Senin, 14 Januari 2008

Love in the Time of Cholera

Sebuah Cinta yang Keras Kepala

Cukup banyak film beken yang diangkat dari novel ternama. Salah satunya adalah film Dr. Zhivago yang diangkat dari novel besar karya Boris Pasternak. Film ini, secara kualitas berhasil (memenangkan Oscar) sementara secara komersial juga sukses di pasaran. Ketika sutradara berhasil menyelesaikan film Love in the Time of Cholera (dirilis serentak 16 November lalu) yang diangkat dari novel karya Gabriel Garcia Marquez,- saya membayangkan sebuah film yang sarat dengan romantika agung yang kelam. Love in the Time of Cholera adalah lukisan muram sebuah kekecewaan, madah bagi jiwa yang bertahan tanpa gairah, melodrama yang merambat dari satu ke lain masa, tanpa ikatan masa silam atau sekarang.

Namun, inilah hikayat ternama yang jatuh ke tangan sutradara yang bahkan belum mantap karirnya. Mike Newell memang sempat mendapat pujian saat menyutradarai film Dance With a Strager, Enchanted April atau Four Weddings and a Funeral. Namun dia juga menghasilkan beberapa film jelek. Misalnya Into the West atau Mona Lisa Smile.
Di atas kertas, kisah ini menyajikan ramuan narasi yang jarang muncul dalam sebuah film. Ada kebangkitan gairah tak terpuaskan yang menghantui hari demi hari, ada dorong oleh emosi yang terjalin rumit dengan prinsip dan harga diri, ada perjalanan nasib yang terombang-ambing pergeseran kekuatan politik dan sejarah. Ronald Harwood mendapat kehormatan untuk menuliskan skenario adaptasi dan ‘menjinakkan’ kekuatan kalimat rangkaian Gabriel Garcia Marquez. Harwood sebelumnya memenangkan Oscar untuk Skenario Terbaik dalam film The Piano yang disutradarai oleh Roman Polanski.

Kisahnya terjadi di Argentina di tahun 1879, ketika wabah kolera mengamuk di sana. Meluncurlah narasi yang mengalit bagaikan impian surealis tentang kerinduan dua manula yang saling mendamba kesempatan kedua, bagi cinta pertama mereka. Seorang lelaki bernama Florentino Ariza (Javier Bardem) harus menunggu lebih dari setengah abad untuk menyatakan cintanya pada Fermina Daza (Giovanna Mezzogiorno). Semasih muda, Florentino yang miskin tinggal bersama ibunya (Fernanda Montengro). Dia jatuh hati pada pandangan pertama kepada si jelita Fermina, kemudian mulai menulis surat cinta, atau menantikan Fermina di luar rumahnya, sambil berharap bisa memandang wajahnya sekilas. Bait-bait puisi yang dibacakan Florentino dengan getar kata penuh perasaan akhirnya meluluhkan hati Fermina, hingga gadis ini bersedia menikah dengannya.

Namun ayah sang dara (John Leguziamo) terlanjur mengirim putrinya untuk berdiam dengan keluarganya yang lebih kaya, di luar kota. Walau merana, Florentino terus memelihara cintanya melalui surat-surat cinta yang ditulis tanpa henti, dan tak terkirimkan,. Namun saat Fermina kembali, dia sudah menjadi perempuan yang berbeda. Waktu telah membuatnya dewasa, sehingga Fermina berpikir bila cinta monyet mereka dulu amat mustahil terjadi. Karena itu dia pun menikah dengan Juvenal Urbino (Benjamin Bratt), seorang dokter muda yang ganteng, yang dianggap lebih sepadan oleh Fermina. .

Florentino yang tak ingin mati merana dan sia-sia, berjuang sekuat tenaga untuk menaikkan harga dirinya. Dia segera sukses berniaga. Malam demi malam, dia mengisi tempat tidurnya dengan wanita cantik. Namun ruang di hatinya tetap hampa, walau seorang jutawan bernama Senor Daza juga menawarkan juga puterinya yang jelita.

Tahun demi tahun berkelebat cepat, dan semuanya pun beranjak tua. Menjelang usia senja, pernikahan Fermina ambruk akibat perselingkuhan suaminya dengan pasien wanitanya. Tak lama kemudian Juvenal tewas terserang kolera, meninggalkan Fermina, sebagai janda. Namun di sana ada Florentino, yang tetap merindukan cinta Fermina dalam baying-bayang kesedihannya. Setelah sekian lama, terjadilah pertemuan dua cinta terhalang. Fermina masih bisa meraba getaran cinta masa remaja dan Florentino masih terpesona oleh cemerlang pandang Fermina yang selama ini didambakannya. Namun bisakah cinta di usia senja ini terjalin ketika ajal saling bermunculan di balik kabut kelam wabah kolera ?

Setelah menyimak film ini dengan seksama, setidaknya muncul sebuah pertanyaan : apakah narasi kata-kata Gabriel Garcia Marquez, yang begitu sugestif dan imajinatif, terlalu sukar untuk diterjemahkan dalam bahasa gambar ? Mike Newell berhasil memberi roh pada satu dua adegan cinta yang dalam plot novelnya cukup menggetarkan. Namun adegan yang seharusnya menggambarkan amuk rindu dendam dari cinta yang membakar jiwa, sepertinya luput dari rekaman kamera. Tak ada bedanya gejolak ‘arus dalam’ haru-biru perasaan di antara gambaran karakter berusia muda dan saat mereka berusia senja. Bukankah bentuk fisik yang berbeda menimbulkan gestur dan bahasa tubuh yang tidak juga sama ?

Bisa ditangkap ketidaksabaran sutradara untuk menghanyutkan diri melarasi narasi hikayat yang penuh liukan panjang, hingga nampaklah jelas keinginan sutradara untuk membuat film roman ala Hollywood. Aktor watak sekelas Javier Bardem (yang menunjukkan kekuatan akting yang prima dalam Ghost of Ghoya) sepertinya dibiarkan berakting apa adanya. Aktris Giovanna ezzogiorno (pemeran Fermina), memang jelita. Namun logat Italianya yang begitu kental menimbulkan kesan mis-casting, karena bukankah kisahnya berlokasi di Argentina ?

Tentu ada juga pemain yang bisa larut menghayati peran yang dibawakan. Akting dua aktris pendukung sepertiFernanda Montenegro (meraih nominasi Oscar dalam film Walter Salles yang berjudul Central Station ) dan si cantik Catalina Sandino Moreno( meraih nominasi Oscar dalam Maria Full of Grace) yang berperan sebagai sahabat karib Farmina, bisa memberi makna pada cerita.

Dalam daftar film yang diangkat dari kisah novel ternama, apakah Love in the Time of Cholera ini hanya memperpanjang deretan dari film yang gagal menghadirkan pesona naskah aslinya ? Untunglah masih ada juru kamera dan pemadu gambar, yang berusaha keras untuk menghadirkan idiom visual yang cukup puitis, sehingga nuansa realisme-magis, yang menjadi kekuatan narasi novelis Gabriel Garcia Marquez, agak bisa diresapi dalam film yang berdurasi 139 menit ini .

(Heru Emka – pengamat film )

3 komentar:

Anonim mengatakan...

Selamat berkreasi pak....

Anonim mengatakan...

ternyata pake 6 tahun yang lalu ganteng jg....hehehehehe

budi maryono mengatakan...

Aku sahabat mitra perempuan. Ke?