Senin, 14 Januari 2008

Pemberontakan musik klasik

Pagelaran pianis klasik Maksim, yang bertajuk Modern Classics The Tour 2005, di Stadion Tennis Indoor, Jakarta,- dinyatakan sukses. Ini pagelaran Maksim yang kedua di Indonesia. Sebelumnya Vanessa Mae dan juga Bond, kwartet musik gesek yang terdiri dari empat perempuan seksi,, juga sukses menggelar konser musik klasik di Jakarta.

Banyaknya anak muda yang berduyun-duyun menonton pagelaran mereka sepertinya membuktikan bahwa musik klasik, yang dianggap sukar dinikmati oleh orang kebanyakan- ternyata malah menunjukkan fakta bila musiki klasik masih disukai oleh semua orang. Baik mereka yang sudah berusia tua atau mereka yang berusia lebih muda.

Itulah sebabnya, konduktor Leonard Bernstein di tahun ’70-an, mengucapkan sebuah semboyan: “ Musik klasik adalah musik abadi,” Pendapat Bernstein, yang oleh kalangan musik lain sering dianggap arogan ini,- sebenarnya mengacu pada beberapa fakta yang memang harus diakui kebenarannya.

Pertama, sejak berabad-abad silam, musik klasik bisa bertahan melawan gerusan jaman. Bahkan di abad 19, di saat musik pemberontakan ( jazz dan rock ) bermunculan, musik klasik tetap mampu bertahan. Bukan itu saja, musik klasik pun terus dimainkan seperti di saat komposisinya pertama kali dituliskan. Tak pernah ada perubahan notasi atau gaya, karena musik klasik mengharamkan permainan yang tidak setia pada notasi, yang berlaku sebagai hukum yang harus dipatuhi oleh para kerabat musik klasik ( baik konduktor atau musisinya ) secara ketat.

Musik klasik yang pada mulanya merupakan musik klangenan para bangsawan di berbagai istana di Eropa, kemudian menumbuhkan kelas sosial tersendiri di masyarakat Eropa. Terbawa tradisi para aristokrat istana, mereka memperlakukan pagelaran musik klasik sebagai sebuah kesenian yang mulia (high art). Dalam kultus ini muncul peraturan tak tertulis yang mengharuskan setiap pemain musik klasik memajang partitur sebagai penghargaan bagi parta komponis, serta mengenakan busana resmi (setelan jas tuksedo) bila memainkan musik klasik sebagai musik yang terhormat.

Yang lebih konyol lagi, adalah munculnya anggapan bahwa musik klasik hanya bisa dinikmati oleh mereka yang memiliki tingkatan (quotient) budaya atau intelgensia yang tinggi. Akibatnya banyak orang kaya yang justru snob, memajang koleksi piringan hitam musik klasik, atau berbondong-bondong menghadiri konser musik klasik walau mereka kurang bisa menikmati musik ini, dan datang ke gedung konser hanya demi sebuah snobisme, agar dianggap melek musik klasik, alias menjadi insan berbudaya.

Apresiasi benci tapi rindu

Semua kepongahan budaya ini tentu saja menimbulkan perlawanan, tak saja dari para seniman pencetus budaya tandingan, namun juga dari kalangan musik klasik sendiri. Albert Goldman dalam bukunya Classic ! Music to Hate,- menyebutkan bahwa di awal masa pertumbuhannya, musik klasik hanya tersisa dalam bentuk mitos dan legenda saja. Jumlah komponis yang bermutu menurun tajam, sedangkan jumlah para penggemar musik klasik cenderung mengkerucut dalam ekslusivisme yang sempit.

Banyak komposisi ringan dalam musik klasik yang berpengaruh secara luas ikut mewarnai berbagai gerak kesenian, termasuk menjadi lagu tema dalam sebuah film. Namun banyak merasa ‘ketakutan’ begitu berhadapan dengan istilah ‘konser musik klasik’ ,’simfoni’ atau ‘orkestra’, dan membayangkan sebagai sebentuk karya seni yang sukar dicerna. Itulah sebabnya dari kalangan musik klasik sendiri muncul beberapa ‘gerakan pemberontakan’. Misalnya kwartet cello Apocalyptica ( nama ini artinya kira-kira ‘ramalan hari kiamat’), yang dimotori oleh Eicca Toppinen bersama tiga rekannya yang alumni Konservatori Musik Finlandia. Keempatnya tak cuma berambut gondrong dan berbusana hitam-hitam, namun juga memain lagu thrash metal Metalicca secara instrumental, dengan menggunakan musik gesek mereka. Tentu saja ini merupakan sebuah fenomena yang menarik.

Upaya untuk membuat agar lebih banyak kaum muda yang menyukai musik klasik dan hanya dilakukan dengan merilis serangkaian album komposisi klasik dalam bentuk yang lebih ringan. Selain aransemen lebih disederhanakan, durasinya juga dipersingkat, yang dalam blantika musik disebut sebagai album semi-klasik. Bahkan tak jarang album yang mereka rilis muncul dalam bentuk yang agak ‘aneh’. Misalnya RCA Victor merilis album yang berjudul Classical Music FOR PEOPLE WHO HATE CLASSICAL MUSIC.

Sampul album yang menampilkan ilustrasi patung dada Sebastian Bach menjadi korban corat-coret graffiti ini menampilkan sedert komposisi musik klasik seperti Peer Gynt Suite no. 1 karya Grieg, Four Season-nya Vivaldi, Clarinet Concerto-nya Mozart, Clair de Lune-nya Debussy dan sebagainya, yang melodinya mewarnai sejumlah film laris Hollywood dan berbagai produk iklan ternama, namun tak dikenal orang sebagai komposisi musik klasik. Dengan kata lain, dimunculkan pendapat, musik klasik ternyata juga bisa nyaman didengar, di luar bingkai musik klasik yang angker. “ Steven Gates, yang menuliskan kata apresiasi di halaman sleeve album ini menyebutkan bila upaya ini dilakukan untuk memancing agar mereka yang membenci musik klasik, berbalik jadi rindu.

Dengung lebah beterbangan

Upaya untuk melucuti keangkeran musik klasik, dengan memadukan irama lain yang lebih disukai masyarakat ini, kemudian disebut dengan istilah crossover classic , yang artinya menunjukkan adanya prsilangan antara musik klasik dengan genre musik lainnya. Pada sisi inilah dunia menerima Bond, kwartet musisi perempuan yang memainkan musik klasik dengan gaya dan busana seksi. Daya pikat lain yang diberikan Bond adalah meramu musik klasik dengan gaya disko atau beat yang menghentak-hentak-enak. Aransemen yang cenderung ngepop, ritme yang membuat kaki mengetuk spontan. Saat menggelar konser di Jakarta, Bond malah memainkan lagu heavy metal Stairway to Heaven-nya Led Zeppelin dalam aransemen yang menawan.

Begitu juga dengan Maksim Mravica, pianis klasik dari Kroasia, yang berwajah ganteng dan bergaya trendi. Melihat penampilannya yang bagai seorang model, orang tak akan menduga bila si ganteng kelahiran kota Sibenik, kota semenanjung Laut Adriatik (1975) ini cukup dahsyat mengayun running jari jemarinya di bilah tuts piano akustik. Namun bila menyimak permainan Maksim pada nomor pendek Rimsky-Korsakov, The Flight of the Bumblee-Bee (selain dimainkan dalam konsernya di Jakarta tahun silam, juga bisa Anda saksikan dalam DVD Maksim, the piano player, yang dirilis EMI ) Anda pasti setuju bila Maksim tak hanya pintar bergaya, namun juga handal dalam semua teknik piano klasik, serta memiliki virtuositas seorang maestro. Dengeung lebah yang beterbangan cepat menjelma dalam hentakan tuts piano dengan presisi tinggi pada tempo yang saling bersilangan cepat. Nomor pendek Rimsky-Korsakov ini sering dianggap sebagai jebakan bagi virtuositas seorang pianis. Maksim mampu menaklukkannya justru dalam usia yang masih muda, dan wajah seganteng vokalis boys band.

Baik Maksim, Vanessa Mae ataupun Bond, memang bisa dibilang sebagai orang yang berlari di jalan yang telah dirintis oleh pendahulu mereka, karena sebelumnya telah muncul The Cronos Quartet dan Nigel Kennedy. The Cronos Quartet memainkan musik klasik dengan aransemen yang kadang agak jazzy atau ngerock. Mereka bahkan memainkan lagu rock Jimi Hendrik dalam konser musik klasik mereka. Sedangkan pemain biola Nigel Kennedy tak saja merupakan seorang solis dengan penampilan punk, permainannya juga mengaduk-aduk konvensi musik klasik. Gaya crossover malah bisa dibilang bermula dari dia.

Andai Risky-Korsakov atau para sesepuh musik klasik lainnya melihay karyanya dimainkan oleh generasi muda seperti Maksim, tanpa menyertakan notasi musik dari komposisi yang diciptakannya, bisa jadi mereka akan mendelik dan berkata gusar,” Kurang ajar sekali anak muda ini, memainkan karya orang seenaknya saja.” Padahal, sejujurnya, orang tak harus menikmati musik klasik dalam suasana super formal ( Anda bisa melihat kultus adi-konser ini dalam pagelaran kondukter Herbert von Karajan bersama Wiener Philharmoniker yang memainkan Requiem Verdi – dalam DVD yang dirilis Sony Classical ). Orang harus bisa menikmati komposisi musik klasik dalam pilihan yang diinginkannya. (Heru Emka )

Tidak ada komentar: