Sabtu, 12 Januari 2008


Oscar yang tidak gemebyar


Selama ini perhatian dunia bisa dibilang hanya tertuju pada pemenang Oscar untuk kategori mayor, yang selama ini dikenal sebagai Oscar yang penuh gebyar, seperti Oscar untuk aktor dan aktris terbaik, sutradara terbaik, penulis skenario terbaik, juru kamera terbaik dan beberapa lagi. Sedangkan Oscar untuk kategori minor, seperti tata rias terbaik, disain kostum terbaik, atau editor terbaik,- sepertinya luput dari perhatian publik. Padahal Oscar untuk kategori minor seperti ini bukanlah sekedar pengakuan atas prestasi mereka sebagai insan film, namun bisa berarti sebagai pendorong besar bagi perubahan hidup mereka. Pekerjaan menjadi lebih mudah bagi pekerja film yang pernah meraih Oscar.

Bagi nama beken seperti Tom Cruise atau Stephen Spielberg, meraih piala Oscar, mungkin bukan hal yang luar biasa. Sebelum meraih Oscar sebagai Sutradara Terbaik, Spielberg sudah lama kondang sebagai sutradara jempolan. Begitu juga dengan Tom Cruise, yang sudah termashur sebagai aktor papan atas, walau hingga sekarang dia belum pernah mendapat Oscar. Oscar bagi Tom Cruise mungkin hanya menambah sebuah masukan bagi curiculum vitae-nya : sebagai peraih Oscar. Nama mereka sudah lama berada dalam daftar nama beken yang diincar para produser untuk mendapat proyek film berbiaya besar. Bagi mereka, penyebabnya sudah jelas, bukan karena Oscar,- namun karena mereka memiliki nama besar.

Namun bagi Pietro Scalia misalnya ( nama yang mungkin belum pernah Anda dengar ) Oscar adalah sebuah pengakuan penting. Scalia, yang meraih Oscar untuk Editing Terbaik dalam film JFK (1993) tidaklah sekondang sutradaranya; Oliver Stone, atau aktor Oliver Stone,- pemeran utama dalam film ini. Pietro Scalia hanya seorang pekerja film yang mempertaruhkan kepiawaiannya dalam mengedit gambar. Dia bahkan tak punya agen, yang ‘menawarkan’ dia ke berbagai pihak , agar mendapat pekerjaan.

Dan lagi, JFK adalah proyeknya yang pertama yang editingnya dikerjakan sendiri. Editing Scalia dalam JFK memang jempolan. Dengan bagus, bahkan nyaris sempurna, dia menggabungkan film dokumenter dengan adegan buatan Oliver Stone. Namun bagi Hollywood, Scalia masih seorang editor kelas teri. Sampai dia meraih sebuah Oscar, dan pintu Hollywood mendadak terbuka lebar untuknya.

Tak cuma itu, nama Scalia juga melejit di negeri asalnya, Italia. Dampak yang paling menyenangkan adalah saat dia menerima sebuah telpon dari seorang produser di sana, yang mengabarkan bahwa sutradara kondang Bernardo Bertolucci, meminta kesediaan Scalia untuk menjadi editing dalam film yang sedang digarap oleh Bertolucci.

“ Saya nyaris tak percaya dengan kata-kata yang saya dengar, ‘Ada waktu untuk Bertolucci ?’ Ini sebuah kesempatan emas,” tutur Scalia, yang segera berkemas ke Nepal menyusul Bertolucci yang sedang menggarap film Little Budha. Scalia merasa, bila tak meraih Oscar, tak mungkin Bertulucci meliriknya. Scalia kemudian meraih Oscar yang kedua lewat film Black Hawk Down. Dua juga meraih nominasi lewat film Good Will Hunting dan Gladiator.

Oscar tak hanya bagi mereka yang baru merintis karir seperti Scalia, namun juga bagi Vilmos Zsigmond yang telah 20 tahun berkarir, saat dia meraih Oscar 1977 lewat film Close Encounters of the Third Kind, yang membuat dia mendapat julukan ‘master of lights’ di samping tawaran proyek film mahal yang semakins erring datang kepadanya. “ Ini membuat simpanan saya bertambah, walau sebenarnya saya lebih suka bekerja untuk proyek film indie, karena di situ saya bebas mengembangkan kreatifitas,” ujarnya.

Namun di satu sisi, para produser independen takut bila para peraih Oscar ini kemudian menaikkan tarifnya. Hal ini sudah dirasakan oleh para pekerja film yang pernah meraih Oscar. Lynn Barber – yang meraih Osdar 1990 sebagai Penata Rias Terbaik dalam film Driving Miss Daisy – terpaksa harus mondar mandir ke berbagai perusahaan film, untuk menyatakan bahwa tarifnya tidak naik. Soalnya, setelah dia meraih Oscar, malah tak ada tawaran kerja yang datang. Setelah para produser tahu bila dia tak menaikkan tarifnya, baru tawaran kerja mengalir. Bagi Lynn Barber, Oscar yang diraihnya bukan jenis Oscar yang penuh gebyar, seperti Oscar bagi aktor atau sutradara terbaik. Nyatanya Oscar yang diraihnya tak meningkatkan penghasilannya. Apalagi ada 1500 penata rias yang terdaftar di tempat tinggalnya. Dengan kata lain, persaingannya amat ketat.

Walau begitu Lynn Barber mengatakan, bahwa menerima Oscar amat menyenangkan. “ Ini membuktikan bila kemahiran seseorang mendapat pengakuan. Apalagi bil;a menyadari banyak penata rias yang jauh lebih senior, yang belum bisa meraih Oscar. Soal kemashiran dan konor yang melonjak, saya menyadari, bahwa di langit pun tak semua bintang bersinar terang kan ? ,” katanya pada The Hollywood Reporter.

Bruce Stambler, Penata Suara Terbaik dalam Oscar 1996, lewat film The Ghost and the Darkness,- juga tak berani menaikkan tarif setelah meraih Oscar. Kerja Srambler dalam film ini pantas mendapat acungan jempol, karena dia sukses menggabungkan rekaman auman singa dengan sosok singa elektronik dalam film yang menyerupai robot.

Baru dia tahun kemudian dia menaikkan tarifnya, itu pun hanya 15 persen. Dan lagi alasannya memang bukan karena Oscar. “ Selama dua tahun ini semua kebutuhan dan biaya hidup memang telah naik,” katanya.

Piala Oscar memang tak membuat para peraihnya otomatis menjadi kaya raya. Faktor ini tak saja berlaku bagi para peraih Oscar kategori minor seperti tadi, namun juga para aktris dan para aktor itama. Bila sebelumnya mereka tak punya nama beken, susah bagi mereka untuk berada dalam daftar jalur box office.

Walau begitu, Oscar tetap menjadi dambaan para insan film di seluruh dunia ( hal ini nampak dengan terus bertambahnya peserta manca negara yang ingin meraih Oscar dalam kategori Film Berbahasa Asing Terbaik ). Bruce Stambler menganggap Oscar cukup penting, sebagai pengakuan atas pekerjaan dan reputasinya. “ Saya tak bisa melupakan saat menjadi pemenang Oscar. Nama-nama beken yang selama ini Cuma saya dengar atau saya baca di koran, menelpon, mengucapkan selamat. Spielberg dan Michael Douglas menelpon saya. Saya masih menyimpan rekaman suaranya,” katanya senang.

Namun toh ada kemungkinan lain, berlalu dalam sunyi. Oscar 2001 yang diraih Marcia Gay Harden untuk Aktris Pembantu Terbaik dalam film Pollock, tak memberi kesan apa-apa. Saat itu dia mengira banyak sambutan menyenangkan dari kalangan Hollywood dan media massa. “ Ternyata semua berlalu seperti hari-hari sebelumnya. Tak ada gemerlapnya sedikitpun,” tuturnya. Ternyata benar bila pepatah mengatakan, di balik sinar matahari ada cahaya yang suram. Dan rasanya benar, bila bintang pun tak selalu bersinar terang.

(Heru Emka )

Tidak ada komentar: