Sabtu, 12 Januari 2008


Pemberontakan Noam Chomsky

Blantika perfilman dunia kini makin disemarakkan oleh kehadiran film-film dokumenter yang digarap secara tematik, dan diistilahkan sebagai film docu-drama. Terutama sejak film docu-drama garapan Michael Moore; Fahrenheit 9/11 tampil sebagai pemenang Festival Film Cannes 2004. Sejak menyaksikan kebolehan Michael Moore mengumpulkan seabreg gambar dokumenter yang menampilkan berbagai fakta dan blunder tersembunyi di balik peristiwa 11 September, saya amat terpikat untuk mencari film docu-drama lainnya.

Film dokumenter ternyata telah berkembang tak lagi sekedar menjadi komunitas tersendiri. Kehadiran gaya docu-drama ini membuat genre film dokumenter tampil lebih unik. Bahkan Fahrenheit 9/11 berhasil menciptakan rekor tersendiri : diputar di gedung bioskop dan laris manis tak ubahnya sebuah film cerita garapan Hollywood. Jenisnya juga amat beragam. Mulai dari upaya merekonstruksi kebenaran fakta tewasnya tokoh pemberontak Che Guevara ( The Last Hour of Che Guevara ), upaya memahami makna sosial historis keterlibatan AS dalam Perang Pasifik ( Price for Peace), menyelami dunia pelacuran anak di India ( Born into Brothels ), hingga kisah perjuangan penguin jantan untuk meneruskan garis keturunannya (March of the Penguins ).

Namun yang paling menarik perhatian saya adalah Noam Chomsky : Rebel Without a Pause, sebuah docu-drama tentang Noam Chomsky, cendekiawan kritis yang dikenal dengan ucapannya yang blak-blakan yang kritikan pedasnya terhadap berbagai kebijakan AS sering memerahkan telinga para petinggi di Gedung Putih. Film yang beredar dalam format DVD ini bukanlah film biografi ala Hollywood (biopict) yang diwarnai romantisme tentang kehidupan tokoh yang dikisahkan. Noam Chomsky : Rebel Without a Pause yang digarap oleh sutradara Will Pascoe ini adalah dokumentasi langsung dari serangkaian wawancara, liputan ceramah dan kuliah Chomsky serta komentar beberapa orang yang mengenalnya, termasuk Carol Chomsky, isterinya,- yang membeberkan seluk beluk kehidupan Chomsky sehari-hari.
Noam Chomsky saat ini dikenal sebagai cendekiawan terkemuka, perintis iolmu linguistik modern, seorang filsuf, analis sosial-politik, kritikus media yang tajam, penulis lebih dari 70 buku, pemenang beberapa anygerah dan penghargaan ilmiah. Bahkan para pengagumnya menjajarkan Chomsky dengan Marx, Shakespeare. Buku yang ditulis oleh profesor di MIT ini pun tergolong dalam 10 buku humanisme yang paling sering dikutip. Dia juga dipujikan sebagai "one of the world's leading voices of dissent." Karenanya dokumentari tentang Chomsky dan berbagai makna histories penting dari era paska serangan 11 September, yang menjurus pada Perang Irak, jadi bagian yang menarik untuk disimak.

Karya Chomsky sendiri sepertinya belum banyak dikenal di sini. Namun saya cukup terkesan dengan beberapa ucapannya yang dengan tajam menyindir kapitalisme AS yang semakin rakus, misalnya; “ If I'm analyzing capitalism and I point out that General Motors tries to maximize profit, that's not a conspiracy theory. That's analysis.”

Sutradara Will Pascoe memberikan pernyataan tersendiri, tentang kenapa dia membuat film Chomsky yang lain ? Pertama, menurut Pacoe,- gagasan politik Chomsky belum tersebar secara luas. Kedua, sutradara ini ingin memahami kenapa pikiran Chomsky masih seperti saat dia berada di pertangtahan tahun ’70-an, di mana dia mengkritik banyak kebijakan AS yang salah kaprah. Pascoe menjelaskan bila dia ingin mendokumentasikan pemikiran yang menonjolkan isu-isu dunia, langsung dari cendekiawan yang merasa terlibat, sementara sebagian besar cendekiawan lain memilih bungkam seribu bahasa.

Untuk itu Pascoe dan awak filmnya rela mengikuti Chomsky, yang sepanjang Nopember 2002 melakukan kuliah keliling di Kanada. Karena itu, dalam film docu-drama ini, walau pemikiran dan kritikan Chomsky cukup tajam, nampak disampaikan dalam gaya yang santai dan akrab, suasana ruang kuliah yang sejuk atau auditorium ilmiah (lecture halls ) yang padat pendengar. Di sini nampak betapa Chomsky dengan sabar membeberkan analisisnya, memberikan jawaban jitu pada pertanyaan-pertanyaan yang menguji analisisnya. Tentang menipulasi media, hasratnya menbgkritik kekuasaan, turingan tentang akar sentimen anti-Amerika, serta penekanan pentingnya aktifitas sosial sebagai penyeimbang pemerintah dan pengawas demokrasi ( the need for social activism to maintain a balanced and genuine democracy )

The New York Times menyebut Chomsky sebagai ‘intelektual terpenting saat ini’ ( the most important intellectual alive ) saat dia bicara blak-blakan soal serangan 11 September, perang AS melawan terorisme, manipulasi media massa, perang Irak dan berbagai peristiwa sosial yang melibatkan pemerintah AS. Keberanian Chomsky untuk mengkritik kebijakan pemerintah AS secara terbuka bahkan dianggap sebagai kibaran bendera pemberontakannya sebagai seorang ilmuwan. Dan ini dimulai sejak dia menilai sikap AS yang menjadi provokator agar Indonesia menyerang Timor Timur.

Film Rebel Without a Pause ini tak saja memancarkan kecerdasan Chomsky dan kekuatan ingatannya sebagai orang yang setiap hari membaca enam koran , namun juga menunjukkan bila dia memmang menjalankan kewajiban akademiknya sebagai seorang cendekiawan. Dia menekankan bila dunia akademik sesungguhnya melatih seseorang untuk berpikir kritis, dan menjawab semua permasalahan dunia dengan pikiran kritisnya. Chomsky memutuskan bila dia tak keberatan disebut sebagai pemberontak intelektual, bila dia harus berbeda sikap dan pemikiran btentang kebijakan pemerintah AS yang merugikan kepentingan dunia luas., seperti yang diungkapkan sendiri oleh Chomsky dalam kuliahnya di Ontario's McMaster University, saat Amerika menginvasi Irak di tahun 2003 kemarin.

Film dokumenter ini juga menampilkan wawancara dengan sahabat dan teman diskusi malam Chomsky, yakni Graeme McQueen, professor ilmu Kajian Agama ( Religion Studies) di McMaster University, yang menuturkan asal usul pemikiran kritis Noam Chomsky. McQueen juga berkata, ada baiknya bila Chomsky kini terkenal seperti ‘bintang musik rock’ karena ‘dia benar’ saat berkata tentang kondisi yang memicu serangan 11 September. Profesor ini juga menyodorkan fakta bahwa Chomsky termasuk dalam daftar Sepuluh Besar tokoh kesenian dan kemanusiaan . “ Dia berada di urutan ke delapan, setelah Frued dan sebelum Hegel. Dia bergabung bersama nama besar lainnya seperti Marx, Lenin, Shakespeare, Aristotle, dan Cicero.”

Sebelumnya sudah ada dua film tentang Chomsky, yakni Noam Chomsky – Distorted Morality: America's War on Terror? (Wea Corp, 2003) dan Manufacturing Consent – Noam Chomsky and the Media (1993), garapan sutradara Mark Achbar dan Peter Wintonick, yang dilengkapi dengan fitur menarik; diskusi Chomsky dengan Michel Foucault di tahun 1971. Dan semua film tentang Chomsky ini, ternyata laris manis di pasaran. Film docu-drama seperti ini, menambah sisi positif bagi blantika film komersial yakni memberi sudut pandang yang lebih luas bagi wawasan kita. (Heru Emka )

Tidak ada komentar: