Dunia Maya Sujiwo Tejo
Dalam sebuah blantika musik yang didikte oleh selera para produser, kita nyaris tak menemukan album musik yang berani melawan arus. Maka album terbaru Sujiwo Tejo, yang berjudul. Syair Dunia Maya ( Eksotika Karmawibhangga Indonesia, 2005) bisa dipandang sebagai sebuah terobosan yang pantas dicatat dalam blantika musik pop kita.
Selain berisi sebelas lagu yang liriknya berbahasa Jawa, Kawi dan Madura ( dua lagu yang berbahasa Indonesia), Sujiwo juga merangkul beberapa musisi muda yang dikenal punya idealisme musik bagus, seperti basis Bintang Indiarto, harpis Maya Hasan, Henry Lamiri, Idang Rasyidi dan gitaris Dewa Bujana, juga merangkul pendatang baru berbakat seperti Ken Nala Amrytha, gadis cilik yang piawai menyanyi. Selain mencipta lagu, lirik dan menggarap aransemen semua lagu, dan menjadi ‘penyanyi kata-kata, Tejo juga menunjukkan kebolehannya memainkan cello, biola dan trombone.
Tejo mengaku, bila album ketiganya ini, Syair Dunia Maya, disiapkan dengan matang. Ada berbagai revisi yang dilakukan saat menyiapkan album itu. Karena itu, waktu penggarapannya juga lama. Yang pasti, album ketiga Sujiwo berbeda dengan album-album sebelumnya. "Jadi, kalo mirip album satu dan kedua, ya mending saya nggak bikin album ini," katanya.
Ada sembilan lagu di album ini yang menggunakan bahasa Kawi. ''Bahasa Kawi itu indah, musikal. Banyaknya orang yang tidak paham bahasa Kawi justru bagus, supaya lagu-lagu ini diterima sebagai sebuah musik. Orang tidak harus mengerti apa yang dilafalkan dalam syair lagu, tetapi bisa menikmati suasana yang tercipta dari suatu lagu," tutur Tejo menyebutkan alasannya menggunakan lirik lagu berbahasa Kawi.
Etnik Fusion
Pada lagu Tingkah-tingkah misalnya, bermula dengan intro unik dari gaya minimalis rock, lengkap dengan lenguhan pendek gitar listrik yang bluesy. Mungkin orang mengira bila nomor ini lagu yang dimainkan oleh Frank Zappa, andai vokal khas Sejiwo Tejo tidak melantunkan lirik yang memadukan bahasa Jawa dengan bahasa Kawi, “ Neja neko, kok sing kae kae, keh kang gyo den tanting, milang miling leh, mamilah milah aglaring pilihan, …”
Tak saja pilihan bahasa dan warna musik yang nampak unik, Tejo juga menunjukkan sikap yang serius sebagai seorang ‘pemusik kata-kata’. Pada lagu Saya dan Panakawan, dia mengolah kata-kata menjadi sebuah komposisi yang terdiri dari ‘alat musik paling purba’, yakni suara manusia. Sebagai seorang dalang, Tejo memiliki kemampuan dasar untuk mengolah suara manusia dalam berbagai ragam dan karakter bunyi. Nah , berbagai celotehan para punakawan; Semar, Gareng, Petruk, Bagong plus Togog dan Bilung, diolah Tejo menjadi komposisi a capella unisono yang menarik melalui teknik overdub.
Agaknya Sujiwo Tejo cukup jeli memilih gaya musik, yang dalam blantika musik dunia, dikenal sebagai genre musik etnik fusion. Genre yang kian merebak dalam blantika musik dunia ini, pengertiannya amat berbeda dengan istilah musik fusion, yang menyaran pada perpaduan antara musik jazz dengan rock atau disko, yang terjadi di tahun ’80-an. Genre musik etnik fusion yang satu ini lebih mengacu pada bentuk perkembangan selanjutnya dari musik new age, ketika unsur musik tradisional (ethnic folk) dipadukan dengan musik elektronik atau musik kontemporer saat ini.
Gaya etnik fusion sendiri sudah cukup lama mencuat ketika musisi jazz ternama seperti Tony Scott dan Don Cherry untuk pertama kali memadukan nuansa etnik world music dengan musik jazz. Para komposer minimalis seperti Terry Riley dan Philip Glass juga menggunakan pola nada dan struktur musik non-Barat menjadi bagian tersendiri dari komposisi musik yang mereka ciptakan.
Saat ini, musik etnik fusion dianggap sebagai sebuah gaya yang seksi, dan cukup favorit bagi para musisi untuk melakukan petualangan secara musikal, sekaligus memperluas gaya musik dengan melakukan penjelajahan untuk mencapai daya ucap musical yang tak terbatas.
Artis terkemuka yang meraih sukses dengan jenis musik ini cukup beken dalam blantika musik new age. Di antaranya adalah Clannad (pada gaya Celtic folk), Ottmar Liebert (flamenco), Kitaro ( melodi musik rakyat Jepang ) dan R. Carlos Nakai ( flute Indian Amerika ). Hingga tahun ’90-an, jejak sukses mereka diikuti oleh nama-nama yang lebih kontemporer seperti Enigma, Dead Can Dance, dan Deep Forest, yang meraih audien lebih luas dengan memadukan beat irama dansa, rekaman berbagai bebunyian (sampled field recordings) dengan pola bunyi musik etnis. Di tangan mereka, musik etnik fusion ini berubah menjadi bunyi yang enak sekali untuk ajojing..
Penafsir Perempuan
Tejo yang dilahirkan di Jember (1962) dengan nama Agus Hadi Sujiwo ini merupakan sosok yang unik dalam blantika kesenian kita. Setelah lulus ITB Jurusan Matematika (sarjana muda), dia melajutkan ke Jurusan Teknik Sipil. Kali ini tak diselesaikan karena dia lebih tertarik untuk menjadi wartawan Kompas sambil mendalang. Dalang Edan ini berusaha menghindari pola hitam putih dalam memainkan wayang. Rahwana ditampilkan bersuara halus, romantis, Pandawa dibikinnya tidak selalu benar. Dengan wayang mbeling-nya, Tejo mendalang di banyak tempat, bahkan di rumah Gus Dur dan Mega, serta di Keraton Mangkunegaran, Solo.
Seniman berambut gondrong ini juga berusaha menafsirkan sendiri kaum perempuan di jagat pewayangan. Dewi Kunti, misalnya. Menurut pelantun lagu Anyam-anyaman ini, Dewi Kunti memiliki banyak suami. Ini lain dengan keyakinan yang menyatakan Kunti hanya mempunyai satu suami. Atau terkait cerita Dewi Sinta. Tejo menyatakan, Sinta sebenarnya ingin diculik Rahwana. Ini karena Sinta bosan pada suaminya, Rama.
Ia bertemu dengan calon istri, Rosa Nurbaiti, kala menjaga ujian di Institut Teknologi Nasional, Bandung, tempat Rosa kuliah. Menikah pada 1989, dengan mas kawin unik : sebuah pertunjukan. Ini sempat ditolak oleh beberapa kiai, karena mas kawin harusberupa benda. Tapi Tejo tak kurang akal : seni pertunjukannya yang diberi judul Belok Kiri Jalan Terus dipotret, albumnya dijadikan mas kawin. Dari perkawinan itu, pasangan ini dikaruniai tiga anak. Si sulung bernama Rembulan Randu Dahlia, adiknya bernama Kennya Rizki Rionce. Sedang si bungsu, Jagat, tampaknya menyukai gamelan dan betah nonton wayang sampai dini hari, di saat kakak-kakaknya sudah tidur.
Tejo kemudian memutuskan meninggalkan dunia jurnalistik untuk hidup total sebagai seniman. Langkahnya dalam berkesenian semakin melebar saat dia membuat album musik Pada Sebuah Ranjang (1999), yang selain khas , ternyata juga cukup sukses di pasaran. Setelah merilis albumnya yang kedua, Pada Suatu Ketika (2000), dramawan, musisi dan penulis esai ini menggenapi profesinya sebagai seorang aktor. Akting Tejo yang kuat antara lain bisa ditonton dalam film Telegram dan film horor Kafir. (Heru Emka )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar