka, apa adanya.
Dengan perannya sebagai ‘duta kebenaran’, juru foto legendaris seperti Henri Cartier-Bresson memperlakukan kameranya tak ubahnya bagian dari eksistensinya. Dia dengan bangga menggambarkan kamera pertamanya, sebuah Leica (yang dibeli di Marseille di awal tahun ’30-an), sebagai ‘perluasan pandangan matanya’. Obyek yang dihasilkan Cartier melalui kameranya pun, membuat orang ikut menyaksikan jalannya sejarah, yang terjadi di tempat berbeda, di waktu berbeda : Pembebasan kota Paris dari Nazi, kekalahan kaum Nasionalis di Cina, pemakaman Gandhi, pembangunan Tembok Berlinm dan sebagainya.
Menggenggam kebenaran dan menyajikan kenyataan pun kemudian menjadi pedoman tunggal bagi foto-foto berita hingga setengah abad kemudian. Sampai sebuah foto dimanipulasikan, sehingga unsur realitas dengan mudah bisa direkayasa. ‘Foto’ yang menunjukkan lokasi pabrik senjata pemusnah masal di Irak, yang dijadikan pembenaran serangan AS, adalah rekayasa canggih teknologi digital imaging.
Nyatalah bahwa kecemasan Barthesa dalam Camera Lucida, bahwa foto berita juga rawan manipulasi, atau setidaknya dipermudah untuk menimbulkan berbagai bias penafsiran, terbukti.
Sekarang foto berita bahkan bisa menghadirkan sebuah representasi yang paradoksal. Misalnya foto para serdadu AS yang sedang meneropong Meulaboh. Bukan ini juga mengundang penafsiran kontras dari kehadiran mereka sebagai penolong dalam bencana tsunami Aceh ? Jangan-jangan mereka meneropong bagian terlemah dari pertahanan kita. Bukankah ketua BIN sendiri menyatakan bila kehadiran pasukan asing itu memiliki agenda tersembunyi ?
Manipulasi gambar fotografi ternyata berhasil mengecoh pemikiran banyak orang. Termasuk Umberto Eco, sang pemuka dalam pemikiran budaya pop kontemporer. Dalam Semiotics and the philosophy of language ( Bloomington: Indiana University Press, 1984, halaman 223), dia berpendapat bahwa foto tak pernah berdusta ("photographs can lie"). Dalam fotografi iklan misalnya, sebagai pengganti sebuah kebohongan, tersedia banyak metafora visual yang dibesar-besarkan, namun tak dianggap serius.
Nyatanya dalam foto berita – yang bahkan sengaja dibuat dengan niatan tertentu – selalu muncul trick effect. Bukankah foto para serdadu AS yang memondong anak korban tsunami di Aceh (foto sampul majalah Time di bulan Januari 2006),- menampilkan apa yang disebut Barthes sebagai systems of signification ? Ekspresi si prajurit AS yang ‘baik hati’ jelas merupakan signification (penciptaan tanda) yang amat kontras dengan keberingasan pasukan AS saat melantakkan kota Faluyah di Irak, misalnya. Inikah yang disebut sebagai kebenaran yang bermakna ganda, sebuah realitas paradoksal, yang oleh Barthes disebut sebagai ‘real unreality’.
Butuh penafsiran beragam
Mungkin yang selama ini luput dari pemikiran kita sebagai pemirsa awam foto berita adalah menafsirkan makna foto berita tidak secara tunggal. Marcia Eaton, dalam "Truth in pictures" (Journal of aesthetics and art criticism 39, 1980) berkata, “ Manipulasi foto berita yang diawali oleh CIA di tahun ’60-an, kini sudah menjadi wacana terselubung bagi kepentingan politis suatu pihak, baik itu negara, kelompok orang atau bahkan perusahaan besar yang berkuasa.” Foto jenasah Aldo Moro yang tewas ditembak kelompok Brigade Merah bahkan pernah menjadi bahan indoktrinasi kelompok kanan Italia, bagi kepentingan politik mereka.
Agaknya gagasan tentang perlunya multi tafsir bagi foto berita bisa menjadi sarana yang pas untuk mengapresiasi kondisi yang sebenarnya, dari apa yang ditampilkan oleh fotoberita itu sendiri. Foto yang merekam adegan dramatis dari penyerangan menara kembar Wolrd Trade Center yang sensasional tadi misalnya, menyimpan banyak tanda (stock of signs ) : Fakta yang mengacu pada begitu besar kebencian terhadap Amerika, atau strategi penyerangan teroris yang semakin canggih, atau fakta lainnya bahwa Amerika Serikat tak lebih cuma macan kertas , dengan pertahanan wilayah yang rapuh. Atau bahkan tak ada sebuah negara yang kebal serangan.
Walaupun foto ini diambil secara obyektif, murni lahir dari spontanitas seorang juru foto yang bersemangat mengabadikan peristiwa, seperti juru foto kondang lainnya (Robert Capa, SebastiĆ£o Salgado atau Henri Cartier-Bresson ), muncul banyak order bagi para fotografer Gedung Putih untuk menindak lanjuti foto dramatis ini dengan membidik ekspresi para korban, dan mempublikasikan kampanye global Amerika Serikat sebagai korban, yang kemudian menuntut keadilan, justru dengan menyerang Afganistan dan Irak. Ada begitu banyak foto yang sengaja di lansir ke berbagai media massa di AS, untuk mempersiapkan sebuah pembenaran bagi invasi mereka ke negara lain. Seperti dusta itu sendiri, foto yang dimanipulasikan hanya bisa tampil sebatas pesan-pesan visual yang digambarkan, namun tak berhubungan dengan kenyataan yang sebenarnya ( Heru Emka, peminat kajian budaya )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar