“Le Poete Maudit”
Cerita Pendek Heru EmkaSenja diam-diam mengambang dan menghisap panas mentari yang mereda. Hawa sejuk di hotel berbintang lima itu pun menyelimuti tubuh, menghapus keringat yang disisakan terik siang di jalanan. Riuh rendah deru-debu, teriak seru, eskspresi wajah-wajah kaku yang berjarak hanya selemparan batu, segera teredam lapisan kaca ber-AC. Tiga lantai berikutnya adalah ruang luas yang nyaman berisi gumam lembut perempun. Kursi empuk yang berderet rapi, dan hadirin yang berbusana indah dan semerbak wangi.
Kontradiksi ini mengingatkan aku pada apologi sopir taksi,” Maaf pak, AC-nya baru ngadat. Padahal tadi pagi masih sehat .” Dari MP-4 di pinggang, Mick Jagger berdendang “ You can’t always get what you want.” 1)
Cukup banyak juga tuan dan nyonya kaya Jakarta yang saling bersapa ceria di sana, terpadu gaya hidup yang kini cukup diminati : mengoleksi benda seni (sekaligus menakarnya sebagai peluang inmvestasi). Di kursi deretan depan ada Erica Hesti Wahyuni, pelukis yang cepat tersohor sejak karyanya menjadi incaran kolektor. Ada juga Agus Dermawan T., pengamat seni rupa, beberapa kolektor, pemilik galeri, selebihnya wajah-wajah mewah yang belum kukenali.
Aku datang untuk bertemu Nurul Arifin. Artis yang satu ini mulai senang berburu lukisan, sejak wajahnya dilukis oleh Jeihan. Aku akan meminta dia untuk tampil sebagai bintang tamu di acara Jaya Suprana Show. 2) Coffe break baru lima menit mulai saat Nurul Arifin memberikan konfirmasi tanda jadi. Lalu seorang perempuan muda menghampiri dengan pesan seperti sebuah teka-teki : “ Masihkah nama ini ada dalam ingatasn ? Ja pense toi joue et nuit “ 3)
Pandangku penasaran menjelajah ruangan. Dan kulihat senyumnya saat dia melambaikan tangan. Ah..ah..Salindri Kuswardani. Anggota dewan dari partai XYZ, pengusaha muda yang naik daun di kota kami. Suka bicara ceplas-ceplos di media massa. Secara terbuka dia kritik kebijakan Gubernur yang dianggap menguntungkan para pendukungnya semasa Pilkada. Saat pihak yang merasa dirugikan berniat mengajukan tuntutan, Indri (begitu aku memanggilnya) tak gentar dan menantikannya di pengadilan. Namun seperti yang diduga oleh beberapa kalangan, tuntutan hukum itu tak pernah menjadi kenyataan. Pengacara kedua belah pihak sudah sepakat, untuk mengakhiri masalah dengan mufakat.
Setelah saling berjabat tangan dan bertukar basi-basi kesopanan, kami saling menatap wajah masing-masing, seakan melompati masa yang begitu lama memisahkan dan memberi kesan asing. Rasa ingin tahu berloncatan spontan, coba menakar apa yang masih tersisa dalam ingatan. Kelebat sinar mata sejak detik pertama, coba menengok lorong nostalgia. Menghitung seberapa banyak sisa keakraban yang terpendam.
“ Senang juga bisa ketemu lagi. Cukup lama ya kita tak jumpa. Mau kan ketemu lagi sama aku ?” tanyanya dengan sebuah senyum ceria.
“ Cukup lama juga. Kamu sudah jadi orang penting sekarang”
“ Kamu juga kan ? Aku tiga hari di sini, menjajaki kemungkinan membuka galeri. Bagaimana bila kita ngobrol nanti malam ? Bisa ?”
Begitulah. Jam delapan malam aku sudah ada di lobby, menanti Indri. Lalu muncullah dia dengan langkah kijang dalam gaun malam lace berwarna hitam. Belahan panjang di sisi kiri memberiku paha jenjang cemerlang bagai bulan sabit keperakan dalam selimut awan kelam. Lalu suasana bertukar dengan denting piano jazzy, di sebuah bar yang cozy. 4) Dan aku kembali tergoda untuk untuk berperan sebagai laba-laba di depan serangga. Apakah ini sebuah kesempatan atau jebakan ?
Dulu Indri masih mahasiswa Fakultas Sastra, dan aku salah satu penyair muda (bersama Bambang Soepranoto dan Nung Runua ) yang diundang untuk membaca sajak di acara Gairah Malam Bulan Purnama, di kampusnya. Ada beberapa mahasiswi lain yang segera jadi teman, seperti Ayu dan Widuri. Tapi aku paling terkenang Indri karena parasnya yang melankolis, seakan pandangannya dilaputi selaputtipis kesedihan. Karena itu aku kemudian menuliskan sajak untuknya : “ Adakah derita yang singgah tanpa sengaja, hingga senyuman begitu / singkat, bagai usia embun diserap surya ? Biar kucari melodi kata-kata / di heningmu. Dan benarkah redup sinar matamu tirai rahasia / dari sebuah mata air duka ? “
“ Well, pertemuan ini harus dirayakan dengan sebuah kesepakatan. Yang sudah biarlah lewat Kita bertemu dalam perspektif baru. Setuju ? “ katanya setelah mencicipi segelas mungil pinacolada 5).
“ Kau sepertinya sudah mengubur masa silam….”
“ Haruskah aku terus menjadi gadis sentimentilmu. Aku harus membuat hidup ini terus berjalan. Seperti kamu yang terus melangkah bersama gadis-gadismu.”
Sebuah adegan meloncat dari labirin ingatan : Aku berjalan mendekap pinggang Wieke, dan Indri melintas di depan dengan tawanya yang mendadak hilang, terhisap keberadaan kami berdua. Tak bisa kulupa wajahnya yang sedih dan bibirnya yang ternganga….
Padahal baru sebulan aku bersama Indri. Namun ego seniman menyodorkan sebuah kesombongan yang tak berguna. Paman Indri yang ajudan duta di Swedia bicara soal masa depan Indri dan ‘kemungkinannya’ bila dipertemukan dengan putera duta besar kita di Swedia. Yang paling naïf, semua ini diucapkan saat Indri bersamaku, secara demonstratif.
Perasaan tersinggung yang melambung dan harga diri yang melayang terlalu tinggi. Rasa marah yang membuat yang situasi yang salah kaprah bertambah parah. Lalu pertengkaran kecil yang beranak pinak dalam tempo singkat, berakhir dengan sebuah kalimat di sebuah surat : “ Kamu bukan kekasih yang tepat bagi seorang penyair, yang dikutuk untuk hidup hanya dengan cinta dan kata-kata. Bagiku apa gunanya berada di sorga bila tanpa kamu. Lebih baik aku terkutuk menjadi setan di neraka, tapi aku bahagia bila sempat memilikimu “
Lalu aku berusaha menghapus bayangan Indri. Dan berbagai nama mengisi hari-hari yang silih berganti. Tapi tak ada yang menyentuh sampai lubuk hati. Tak ada yang punya bibir tipis kepucatan seperti bibir Indri. Ah, pandangannya yang seperti kerjap sinar lilin di kejauhan malam. Angannya yang polos tentang masa depan. “ Aku ingin jadi istrimu, punya anak banyak, masak yang enak .” Benar-benar kepasrahan ombak, yang rela kehilangan daya saat mencumbu pantai. Tapi, sialan, kami bagai nyiur dan salju. Bukan asam di gunung dan garam di laut yang bertemu dalam belanga. Aku lari ke Jakarta, Cirebon dan Jogya untuk melupakan luka cinta. Aku bekerja silih berganti, untuk mencari situasi yang bisa membuatku lupa pada Indri.
Aku seperti kapal hantu, bergentayangan di samudera cinta, tanpa mengenal bandar atau kuala. Bagai nakhoda yang gila topan, aku selalu menghindari persinggahan. Empat kali aku merasa menemukan pelabuhan hati, tapi berulang kali digerogoti sangsi.
Saat aku mencoba jujur pada diri sendiri, yang muncul sebait puisi : “ di hidup yang begini sunyi, aku tak tahu / senantiasa keluh, menunggu yang menghapus duka / senantiasa rubuh, membuang rindu yang ada “ 6) Mabok mendamba cinta yang ternyata samar-samar saja, aku merasa bagaikan kelelawar yang “ di dingin malam aku berlagu, sinar purnama kawanku merindu, di suram kabut sendiri aku, di kelam maut aku menunggu” 7)
Tapi semua berubah tak terduga. Dan basa-basi yang terjadi sekarang ini tak bisa menghalangi kenangan yang seakan memancar deras dari pori-pori di tubuh kami. Beberapa kejap kemudian, tangan kami saling menggenggam. Sebuah nyanyian menyihir kami untuk sama mengayun langkah dalam dekapan. Stranger In The Night 8) mengalun dalam suara serak basah si penyanyi yang berleher jenjang. Kami bagai sepasang orang asing yang terdampar di tempat sama : di mana kesepian dan kerinduan saling membelit dan menyambar-nyambar.
“ Kok jadi pendiam sekarang ?,” katanya dalam dekapan.
“ Kamu jauh berubah. Tranquille, intelligent, sexy.” 9)
“ Tahu nggak, aku selalu menunggumu. Eh mana sikap mbelingmu dulu ? Aku
sudah tak menarik lagi ya ?.”
“ No, no, grosses mammelles, longies jambes ? “ 10)
“ Sialan. Es-tu occupe maintenant ?, 11) tanyanya lagi.
“ Aku kini tim kreatif di sebuah acara televisi. Omong-omong, siapakah kekasihmu,” aku bertanya sambil menduga.
“ Ada. Tapi sudah putus.”
“ Sorry..”
“ Lupakanlah. La danse me rechauffe, “ 12) desahnya sambil mendekatkan wajah. Dan terjasdilah peristiwa yang selalu dikisahkan dalam roman picisan. Sebuah kecupan pendek, berbuah ciuman panjang, dan kemudian tak ada yang perduli kronologi waktu ketika pristiwa di sebuah bar meloncat ke dalam kamar, di lantai enam. Walau kami saling menginginkan, ternyata masih saling coba mengulur kesabaran.
“Apa yang biasa terjadi pada pertemuan para mantan ? “
“ Mencari kenangan silam, mencicipi yang paling manis dalam ingatan “
“ Bisakah teraba setelah begitu lama ?”
“ Just a stupid memory. Tapi aku tak bisa melupakanmu. Jawablah sejujurnya. Masih adakah rasa cintamu untukku ?”
“ Entah bagaimana, aku pun tak bisa lupa. Kau bagai berdiri di luar waktu, dengan senyuman yang selalu mengambang dalam kenangan.”
“ Dan kau menciumku dalam hujan. Ciuman pertama yang tak bisa hilang dari kenangan. Aku memilih sendiri, agar suatu saat kita bisa bertemu lagi.”
“ Seperti ini ? “
“ Ya. Seperti ini “
“ Yang dilakukan oleh siapa saja yang dibakar api cinta ? “
“ Yang dilakukan siapa saja yang rela hangus terbakar api cinta. “
Apa mau dikata. Kadang logika tak berdiam satu sarang dengan gairah. Aku tak mengerti, atas nama apakah hasrat cinta yang mati kembali berkobar lagi. Rasa bersalah ? Atau penebusannya ? Saat lalu perlahan menghapus kalimat. Ketika intonasi nada kata-kata terdengar berat, bisikan pelan pun terdengar hangat. Lalu sentuhan demi sentuhan berbagi tempat. Kutemukan lautan membelah di tubuhnya, dan gelombang yang berpusar lalu menarikku, menghisapku ke dalam palungnya.
“ L’amour interdit,” 13) gumamku.
“ Mmm…le poete maudit,” 14) bisiknya parau.
Semarang – 2007
Setelah obrolan bersama Saroni dan Lestat.
Catatan :
1) Sebuah lagu hit The Rolling Stones. Diciptakan untuk menggambarkan perasaan Mick Jagger tentang penghiburan bagi rasa kecewa saat putus cinta dengan pacarnya.
2) Sebuah talk show televisi yang pernah disiarkan oleh stasiun TPI.
3)” Aku masih mengenangmu siang dan malam”
4) Istilah yang sering dipakai untuk menyebut suasana yang nyaman, mengasyikkan.
5) Nama sejenis cocktail yang berasa segar
6) Dari sajak Potret Diri, termuat dalam kumpulan puisi Tanda ( Balai Pustaka, 1982)
7) Dari sajak Kelelawar, dalam Tanda ( Balai Pustaka, 1982)
8) 8) Versi asli lagu ini ditulis oleh Ivo Robie dalam bahasa Kroasia, berjudul “Stranci u Noci’. Lirik bahasa Inggrisnya ditulis oleh Charles Singleton dan Rddie Snyder, tentang cinta dalam pandangan pertama. Lagu ini mendunia sejak meraih Golden Globe sebagai lagu terbaik dalam film A Man Get Killed (1967). Dinyanyikanulang oleh berbagai nama beken, dari Frank Sinatra, Shirley Bassey, James Brown dan sebagainya.
9) Tenang, cerdas, seksi
10) Payudara besar, paha yang jenjang ?
11) Apa kau sibuk sekarang ?
12) Dansa ini menghangatkan diriku
13) Cinta terlarang
14) Penyair yang terkutuk
Sorry friend, terpaksa cerpenku ikut diposting di euang yang seharusnya hanya bicaratentang fenomena budaya pop dengan segala sisinya. Tapi cerpen kan termasuk budaya pop juga kan. Kalau Erica Awuy yang meminta, lebih baik aku pura-pura tak berdaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar