Sabtu, 12 Januari 2008

Komik subversi

Apa pula ini ?



Tentang komik, hampir semua orang, dari siswa SD hingga orang dewasa pasti tahu dan pernah membacanya. Tapi, komik subversi, apa pula ini ? Defenisi komik sudah banyak dipahami. Sedang defenisi kata subversi, menurut Oxford Advanced Learner’s Dictionary, adalah ‘ trying or likely to weaken or destroy a political system ‘. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, artinya adalah ‘ penggulingan kekuasaan atau pemerintah dengan jalan melemahkan kepercayaan rakyat pada pemerintah’.

Nah, melihat defenisi kata subversi yang sedemikian ‘seram’, maka wajar bila muncul imaji bahwa ‘komik subversi’ ini setidakanya membahayakan posisi pemerintah, atau menimbulkan situasi gawat lainnya. Namun percayalah, setelah membacanya, kesan seram tadi langsung musnah, karena ‘komik subversi ini, yang berjudul : Kenalkan , namaku Orang Miskin (volume 01 Mei 2004, tanpa nama penerbit ) hanya sebuah komik alternatif, yang digarap oleh beberapa anak muda kita dari Yogya dan Solo.

Komik ini bukanlah komik dengan warna-warni ceria : petualangan dunia fantasi yang mendebarkan atau dunia remaja yang penuh ungkapan cinta, seperti yang kita kenal dalam komik Serial Cantik dari Jepang yang membanjiri blantika komik kita. Komik subversi ini adalah realitas kelam dari kenyataan sosial masyarakat kita sehari-hari . Hal yang bisa dibilang tak pernah tersentuh sepanjang sejarah perkomikan kita yang tumbuh sejak tahun ’50-an.

Kisah kehidupan yang ditampilkan pun seperti membetot fantasi pembaca yang sebelumnya terbang ke dunia imajiner, untuk berpijak pada kenyataan yang menyesakkan dada, bahwa kemiskinan yang dialami rakyat kita sebegitu parah, sehingga membuat seorang remaja kelas menengah, seperti Nissa ( 19 tahun ), tak pernyata bila ada realitas kehidupan seperti yang digambarkan dalam komik ini.

Ada sembilan komikus muda yang menampilkan kisah orang miskin dengan penuh greget seperti Kipli ( dengan kisah boneka Bonex dan keluarga kere cendana ria) , Farhan Siki ( ceritanya tentang tukang cukur pinggir jalan yang takut dengan petugas tibum lucu sekali ). Ada juga Wahyu yang dalam Kakak Ikan , menampilkan kisah yang cukup menyentuh, tentang pemulung cilik yang ingin memberikan seekor ikan hias pada adiknya. Muncul semacam praduga tersendiri, karena ada gambaran pemulung cilik ini tergoda pada seekor ikan hias dalam akuarium di halaman.rumah seseorang. Pembaca merasa surprise karena kekuatiran bila si pemulung cilik mencuri ikan itu tak terbukti. Pemulung cilik ini membuat adiknya senang karena memiliki ikan hias yang didambakan, sedangkan ikan hias dalam akuarium itu masih utuh, seperti semula.

Tragedi dan nasib kelam muncul dalam goresan naïf Rangga tentang nasib Si Penyo, pengangguran yang terseret dalam dilema pencurian dan tewas ditembak satpam. Atau kisah perempuan malam dalam ilustrasi Agung Arif Budiman yang cenderung minimalis, namun ekspresif dengan kalimat pendek yang puitis : “ namaku Menik, malamku, nafasku, gelapku, mahkotaku, seperti bulan, redup sinarnya, aku, perempuan malam”. Sebuah komedi tragis malah mencuat dari goresan Achmad Ismail, tentang penarik becak yang terpaksa mengayuh beban berlebihan, sehingga (bukan ban becaknya yang pecah tetapi ) betisnya pecah.


Ada prolog menarik, yang menyebutkan alasan kenapa komik subversi ini ‘dibikin rame-rame ‘ bukan saja dalam penggerapannya yang bersama-sama, namun juga rame-rame dalam hal slogan subversif itu sendiri. “ Komikm ini hanya meneriakkan kembali keluhan lama, kalau negara dan penghuninya selama ini memang buta. Mereka melupakan orang miskin yang terusir di negerinya sendiri. Di mana-mana mereka melakukan karnaval abadi, di perempatan mereka menunggu sedekah, di bawah lorong jembatan mereka membuat rumah, di trotoar mereka berdagang, di angkutan umum mereka mengais-ais rejeki. Dan negara maupun mereka yang duduk di parlemen menyatakan kalau mereka itu illegal. Di negeri ini orang miskin, status hukumnya illegal”

Dalam The Social Construction of Reality, dua sosiolog terkemuka; Peter Berger dan Thomas Luckman mengatakan bahwa ‘ akal sehat dalam kehidupan sehari-hari , haruslah menjadi pusat minat dalam wacana sosiologi. Mereka pun setuju bila Durkheim berpendapat bila kita harus bertumpu pada fakta sosial sebagai sebuah sudut pandang untuk memahami masyarakat kita. Bagi Berger dan Luckman , identitas merupakan kunci utama dari kenyataan dan dialektika subyektif. Identitas dibentuk oleh proses sosial, dan kemudian bereaksi kembali kepada masyarakat.

Identitas orang miskin inilah yang diperkenalkan oleh para komikus muda Jogya dengan gaya yang memadukan humor ironis, sarkasme dan dengan kalimat-kalimat sederhana mengigit. Komik inibisa dipahami sebagai sebuah kritik sosial, atau penyadaran dalam semangat yang dalam istilah pewayangan disebut goro-goro. Adegan yang menampilkan kritik dalam balutan humor ini, yang dalam pagelaran wayang kulit menempati posisi marginal, bukan scene utama dari narasi cerita (ditempatkan dinihari menjelang fajar), justru paling dinantikan penonton. Dalam goro-goro ini sering muncul peragaan satire yang jenius dari para punakawan, sebagai personifikasi rakyat kecil. Kata yang kritis dan tajam bermunculan melalui bahasa pasemon, yanag mengusik batin mereka yang mengalami ketumpulan rasa peka dalam indera sosialnya, atau yang diistilahkan oleh Mikail Bahktin sebagai dissociation of sensibility .

Bagi cendekiawan yang bersimpati pada kaum papa seperti Mikail Bakhtin, kondisi fisik kaum miskin dalam kehidupan tambal sulamnya - yang dalam bukunya yang fenomenal Rabelais and His World disebutkan dalam citra sebagai ‘the grotesque body’ ( Cambridge, MIT Press, 1984), mewakili pusat gambaran dari sebuah dunia yang jungkir-balik (topsy-turvy world ), yang mengusik kenyamanan dunia kaum mapan yang stabil. Karenanya Bahktin berkata,” The grotesque body offers a symbolic subversion of the 'real' world, and questions its cultural authority with various other carnivalesque postulations.” Kehidupan fisik kaum papa juga menimbulkan sebuah subversi secara simbolis bagi kehidupan nyata dan menggugat gaya hidup kaum kaya yang muncul sebagai parade kemewahan, sementara mereka malah dianggap sampah masyarakat.

Komik ini berada dalam arus kesadaran para seniman yang mencoba lebih terlibat dalam penderitaan masyarakat. Dan anak-anak muda dari Yogja ini tidak sendirian. Dalam dunia senirupa Indonesia kita mengenal mendiang Semsar Siahaan, atau Tisna Sanjaya. Di manca negara malah banyak sineas yang berkarya dalam semangat yang serupa, seperti yang dicermati oleh R. Stam dalam bukunya ; Subversive Pleasures: Bakhtin, Cultural Criticism, and Film, sebagai bentuk ungkapan dari ‘kegairahan untuk berkarya dalam kenikmatan yang sering dianggap ‘ subversif’ .

Mungkin Rangga dan kawan-kawannya memilih komik sebagai strategi untuk mewujudkan proses "penyadaran" sosial yang mencerahkan kita dari kejumudan hidup, dan berharap bisa menyelinap dari balik pagar keangkuhan mereka, kaum kaya raya. Bukan untuk membagi kekayaannya, namun untuk lebih menghargai kaum miskin dengan meandang eksistensi mereka secara lebih manusiawi. (Heru Emka)


Tidak ada komentar: