Senin, 14 Januari 2008

Komik / Wayang ;


" Sang Jagoan di

Persimpangan Jalan "

1.

“ Kenapa nasib wayang kita begitu mengenaskan ? Padahal kesenian lainnya yangn juga telah berusia lama seperti kabuki di Jepang dan opera di Eropa masih bisa cemerlang hingga sekarang ?.”

Pertanyaan ini dilontarkan Bu Nini, seorang guru di sebuah SMK,- seusai menyaksikan berbagai adegan yang terpampang dalam pameran foto ‘Ngesti Pandowo – Nyelaras Ing Zaman’ di Rumah Seni Yaitu ( Semarang, 1 – 7 Juli 2006 yang lalu ). Deretan foto yang ada memang menggambarkan redupnya kehidupan para seniman wayang orang.. Para pemain tua yang mencoba berdandan, seakan mencoba meraih imaji yang telah tenggelam, bayangan samar permaisuri rupawan yang telah begitu lama memudar. Lainnya adalah potret para raksasa dan sosok ksatria, yang kini tak mampu lagi mengundang perasaan penuh debar, lalu potret segelintir penonton ( beberapa di antaranya orang asing ) : Semua menyiratkan sebuah kemeriahan yang yang usai. Bahkan penjual tiket pun tertidur dim kursinya : Tak ada lagi penonton datang… Dan cerita wayang sendiri, bukankah semakin tertinggal, menjadi sebuah gaung, seperti nostalgia di lorong sejarah kebudayaan ?

Dalam situasi sekarang ini, wayang hanya berkelebat antara ada dan tiada. Apakah wayang akhirnya memang hanya bisa bertahan seperti makna katanya sendiri, sebagai ‘bayangan’?

2.

“ Ramayan Reborn !”, seru Virgin Comic dalam sebuah publikasi yang segera memancing perhatian para peminat komik dunia. Virgin Comic adalah, anak perusahaan DC Comics – yang dikenal sebagai konglomerat komik dunia. Tak ubahnya produser film terkemuka di Hollywood, DC Comics selalu mempersiapkan produksinya sebaik mungkin. Mereka dengan cermat mengintai peluang sebelum membidik pasar. Tentu saja mereka juga merancang tim kreatif yang membuat komik ini, selain mampu mencetak sukses komersial,- juga menampilkan kualitas artistik yang maksimal.

Ilustrator komik Ramayana yang digarap dalam bentuk novel-grafis ini ( dirilis bulan September nanti) adalah Alex Ross, ikon komik DC, yang selama ini dikenal sebagai arsitek di balik penampilan baru para super hero DC Comics. Ross adalah legenda komik masa kini yang berhasil merombak penampilan Spider Man menjadi lebih keren, dan karakter Batman menjadi lebih posmo. Dan di tangan Depak Chopra ( ingat bukunya Seven Spiritual Laws of Success dan Peace Is The Way yang meledak di pasaran ? ) dan sutradara Shekhar Kapur ( filmnya Elizabeth dan Bandit Queen juga mengundang pujian ) sebagai penulis cerita, Ramayana tak lagi menjadi legenda lama yang biasa dituturkan dalam dongeng, namun berubah menjadi kisah yang post-apocalyptical’, sebuah tafsir baru yang melakukan upaya mendekonstruksikan mitologi India yang berusia lebih dari dua ribu tahun.

Saya sempat mengintip sampul komik Ramayana garapan Alex Ross, yang memang menyegarkan citra wayang yang selama ini dilambangkan sebagai budaya Timur, dalam ‘sekapan’ citranya yang eksotik sekaligus terkungkung dalam imaji globaltentang dunia ketiga. Ilustrasi Alex Ross membuat figur Hanoman tampil menjadi sosok ‘Yang lain’ ( the other) dan memberi variasi tersendiri dalam kosmologi super hero Barat.

3.

Fakta tadi menunjukkan bahwa terobosan budaya ( yang sebenarnya bisa diupayakan ) mampu melontarkan Ramayana melampai sekat masa dan perbedaan budaya. Sementara dalam realitas kita, wayang semakin tersisih dari realitas budaya sehari-hari justru dalam buai nina bobo sebagai ‘seni adi luhung’, seperti yang biasa kita dengar dari para birokrat kebudayaan.

Kenyataan di lapangan yang berbeda ( wayang orang dan wayang kulit tak lagi menjadi seni yang seksi bagi anak muda, mulai tergusur dari jalur utama budaya, dan mulai membeku dalam kotak kaca pelestarian ) seharusnya memberi inspirasi, bahwa wayang harus mulai – dan selalu ditafsirkan kembali. Artinya wayang bukan harus dilestarikan, tapi justru harus hadir dalam arus jaman. Juga wayang harus disukai anak muda, karena mereka lah penggerak budaya di segala jaman.

Bahkan dalam kultur hidup posmo, yang tak urung perlahan-lahan juga merembes ke Indonesia ini, bukan hanya wacana pemikiran budaya yang berubah. Maka Deleuze dan Guattari (dalam A Thousand Plateaus: Capitalism and Schizophrenia. London: The Athlone Press. 1988, hal 453) pun menyebutkan terbentuknya sebuah kondisi yang tak terelakkan bagi sebuah kehidupan kota kontemporer, yakni terciptanya ruang urban kapitalis yang mereka sebut sebagai ‘ kawasan tak berbatas ( the 'deterritorialization').

Dalam kondisi seperti ini, wayang berada di persimpangan jalan. Orang tak lagi mau berpanjang-panjang , dengan semua pengorbanan ( waktu dan tentu saja uang ) untuk nanggap wayang. Nama dalang kondang seperti Ki Mantep memang masih berkibar. Namun berapa puluh dalang kecil yang sekarang alih profesi karena tak kunjung dapat tanggapan ? Dan bukankah tanggapan dalang kondang itu kebanyakan datang dari kalangan instansi ( bukan duit pribadi ) ?


Konsep 'deteritorialisasi' di atas terbukti, dengan fakta ‘kawasan budaya’ seperti Sriwedari misalnya, tak lagi bermakna sebagai kawasan yang bisa menjaga kehidupan (realitas ) kesenian yang ada di sana, karena kota hanyalah ribuan keeping wilayah, dengan sorotan warna tunggal kapitalisme. Bahkan nama seperti Taman Budaya Raden Saleh terhuyung-huyung oleh gemerlap artifisial sebuah taman hiburan di sebelahnya.

Kita bisa menemukan benang merah dari pertanyaan kenapa drama tradisional Eropa ( teater Shakespearean misalnya ) masih punya banyak penonton, sementara wayang orang hidup segan mati tak mau ? Teater yang mementaskan cerita Shakespeare masih ditonton – juga oleh orang muda – karena dukungan para seniman dan intelektual dalam The Shakespearean Society, yang tak saja memikirkan konsep manajemen kesenian yang tepat, namun juga selalu merevitalisasi kisah Shakespeare dengan memberikan tafsir dan sudut pandang, wacana kajian baru. Narasi tentang karakter badut istana ( the fool) dalam King Lear, misalnya, telah menimbulkan berbagai reinterpretasi, baik dari sisi karakteristik hingga upaya untuk melakukan dekonstruksi dari pada narasi. ( Heru Emka )

Tidak ada komentar: