Sabtu, 12 Januari 2008

Sushi nan ‘seksi’


Sejak melihat berbagai jenis sushi yang terpajang cantik dalam display kaca di sebuah resto Jepang di Plaza Indonesia, tiga tahun silam, saya jadi berpikir bila makanan khas Jepang yang indah mungil ini mungkin lebih tepat dijadikan pajangan, daripada menjadi isi perut pengganjal lapar. Tapi bagaimana rasanya menelan daging ikan mentah yang cuma dicelup saos cuka dan dicocol sambal (wasabi ) ? . Rasa penasaran yang cukup kampungan inilah yang membuat saya bergabung dengan milis Jalansutra-nya mas Bondan Winarno, dan tanya sana-sini tentang sushi, dengan anggota milis ini yang hampir semuanya penggemar makanan enak.

Dari mereka saya mendapat gambaran, walau sushi menyajikan sayatan daging ikan mentah, namun rasanya cukup nyaman bagi lidah Indonesia. Cuma, bila sushi itu di dapatkan di restoran Jepang kecil (apalagi restoran cepat saji), maka yang kita dapatkan adalah sushi yang masih menyisakan bau amis ikan. Saran teman Jalansutra ini membuat saya berpikir; apakah sushi yang enak hanya bisa didapat di restoran mahal ? Dan yang ini jelas tidak ‘menyehatkan’ kantong saya. Maka saya pun melupakan hasrat menyantap sushi yang benar-benar unggul dalam rasa dan rupa.

Teman Jalansutra tadi mereferensikan Sushi Sei sebagai restoran sushi yang cukup ekslusif. Namun Jakarta Food Guide menyebutkan bila restoren Jepang di kawasan Plaza Senayan ini tergolong high class, dengan harga yang disepadankan nilai dolar. Walau bung Nirwento, menyarankan,” menu andalan mereka, hotategai dan ikura pantas dicoba,- saya melupakannya dengan alasan yang cukup provokatif : sajian mereka bukan untuk orang kelas bawahan seperti saya.

Namun saat saya ditraktir seorang teman nonton pagelaran Megalitikum Kuantum di Jakarta, bulan lalu, hasrat untuk menikmati sushi mahalan muncul lagi. “ Mas Heru suka sushi ? Besok malam kita cari sushi ya, ada kok yang enak,” kata mas Edwin - sahabat cyber saya sejak empat tahun silam di milis penggemar progressive rock; sepulang nonton pagelaran musik megah itu.

Besok malamnya, mas Edwin sudah menjemput saya. Eksekutif muda yang tergila-gila dengan musik progresif rock ini ( dia punya CD limited edition Jehtro Tull yang harganya sekitar lima juta rupiah – dan di audio room-nya, saya melihat sederetan CD langka dan mahal seperti itu) menuju Sushi Sei di Plaza Senayan, yang terletak di belakang bioskop kelas atas milik Ram Punjabi. Namun nampaknya resto Jepang ini sedang full booked. Mas Edwin melajukan Peugeot 807-nya ke Jalan Kemang Raya, dan berhenti di depan Aozora Sushi Lounge.

Terus terang perasaan kampungan saya muncul lagi, saat dalam hati saya bergumam,” What a felling ?”. Beda dengan suasana di Sushi Sei yangt nampak formal, atmosfir Aozora terasa akrab dan romantis, atau istilah para hang out fans; ‘ cozy bangeet!’. Bunyi piano mengalunkan melodi lagu Misty, yang diciptakan Errol Garner. Mengalun nyaman di telinga. Ternyata sushinya – terutama nigiri zushi dan California Roll – memang empuk dan lezat. Sayatan daging tuna yang berwarna putih lembut itu terasa di lidah seperti daging kelapa muda yang manis-manis gurih. Yah, sepadan dengan harganya, yang 350 ribuan untuk empat potong sushi dengan variasi irisan daging maguro (tuna,) Anago (sejenis belut ), Ebi (udang) dan Ika (cumi cumi).

Bung Edwin menyarankan untuk pertama kali mencoba sashimi, sebagai perkenalan awal dengan berbagai menu sushi. Setelah oke, baru kemudian mencicipi unagi (belut) atau maki (kerang-kerangan). Namun jangan sekali-kali mencoba memesan fugu ( ikan buntal yang beracun ). Apakah restoran sushi di sini juga menjual menu yang selain enak juga mematikan ini ? Yang lainnya saya menetujui bung Edwin, bahwa sushi menawarkan rasa, warna, aroma yang eksotis. Rempah Jepang yang dipakai kan berbeda dengan rempah di dapur ibu kita , kan ?

Bila malam itu, di Aozora saya melihat banyak orang bule pun asyik menikmati sushi, wajar saja, karena sushi sekarang kini menjadi makanan Jepang yang paling tenar di dunia. Seperti mobil dan benda elektronik Jepang lainnya, sushi ‘menyerbu’ Amerika di awal tahun ’70-an. Dalam waktu singkat terdapat sekitar 5000 restoran sushi di seantero AS. Setahunnya tak kurang dari 380 ribu dolar dibelanjakan untuk membeli rumput laut, bahan pembungkus nasi sushi. Perkiraan penghasilan yang diraup dari penjualan sushi, bisa berlipat dua puluh lima kali dari jumlah uang tadi. Tak heran bila The Chicago Tribune (edisi 16 Februari 2000) menurunkan laporan utama yang berjudul ; "Sushi savvy, unwrapping the mysteries of one of Japan's most popular culinary exports."

Menyenangkan untuk dipandang dan dipikirkan

Mary Douglas, dalam bukunya; Food and Social Order (New York 1984) bahwa makanan, selain menjadi sarana pertahanan hidup utama manusia, juga merupakan sebuah domain budaya, yang secara rumit dijabarkan dalam sistem makna yang komplek. Tak heran bila Claude Levy Strauss pun menegaskan, bahwa makanan tak hanya ‘menyenangkan untuk dimakan’, namun juga ‘menyenangkan untuk dipikirkan’. Pendapat Strauss ini benar 100 persen bila dihadapkan pada realitas sushi sebagai hidangan yang fashionable. Tersaji dalam bentuk mungil, rapi dan ‘menyegarkan pandangan’ (catching eye). Rata-rata penampilan sushi jauh lebih ‘seksi’ daripada berbagai hidangan ikan kita, yang dari waktu ke waktu masih disajikan dalam bentuk yang masih seperti dulu.

Sejarah kebudayaan memang membuktikan bila makanan tak saja memanipulasi kita (secara fisik) dengan hasrat untuk makan enak, namun juga memanipulasi kita (secara intelektual) untuk selalu menciptakan berbagai metafora yang selalu meneguhkan eksistensi makanan dalam kehidupan kita. Misalnya konsep hidangan ristafel dalam gaya boga kolonial dulu. Uniknya, sifat yang menyatukan dari makanan ( lebih enak bila dinikmati bareng) membuat makanan cukup penting sebagai simbol sosial, bahkan tak jarang disakralkan ( misalnya kue apem, yang sehari-harinya tergolong sebagai jajan pasar, dalam ritual Jaqowiyyu di Klaten, memiliki citra sebagai ‘benda bertuah’ yang bisa membuat orang awet muda, atau dagangannya laris dan sebagainya)

Secara tradisional, sushi juga memiliki kaitan dengan filsafat Zen, di mana segala hal dalam kehidupan, termasuk makan, harus menyertakan unsur harmoni. Karena itu, konon sushi dibuat dalam ukuran mungil, karena tidak disajikan bagi orang kelaparan, namun orang yang bisa menahan diri, dan mampu menggenggam harmoni. Karena itu, bentuknya harus indah, rasanya harus enak, walau sepenuhnya terbuat dari bahan makanan alami.

Namun saya lebih berpikir bahwa orang Jepang sekarang menjaga citra eksotik sushi karena faktor ekonomi, sebagai komoditas ekspor global, tak ubahnya dengan Coca Cola bagi Amerika. Dan lagi, menurut Global Sushi Guide, tempat yang direferensikan sebagai restoran sushi terenak di dunia, tak lagi berada di Jepang, namun di Los Angeles, AS. Di restoran Los Angeles Dodger, Hideo Nomo - koki sushi yang legendaris – mjemperagakan superioritas masakan tradisional Jepang, dengan gaya dan selera yang disesuaikan dengan lidah para orang kaya sedunia. ( Heru Emka )

Tidak ada komentar: