Trancecology
Trancecology. Istilah apa lagi ini ? Tentu saja bermula dari kata ‘trance’. Namun bukan mengacu pada istilah mengaburnya kesadaran seperti yang banyak ditemukan dalam kaidah mistikisme, melainkan lebih mengacu kondisi saat kesadaran seseorang ‘menyublim’ dalam nuansa ekstase. Dan sungguh mati, kondisi ini tak dicapai dalam suasana sunyi-hening meditasi , namun dalam gelegar suara dan hingar-bingar suasana. Lantai dansa sebuah diskotik, atau anak muda punya istilah yang lebih personal, ‘dugem’ (dunia gemerlap ).
Inilah sihir musik, yang ternyata mampu membius pendengarnya lewat hentakan-hentakan serba gegap gempita. Maka pengamat perilaku yang juga kolomnis majalah Psychology Today, Amanda Druckman, menyebut kecenderungan dugem ini sebagai ‘trance party’. Tentu saja ada genre musik tersendiri bagi komunitas seperti ini, yang istilahnya sudah jauh berkembang dari sekedar kata ‘disco’, saat jenis musik ini mencuat di awal tahun ’80-an. Rave, house, tribal, techno, atau prog trance menjadi idiom khas bagi musik dansa seperti ini.
Geletar bebunyian musik virtual-elektronika yang jalin menjalin begitu rupa dengan beat yang merangsang gerak, serta nuansa psikedelik yang dibombardir begitu tupa oleh lighting scene , memang bisa menyedot kesadaran crowd ( istilah bagi pengunjung setia dugem ) dan memilinnya menuju kondisi ‘trance’. Maka istilah trancecology bukan saja mengacu pada kepiawaian para DJ (disk jockey) untuk meramu aransemen musik dansa, namun juga mengacu pada berbagai model aktifitas yang dilakukan para penikmat dugem itu sendiri. Mulai dari aktifitas massal di udara terbuka seperti open rave party, atau trance party yang di gelar di ruang tertutup, diskotik misalnya.
Berbagai resident (istilah mereka untuk diskotik dan tempat menggelar dance party) di Jakarta sendiri sudah sering menggelar trance party yang cukup sukses, seperti di Retro misalnya. Dalam jenis musik yang satu ini, ternyata para DJ kita bukan sekedar konsumen saja, melainkan sudah mulai unjuk gigi,paling tidak sekawasan Asia-Pasifik, terbukti dengan kemenangan DJ Adhe pada kontes DJ Global Heineken Asia Pasifik yang bergengsi itu.
Nggak tiarap bener
Menurut Erie Javas, pengamat dance scene yang juga produse eksekutif stasiun TV hiburan O Channel, perkembangan musik dugem di Indonesia sudah sangat maju. Beberapa happening dalam dance scene di tanah air dalam beberapa tahun terakhir ini memunculkan banyak dance organizer, para DJ baru serta berbagai club.
“ Kalau dibandingkan dengan situasi di negara lain, kita nggak tiarap bener. Lihat saja kalau ada Rave Party, JakMov misalnya, event ini malah lebih keren dibanding event serupa di luar negeri seperti Zoukout misalnya. Bedanya kalau di negara lain, dance scene seperti ini sudah jadi industri yang didukung pemerintah, kita di sini walau sudah besar komunitasnya ,masih tetap saja underground. Bahkan tak jarang dunia dance masih dipandang sebagai dunia kelam yang berhubungan dengan narkoba,” komentarnya.
Bagaimanapun, pertama kali tampil i di kompetisi Global Heineken, DJ Adhe sudah menorehkan prestasi. Ia berhasil memenangkan babak final regional dan berhak mewakili kawasan Asia Pasifik pada babak final Global Heineken Thirst 2005. Pada babak semifinal sebelumnya, di Kuala Lumpur , dia berhasil menyisihkan DJ KoFlow (Singapura) dan DJ K. Switch ( Jepang). Pada babak final di Thailand, 28 Mei lalu, DJ Adhe bersama Andrey (perkusi / vokal) dan Derry (keyboard / perkusi) berhasil menyingkirkan saingannya; Altered Image dari Malaysia dan DJ Switch dari Selandia Baru.
DJ Adhe ( 21 tahun ) yang nama aslinya Adi Pria Devara Bachtiar sendiri belum telalu lama nge-spin - istilah untuk aktifitas menggesek-gesek piringan hitam saat nge-DJ - walau sejak SMP sudah menyatu dengan musik disko. ( Maaf, menurut saya istilah disko sendiri sudah ‘ketinggalan jaman’ karena nama ini mengacu pada jenis musik tahun ala Donna Summer di tahun ’80-an. ) Setelah tampil pada berbagai pesta antar kawan, baru di tahun 2001 Adhe tampil sebagai DJ professional di klab Diva, Jakarta.
Obrolan siber (chatting) yang singkat dengan DJ Adhe akhirnya bisa terjalin ( terima kasih atas bantuan Erick_ElectricFuzz, rekan sesama milis Beatcommunity ), di mana Adhe menuturkan kerisuannya karena susana dugem sudah dirusak citranya oleh mafia narkoba, dan berobsesi untuk mengembalikan dance scene (lantai dansa) kepada para pecinta musik yang sebenarnya.
Mengembalikan diskotik untuk dansa
Saat ditanyakan komentarnya tentang perkembangan musik dansa di Indonesia (Jakarta), Adhe menjawab,” Saya ngikutin perkembangan dance scene dari tahun 90-an dan sekarang udah bagus banget keadaannya. Sekarang ini club favrit saya Embassy, di sana selain tempatnya enak, bagus juga crowdnya dan. Kalo soal event saya pilih Jakarta Movement dan Heineken Thirst, itu event dance yang terbaik sekarang ini.”
Soal ke depan, bagaimana persiapan dalam final Global Heineken Thirst yang menjadi ajang kompetisi internasional ? “ Banyak latihan juga, dan persiapan untuk final nanti adalah kolaborasi dengan MC sekaligus perkusi dan satu orang pemain keyboard. Karena belum pernah kolaborasi, jadi sekarang lagi banyak mempersiapkan diri,” jawab DJ muda yang sering meramu gaya Tribal, Techno Trance, yang dianggap lebih enak untuk suasana dugem di Jakarta.
Soal DJ favorit, Ade mengaku pecinta berat Carl Fox di manca negara, sedang DJ Indonesia yang disuka DJ 1man dan Irwan, termasuk nama lama, DJ Naro. Sebagai jawara DJ kawasan Asia-Pasifik, Adhe cukup rendah hati. Ketika ditanya faktor yang menjadi kunci kemenangannya, dia menjawab,” Mixing aja !.” Namun Adhe menunjukkan keprihatinannya saat membicarakan betapa citra dunia clubbing yang tercoreng oleh kiprah para pengedar dan pemakai narkoba yang menjadikan diskotik sebagai tempat operasinya.
“ Situasinya kayak lingkaran setan, dan kita semua, pecinta musik dan penyuka dance yang terkena getahnya. Dance itu kan sebuah hobi dan gaya hidup yang positif. Nggak ada anak muda pecinta dance yang loyo, mereka semua fit. Kalo ditanya obsesi, kita semua ingin mengembalikan dance scene pada pecinta semua, pada music lover, dance lover. Kita geram juga melihat diskotik diacak-acak pemakai ineks. Tapi backing mereka juga kuat,” katanya gusar.
Mengembalikan diskotik pada musik, pada dansa, pada pecintanya semula. Boleh juga, paling tidak kita bisa membuktikan bahwa keunggulan DJ kita dalam tranccecology – membuktikan bahwa kita bukan sekedar konsumen budaya dari luar saja , seperti yang dicemaskan oleh M. Gangland Davis dalam bukunya; Cultural Elites and the New Generationalism. (Sydney: Allen and Unwin, 1997.) Davis mencemaskan pesona budaya pop yang begitu kuat, mampu memudarkan struktur budaya lokal yang sudah tertata begitu lama (local genius ), sehingga banyak kaum muda Aborigin yang lebih suka menyetel lagu rap daripada melakukan tembang ritual pada upacara pernikahan suku di kawasan pedalaman Australia sana.
Menurut Davis, bila kita ternyata juga unggul dalam menyerap budaya luar, mesih lebih baik, karena bisa menjadikannyasebagai bentuk ekspresi umpan balik, daripada sebatas menjadi konsumen dengan keterlibatan artifisial belaka. DJ Adhe setidaknya sudah membuktikan, dengan kemenangan ini, Adhe bersama timnya akan mewakili Asia Pasifik pada babak final Global Heineken Thirst, yang akan berlangsung pada bulan Januari 2006 di Afrika Selatan. Mereka bakal berhadapan dengan pemenang regional dari kawasan Eropa, Amerika, dan Timur Tengah. Jelas ini merupakan tantangan yang pantas dijawab, agar kita tak dianggap cuma latah saja di musik dansa. (Heru Emka)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar