Senin, 14 Januari 2008


Post-Human

dan Tubuh yang Rawan

Saat memandang karya grafis Andre Tanama ( di atas) yang berjudul Hegemoni Teknologi, saya merasa bila karya cetak digital yang menjuarai Trienal Seni Grafis Indonesia II (2006) ini mendedahkan problematika tentang tubuh ( sekaligus posisinya yang mewakili kehidupan alamiah) dan posisinya yang semakin tak berdaya menghadapi cengkeraman teknologi. Sesosok tubuh dengan rambut bergelung (imaji dunia wayang, gambaran mitologis tubuh yang ideal) terduduk dengan tangan kanan tersilang di atas lutut yang tertekuk, sedang tangan kirinya menutupi muka. Seolah sedang memikirkan dilema yang pelik atau bahkan sedang berduka. Dia diapit oleh sosok tubuh bersayap (imaji ontologis malaikat) yang nampak melayang di atas gumpalan awan hitam.

Yang mencengangkan adalah wajah semua ‘mahluk’ itu mengerucut bagai tabung yang meruncing ke depan, bentuk yang mengesankan sebuah topeng oksigen bagi sebuah lingkungan yang tercemar berat. Dan itu bukanlah topeng, namun wajah kedua mahluk yang tak ubahnya mutan. Betapa hegemoni teknologi telah merembes ke ranah mitologis dan ontologis. Bukan ruang yang menjadi latar belakang adegan ini adalah cetak biru sebuah sirkuit terpadu ? .

Bagi saya, ruang yang disaksikan para pemirsa (viewer) karya grafis ini jelas mejadi sebuah ruang sosial . Saya bahkan merasakan korelasi antara pemirsa dengan realitas imajiner yang cukup representasional. Soal fakta yang menjadi fiksional, dengan realitasnya yang jauh atau dekat, ruang sosial yang tergambar dalam karya grafis Andre Tanama ini menunjukkan sebuah formasi sosial yang tumpang tindih : realitas teknologis yang merasuk hingga ke bidang wacana ontologis : Apakah tubuh yang tercangkok dengan perangkat teknologis masih menunjukkan keutuhan wacana kemanusiaan dan tetap menggenggam dominasi idea ketuhanan dalam realitas dan kondisi post human ?

Film Johnny Mnemonic mungkin menggambarkan situasi yang lebih radikal lagi. Data komputer yang amat besar di-download ke dalam ingatan Johnny, yang harus segera disampaikan ke alamat penerima, sebelum data itu merembes dan mencemari otaknya. Adegan fiksi tadi kini bahkan meluber dengan kenyataan seorang Derek ( 14 tahun ) dengan chip ( seukuran sebutir beras ) mikro komputer yang dicangkokkan ke lengannya, dan dihubungkan dengan sebuah database ADS (Apllied Digital Solution, sebuah perusahaan hi-tech di Florida, AS). Chip itu sendiri multi fungsi. Selain bisa memberikan informasi kesehatan Derek pada rumah sakit, juga bisa digunakan sebagai penyimpanan data personal Derek. Dan tentu saja chip itu sekaligus menjadi alat penentu posisi (global positioning device) yang bisa melacak ke manapun Derek berada.

Chip yang tertanam di lengan Derek memang belum menjadikan anak itu sebuah cyborg. Namun dengan sebuah chip yang tertanam di lengannya, Derek sudah menjadi anak yang ‘berbeda’. Tak saja secara fisik semata, karena tubuhnya harus diberi makna yang berbeda. Dia sedang dalam perjalanan menuju kondisi posthuman. Dalam konsep ini, tubuh tak lagi menjadi kunci utama dalam sebuah identitas biologis, namun sudah menjadi identitas ‘yang lain’. Atau dalam penjelasan Foucault, ‘tubuh pun menjadi sosok tak berdaya (inert mass) yang dikendalikan oleh berbagai wacana yang berpusat pada pikiran’.

Tubuh yang tak bahagia

Karena kendali wacana inilah, hasrat untuk menjadi tegap perkasa, langsing, cantik atau seksi kadang membuat orang rela menyakiti dirinya sendiri, melaparkan diri di luar kelaziman, atau memacu kerja otot tubuh di luar kewajaran normal. Hasrat untuk melebihi realitas tubuh yang alamiah ini juga membuat orang rela membelah tubuh untuk menggapai tubuh artifisial yang baru. Sekat antara badan dan pikiran semakin samar dengan anggapan bahwa yang berubah bukanlah tubuh material, melainkan hanya pengertian abstrak mengenai tubuh.

Salon-salon kecantikan semakin sibuk menawarkan mantera baru : pelayanan menghilangkan kerut wajah seketika, atau mencegah penuaan dini, seolah-olah mereka bisa menghentikan atau membalikkan waktu. Berbagai klinik pria juga menawarkan pemasangan protesa yang ditanam dalam kelamin pria, sehingga dia bisa ereksi kapan saja hanya dengan memencet tombol yang mengalirkan cairan ke batang phallus. Bisa on / off semaunya tanpa memikirkan bahaya bila ‘mesin seks’yang tertanam di tubuhnya itu mogok bekerja.

Dalam konsep pemikiran posthuman memang tak ada lagi perbedaan penting atau pemisahan mutlak antara eksistensi tubuh dengan simulasi komputer, atau penempelan daging dan pengeratan tulang. Batasan antara organisme biologis dan mekanis sibernetik sudah jalin menjalin. Bahkan di Beijing (Desember 2006) orang-orang merasa bangga dan merayakan kepalsuannya, dengan menyelenggarakan Miss Artificial Beauty ( Ratu Kecantikan Buatan ) yang pesertanya khusus perempuan yang sudah mempercantik diri dengan operasi plastik. .

Kita memang berhadapan dengan fakta , kini lah era ’kebangkitan tubuh’ sebagai bagian integral dari identitas moderen. Sayangnya gambaran tak utuh, karena seperti yang dikatakan Foucault dalam The Care of The Self (1986), bahwa ‘tubuh-tubuh yang tak bahagia’ (unhappy bodies ) sekaligus tampil sebagai tubuh yang rawan.

Bagai Narsisus yang tergila-gila pada diri sendiri, semakin banyak perempuan yang memandang pantulan dirinya dalam cermin dan menemukan betapa dirinya dikuasai hasrat untuk tampil secantik model dalam iklan televisi, walau sebenarnya kita paham juga betapa mudah kamera berdusta. Ide untuk memiliki tubuh yang prima, akhirnya malah menjajah tubuh itu sendiri, dan faktanya menunjukkan berbagai bentuk hasrat yang serba berlebihan (hyper desire ), setelah bisa mengencangkan lagi pipi yang kempot, semua bagian tubuh pun ingin dirombak : membesarkan - mengecilkan payudara, pinggang, paha, betis,- bahkan hingga restrukturasi virginitas.

Dalam sudut pandang kajian budaya, kita percaya bahwa pola pikiran masyarakat terefleksikan dalam tubuh. Problema kosmologi, gender, dan moralitas memang ikut menjelma sebagai persoalan-persoalan yang dialami tubuh. Tubuh fisik adalah juga tubuh sosial (the physical body is also social). Bahkan menurut Marcel Mauss, salah satu cara untuk mengetahui peradaban manusia adalah dengan berusaha mengetahui bagaimana masyarakat itu menggunakan tubuhnya. Tubuh adalah instrumen yang paling natural dari manusia, yang dapat dipelajari dengan cara yang berbeda sesuai dengan kultur masing-masing.

(Heru Emka, peminat kajian budaya, tinggal di Semarang )

1 komentar:

Anonim mengatakan...

hail mas heru, saya tidak tahu mau comment apa ne,...sebuah karya humanis kontemporer art dengan teknik line and shading old school, saya sudah posting gambar 'six feet under ke email mas heru, terima ksih banyak