Sabtu, 12 Januari 2008


Logika Bonsai bagi Anak Kita

Oleh : Heru Emka


Televisi pernah dianggap sebagai penemuan terbesar dalam sejarah, dengan satu bukti : Pada 20 Juli 1969, Neil Armstrong menapakkan kakinya di bulan. Semua orang yang memiliki TV ikut menyaksikan langkah bersejarah ini di ruang tamunya. Pada saat itu, hampir semua pakar ilmu komunikasi menuetujui potensi dan ‘kuasa’ televisi untuk menyebarkan informasi, dan menyatukan orang untuk mencerapnya.

Harapan yang begitu besar ini ternyata berbalik arah 40 dasawarsa kemudian. Dr. Dimitri Christakis dalam bukunya; The Elephant in the Living Room: Make Television Work For Your Kids,- menyatakan bahwa TV ternyata lebih banyak menimbulkan lebih banyak masalah, daripada manfaat (produces more problems than it offers blessings). Dokter spesialis anak yang juga psikolog dan pengamat TV ini menyebutkan, bila orang tua sering salah duga tentang makna program TV terhadap para pemirsanya. Tadinya orang menduga bila kecenderungan orang tua mengajak anaknya nonton TV adalah untuk menyenangkan anaknya. "But in fact what we found was that the Number 1 reason they give is that it's good for their children's brain,” tulisnya di buku itu. Dan anggapan tentang siaran TV yang (diharapkan) bisa mencerdaskan anak-anak ternyata lebih merupakan ilusi dibandingkan realitas.

Dalam bukunya, Dimitri Christakis menyodorkan sederet contoh studi kasus tentang acara-acara TV di AS yang tidak kondusif sebagai tontonan kanak-kanak. Di Indonesia, kita bisa menoleh pada Si Entong dan Si Eneng, dua ‘sinetron anak’ yang paling beken saat ini. Si Entong, oleh produsennya, Mega Vision,- disebut sebagai sebuah sinetron yang bergenre drama-komedi-religi (?). Tokoh utamanya sinetron yang ditayangkan oleh TPI ini tentu saja si Entong (Fahri), bocah lelaki 12 tahun, anak semata wayang Fatimah (Reina Ipeh ) yang ditinggal mati suaminya. Si Entong ini akrab dengan Ustad Somad (Adi Bing Slamet), guru mengajinya. Disamping memiliki sahabat karib, Entong juga punya ‘musuh bebuyutan’, yakni Mamat Cs. Uniknya walau Mamat dan teman-temannya ini berusaha untuk mencelakai Entong, mereka selalu gagal, bahkan mereka mereka sendiri yang sering tertimpa kesialan.

Cerita yang disajikan setiap episode sebenarnya amat sederhana : dengan tema tentang budi pekerti tentang bagaimana menghormati orangtua, jangan suka berbohong, akibat berbuat jahat pada orang lain, harus berbuat baik, memahami sesuatu yang salah, jangan mencuri, dan lainnya. Dari sini memang masih nampak ideal banget sehingga Manajer Humas TPI ;Theresia Ellasari menyatakan bila; " Si Entong sejauh ini sudah diproduksi lebih dari 50 episode dan sinetron ini aman dikonsumsi anak-anak.”

Setelah hampir setahun diputar, Si Entong pun naik daun. Menurut survei AGB Nielsen, Si Entong menembus rating 8,5 dengan audience share 15,1 atau ditonton oleh 25,1 persen pemirsa pada jam tayang sama. Posisi ini berada di peringkat lima dalam deretan 50 program teratas. Si Entong tak saja tenar di layar TV, gambar-gambarnya pun menghiasi sampul buku tulis, gambar umbul dan beberapa film iklan. Melihat bagaimana Si Entong meraih rating bagus dan begitu gencar dipromosikan ( dalam sehari, kadang ditayangkan dalam tiga versi yang berbeda : Si Entong, Si Entong dan Kawan-kawan, juga Si Entong : The Movie – dalam durasi yang lebih panjang), saya terpikat untuk menikmati kebolehan sinetron ini, dengan menonton sekitar 20 episode secara rutin. Begitu juga dengan sinetron Si Eneng (ditayangkan RCTI), saya rajin menongkronginya di depan TV, sekitar 20-an episode.

Terlepas dari keinginan produsernya yang berniat membuat sinetron yang berbobot sebagai tontonan anak-anak, kedua sinetron ini menimbulkan pertanyaan : atas dasar alasan apakah kedua sinetron ini dianggap sebagai tayangan anak yang baik ? Bila ada orang tua yang memuji dan mereferensikannya sebagai tontonan anak yang ideal, apakah dia juga telah menonton kedua sinetron ini secara intens ?

Obsesi keajaiban
Kedua sinetron ini jelas mengandalkan konsep komedi slapstick, dengan plot yang hanya berpegang pada kebetulan, keberuntungan instan dan kerangka penceritaan yang memprihatinkan dan mengabaikan logika. Dalam sebuah episode, Si Entong diberi senter wasiat oleh jin cantik. Senter ini bisa menggandakan uang, bisa membuat wajah perempuan jadi cantik dan sebagainya. Karena itu, banyak penduduk yang mencoba menemui jin cantik agar diberi benda wasiat juga. Jin itu marah, dan mengusir mereka dengan…kentut. Pada episode lainnya, ada ibu yang begitu ganjen dan menyuruh anak perempuannya merayu Entrong agar dipinjami senter wasiat, yang bisa membuat wajahnya bertambah cantik.

Logika bonsai (kerdil) seperti ini bahkan nampak dari ucapan anak-anak yang begitu terobsesi memiliki benda gaib agar “Bisa banyak makan terus,” kata seorang anak. “ Agar jadi anak-anak terus, biar nggak pusing jadi orang dewasa,” ucap anak lainnya. Peran pak ustad ternyata hanya sebatas pelengkap saja. Dia hanya berkata, “ Lupain senter wasiat, kalau mau dapat sesuatu ya kerja.” Tak nampak upayanya secara kongkrit untuk membuktikan ucapaannya. Bahkan dia terus muncul dalam setiap episode, bersama anak-anak yang masih saja terobsesi dengan hal yang serba gampang dalam hidup mereka.

Si Eneng (produksi Sinemart) juga dipenuhi karakter bonsai . Di sana ada orang dewasa yang berkopiah bayi sambil menghisap kempongan. Ada seorang bapak yang dengan noraknya berteriak tak mau disunat karena sakit rasanya. Ada keponakan juragan Wira, bocah besar yang bertingkah bagaikan idiot. Ada ibu (Yurike Prastika) yang bertingkah laku seperti iblis terhadap anak tirinya. Dan peran ustad (Teuku Ryan) di sini – lagi-lagi - hanya sebagai legitimasi logika skenario yang konyol.

Si Eneng malah menunjukkan tingkat obsesi yang lebih parah terhadap benda ajaib. Selama membetahkan diri menonton 20-an episode Si Eneng, saya menghitung lebih dari 50 benda ajaib yang dimiliki Si Eneng. Selain punya kaos kaki ajaib, yang bisa mengeluarkan apa saja yang diminta si Eneng, anak perempuan ini juga mempunyai TV Pengintai (dapat melihat kejadian pada masa lalu), Setrika Pengganda, Celana Terkenal, ( membuat pemakainya disukai banyak orang), Palu Ajaib ( bisa memperbaiki barang yang rusak), Benang Ajaib ( bisa membuat stelan baju lengkap seketika).

Dulu pernah ada sinetron yang baik untuk anak kita, seperti Jendela Rumah Kita dan sebagainya. Apakah tak ada lagi yang punya kemampuan seperti Arswendo untuk membuat tayangan anak yang baik dan mencerdaskan, justru di saat keluarga kita dikepungan berbagai tayangan TV ? Atau benar-benar tak ada lagi yang perduli dengan semua ini ? Bagaimana pendapat Anda.

Tidak ada komentar: