Sabtu, 12 Januari 2008

Nietzsche di Tengah Mall


Affa ( 26 tahun) mungkin pantas men jadi citra ‘ideal’ gadis manis masan kini, seperti yang sering muncul dalam berbagai film iklan kita. Selain cantik ( wajahnya mirip dengan Titi Kamal – malah tubuhnya lebih seksi dan berisi ), dengan kulit yang bersih mulus. Tak heran bila pacarnya bilang, walau dia cemberut, wajahnya masih sedap dipandang. Dan Affa baru saja memborong baju terbaru dari gerai Mango di Singapura. Tiga style-jeans

Mango dia bawa. Salah satunya dengan bahan corduray ala retro, yang dulu dikenal dengan model cutbray. Bukan itu saja, ada lagi, blus sutra model menyilang rancangan An

tonio Marras, yang kini menjadi direktur artistik rumah mode Kenzo. Saat Affa mencoba blus yang bermotif happy floral itu dengan style-jeans hitam bersulaman bunga merambat sepanjang paha hingga lurut Affa yang indah,.. hmmm…tercipta sudah gaya boho yang membalut tubuh ranum yang indah. Dari celetukan Affa dan mamanya, nampak bila setelan yang khusus dicari di kawasan Orchard Road itu akan menjadi ‘kostum’ pesta ulang tahun teman, yang sepakat memilih gaya boho (bohemian style) sebagai dress code-nya.

Lantas kenapa si cantik kesayangan keluarga kaya yang tinggal di kawasan Pondok Indah ini cemberut ? Dari celetukan mereka juga, saya dengar bila si Amenita (teman Affa),- ternyata tak mengajaknya saat menemukan gaun FCUK di Plaza Senayan.. Padahal Affa sudah lama ingin punya baju berlabel ini. Oh ya, FCUK ( singkatan dari French Connection UK ) – lagi naik daun ini memang ditujukan bagi kaum muda yang merasa dirinya ‘kontemporer’ dan ingin tampil beda. Busana FCUK ini selalu tampil dalam disain berani, dengan warna-warna ngejreng, seperti biru neon, shocking pink dan warna lain yang membuat penampilan pemakainya lebih cerah.

Hanya karena ingin menginap di rumah Rudi, seorang bomber ( julukan khas bagi pelukis grafiti - yang juga sesama milis pecinta musik klasik rock) ,- saya ‘kesasar’ di kalangan kelas atas di Jakarta. Melihat penampilan Rudi, yang ‘cuma’ bersepatu basket (Nike), jean lusuh dan kaos punk distro, serta ransel yang berisi buku sket graffiti dan lima kaleng cat semprot,- orang tak menduga bila orang kaya. Tapi memang hak Rudi bukan, bila dia ingin berpenampilan miskin ?

Ritual gaya hidup

Saat ‘kesasar’ di rumah orang kaya itulah , saya melihat ada tren tersendiri yang mereka persiapkan untuk mengisi liburan, yakni berbelanja. Aktifitas belanja ini dirancang cermat, tak ubahnya ritual tersendiri bagi gaya hidup mereka. Sejak awal mereka mencari informasi berbagai produk yang akan dibeli saat melakukan perjalanan belanja ke mancanegara. Saya lihat berbagai katalog produk konsumsi yang serba mahal, berbagai peralatan dapur dari perak, katalog furniture - baik yang bergaya Barok atau aneka disain futuristik yang minimalis. Brosur lainnya menawarkan arloji dan perhiasan mahal, lampu kristal, serta katalog terbaru dari berbagai rumah mode beken ternama : Fendi, Burbery, Hermes, Celine. Di sebuah meja cocktail di sudut ruang tamu, saya lihat sebuah tas Birkin Hermes hijau muda (yang agaknya sudah jarang dipakai) .

Bagi kalangan berduit, musim liburan adalah musim belanja. Sebuah musim bunga meriah bagi konsumerisme. Pengamat gaya hidup seperti David Chaney menyebut bila kaum berduit, yang sebelumnya mendapat predikat orang kaya baru setelah menemukan kesempatan untuk ikut dalam perubahan ekonomi yang vertikal, membutuhkan gaya hidup yang sepadan untuk mendapatkan pengakuan sosial.

Dan bicara soal gaya hidup, penampilan tentu saja menjadi bagian intinya. Tak heran bila suasana kehidupan sehari-hari mengalami estesisasi. Harus lebih indah, lebih beda. Tubuh dan ruang (rumah, mobil dan sebagainya ) pun menjadi obyek yang tiada habisnya untuk didandani, diberikan citra mewah dan ekslusif. Para pemodal dan penjual sama-sama menyambut hangat, dengan menjadikan mall sebagai titik kepekaan, Cobalah amati, bukankah mall tak lagi sekedar tempat berbelanja yang representatif, namun sudah menjadi bagian lingkungan, di mana diri mengalami transformasi, dari seorang pengunjung menjadi konsumer. Soal apakah transformasi ini mampu memberikan kebahagiaan yang mereka cari, berhasil mewujtkan apa yang mereka impikan, atau hanya sebatas membeli komoditi, itu soal nanti.

Khotbah agung konsumerisme

Yang jelas meraih keuntungan (dengan tanpa henti menciptakan magnit baru bagi mimpi-mimpi konsumerisme) adalah moda para kapitalis yang meniru dalil Descartes dengan menciptakan semboyan baru, modern cogito; “ Aku berbelanja, karena itu aku ada” ( "I consume therefore I am."). Neil McKendrick dalam The Birth of a Consumer Society (London: Europa, 1982), menyebutkan, hasrat dan katakjuban berbelanja ini kadang dihayati sebegitu rupa, tak ubahnya hasrat penebusan dosa. Pendapat sosiolog dan pakar kajian budaya ini sepenuhnya benar. Di mall gemerlap seperti Sogo Plaza Senayan, saya banyak melihat wajah-wajah yang begitu khusuk memandang produk bermerek dan menenggelamkan diri dalam khotbah agung konsumerisme.

Pengamatan yang lebih jitu ditampilkan oleh Daniel R. White dan Gert Hellerick dalam esainya; Nietzsche at the Mall: Deconstructing the Consumer. Disebutkan bahwa fesyen akhirnya tampil sebagai kekuatan sosial yang tak terduga. Fungsinya tak saja efektif sebagai tanda keberhasilan ekonomi, namun juga sebagai praktek rekayasa sosial. Hal ini tak saja melibatkan selera, perilaku sosial dan identitas personal kalangan kelas atas sebagai konsumer, namun fesyen kadang menjadi anak tangga tersendiri, sejenis pijakan untuk beranjak dari inferioritas sosial.

Karena itu, Nietzsche yang begitu gigih mendefenisikan eksistensi, pasti akan gusar bila dia sekarang berada di sebuah mall. Dia akan mengerutui kedangkalan dan kemunafikan gaya hidup ini, seperti yang diucapkan Niezsche dalam Will to Power, "There exists neither 'spirit,' nor reason, nor thinking, nor consciousness, nor soul, nor will, nor truth: all are fictions that are of no use" Eksistensi gaya hidup mall ini bagi dia serba mertanggung, mengambang dan tak berguna.

Untunglah tak semua orang kaya konsumtif, walau itu hak asasi mereka juga sebenarnya. Rudi misalnya, yang bersemboyan; “ You’re happier than you think,”- lebih suka membelanjakan uangnya untuk membeli sekian puluh tabung cat pylox, untuk digunakan bersama para bomber lainnya. Seperti malam itu, HP-nya berbunyi, dan seorang bomber lainnya mengabarkan ada sebuah spot di kolong jalan layang di kawasan Pancoran. Saat itu menjelang tengah malam, kami menuju ke sana (menurut saya, daerah itu cukup rawan penodongan). Toh Rudi dan keenam kawannya cuek saja. Mereka mulai ‘ngebom’, merubah dinding kusam menjadi sebuah ruang ceria, dengan semprotan cat yang membentuk ekspresi seni jalanan. Bentuk ekspresi yang menggeliat, menolak kemandegan yang mampat.

(Heru Emka, penyair dan peminat kajian budaya.)


Tidak ada komentar: