Sabtu, 12 Januari 2008

Kecantikan sebagai mantera abadi

Dalam sebuah tayangan infotainmen, seorang presenter menanyakan alasan apakah yang membuat aktris BT mendadak tampil dengan wajah baru ? “ Bukankah dia sebelumnya sudah berwajah cantik ?” . “ Sebenarnya alasannya cukup sederhana. Perempuan kan selalu ingin tampil lebih cantik. Jadi apa salahnya kalo kita selalu berusaha mempercantik diri ? Kan yang melihat juga lebih senang kan ?,” jawab si artis yang bersangkutan.

Kecantikan, bagi siapa saja, selama ini memang menjadi semacam mantera abadi, yang tak pernah lekang pengaruhnya sejak awal peradaban manusia. Media cyber seperti Salon.com, dalam tajuk special section,- menampilkan artikel menarik tentang mitos keindahan para dewi kecantikan dari masa ke masa. Mulai dari Ratu Helena (Helen of Troy), Cleopatra hingga para selebritis belia Hollywood seperti Liv Tyler.

Ratu Helena yang secara sepihak dituding menjadi biang keladi pecahnya Perang Troya, menduduki peringkat pertama sebagai ‘perempuan tercantik didunia’, dengan dengan sorot mata indah yang ‘mengandung bius’, seperti digambarkan oleh pujangga Homerus. Ratu Mesir; Cleopatra, ada di peringkat kedua dengan resep istimewanya mandi susu plus madu, yang masih diadopsi oleh para perempuan sekarang ini. Posisi perempuan berikutnya yang dianggap membawa tren kecantikan adalah aktris tahun ’60-an; Raquel Welch, yang bentuk tubuhnya dianggap seindah Venus. Yang terakhir adalah citra dewi muda Hollywood : aktris Liv Tyler, yang dipandang mewakili kecantikan alami, jauh dari rekayasa fisik secara medis.

Menurut saya, yang menarik bukan apa atau siapa yang menghiasi galeri dewi kecantikan versi Salon, namun penjelasan bahwa definisi kecantikan telah bergeser maknanya, dari masa ke masa. Kecantikan yang semula dikagumi sebagai seni keindahan ( art of beauty , yang barangkali mewakili tahap pemikiran mitik ) bergeser sebagai ‘teknologi keindahan’ (science of beauty) yang mewujud lewat rekayasa kecantikan artifisial seperti bedah plastik, implan sel hidup atau terapi ozon dan sebagainya.Bagi para pendamba kecantikan, ‘science of beauty’ menjelma mantera baru, dengan ‘kuil’ yang baru : salon kecantikan yang ekslusif nan mewah, dengan peralatan moderen yang menggabungkan kemampuan medis rumah sakit spesial dengan kenyamanan pelayanan hotel berbintang lima.

Tubuh yang termodifikasi

Tubuh menjadi obyek baru bagi senirupa kecantikan, obyek utama sebuah modifikasi atas nama estetika. Dalam Body Modification (Mike Featherstone, Thousand Oaks, London 2000 ) disebutkan secara jitu bahwa ‘tubuh manusia akhirnya menjelma menjadi berhala baru dalam sudut pandang studi kebudayaan’.( The human body is the new fetish of cultural studies.)

Dalam antologi ini - menurut saya paling komprehensif untuk menjelaskan ‘hasrat’ dan ‘politik tubuh’- tak saja para feminis, namun juga psikoanalis, fenomenolog dan antropolog,- ikut mengembangkan teori yang tajam dan beragam tentang tubuh manusia. Menjadi cantik memang lebih menyenangkan (preferable). Menurut pemahaman aktris BT tadi, selama ini mereka yang cantik tak saja lebih mudah mendapatkan pasangan, namun juga pekerjaan, dan berbagai peluang dan kemudahan lainnya. Di sisi lain, konsep kecantikan sendiri telah direduksi oleh kepentingan kapitalisme. Versi kecantikan yang begitu beragam lalu diperas dalam sebuah defenisi yang seragam, versi kapitalisme perusahaan kosmetik atau lembaga yang merasa punya hak untuk menentukan wanita tercantik sedunia. Miss World, misalnya.

Masalahnya, haruskah ada kelompok tertentu yang punya legitimasi untuk menentukan kriteria kecantikan ? Dan bisakah kriterianya mewakili suatu obyektifitas ? Industri global yang menjadikan kecantikan dan keindahan tubuh sebagai isu panas, juga menunjukkan kecenderungan untuk bergerak secara homogen.

Belenggu, candu

Tokoh feminis postmodern seperti Julia Kristieva sendiri menganggap kecantikan sebagai rahmat sekaligus ‘kutukan’. “ Ada semacam belenggu kecanduan dalam konsep kecantikan, sehingga wanita tergoda untuk merantai dirinya dalam citra cantik, dan mengabaikan isu strategis lainya yang tak kalah penting dalam kehidupannya. Mereka menjadi boneka yang terantai dalam etalase kekaguman para pria,” ujarnya dalam Desire in Language ( Columbia University Press, 1982.

Saya memahami kegundahan feminis yang satu ini. Gairah para wanita untuk terus melakukan perombakan atas tubuhnya sendiri melalui berbagai upaya : bedah plastik, .body piercing, rekayasa prosthetik, proses neural implants, hingga metode pengobatan mutakhir nanoteknologi,- yang atas nama fashion dalam tahun-tahun terakhir ini, telah membuat mereka menjadikan tubuh sebagai tempat yang paling aktual untuk melakukan eksperimen.

“ Bila kecantikan menjadi mantera abadi, berikut mitos-mitos yang hampa dan tak relevan bagi aktualisasi diri, maka alangkah menderitanya tubuh wanita masa kini, “ begitu keluh Kathy Davis, dalam ' "My Body is My Art": Cosmetic Surgery as Feminist Utopia'. - The European Journal of Women's Studies. No 4: pp 23-37. (1997). Dan para korban mitos ini masih saja berjajar dalam jarak yang begitu panjang. Tak saja aktris BT yang mendadak saja muncul dengan bentuk hidung dan dagu yang berubah ( padahal wajah sebelumnya sudah cantik ) namun juga seorang ibu rumah tangga di sebuah kota kecamatan, seperti Mranggen, Demak. Pendapat tentang kecantikan kadang terasa begitu absurd, terutama bila kita berpikir bahwa kecerdasan, kearifan dan kelembutan perempuan juga merupakan kecantikan yang tiada tara …….

(Heru Emka – mitra perempuan )

.

Tidak ada komentar: