Senin, 14 Januari 2008

“My Blueberry Nights”


Perjalanan Puitik Melipur Lara

Sebuah film bisa bermakna bagi penontonnya bila film itu bukan lagi sekedar sebuah tontonan, namun mampu menjadi sumber inspirasi yang mencerahkan. Dan film “My Blueberry Nights” karya Wong Kar Wai memenuhi kriteria seperti ini karena membawa penontonnya dalam sebuah perjalanman dramatis tak saja melintasi jarak yang panjang, namun juga menyeberangi jarak kepedihan antara patah hati dan pemulihannya sebagai pertumbuhan babak kehidupan yang baru.

My Blueberry Nights” yang menjadi film berbahasa Inggris pertama dari sutradara asal Hong Kong ini, berkisah tentang keberanian seseorang untuk mencari ufuk cakrawala yang baru dari kehidupan yang kelam. Setelah hatinya remuk redam karena percintaan yang gagal, Elizabeth (dimainkan dengan bagus oleh penyanyi jazz Norah Jones ) memutuskan untuk melakukan perjalanan keliling Amerika, meninggalkan semua kenangan hidupnya, semua mimpi dan kekasih tambatan hati ; seorang pemilik kafe yang bernama Jeremy (Jude Law).

Dalam upayanya untuk melipur lara, Elizabeth bekerja sebagai pramusaji di kafe yang ada di kota-kota yang disinggahinya. Di sanalah dia menemukan sahabat dan orang lain yang punya berbagai beban kehidupan dan cara mereka mengatasinya. Di antara temannya dalam berbagi kisah hidup nyata lain seorang polisi yang dirundung masalah (David Strathairn) dan seorang isteri yang tersingkir (Rachel Weisz), seorang yang mengejar kebahagiaan hati (Natalie Portman). Saat mengamati pribadi-pribadi seperti ini, Elizabeth menjadi saksi betapa menyedihkan bila seseorang memiliki perasaan hampa dan kesepian yang parah jauh di relung hatinya. Dia pun mulai memahami bila perjalanan yang telah dilakukan memang bermasnfaat sebagai bagian dari penjelajahan jiwa dan lorong hatinya sendiri.

. Bagi para percinta film sejati: para aktor, sutradara, produser , kritikus film dan para sineas lainnya,- Cannes telah lama menjadi tempat idaman. Setiap bulan Mei, di kawasan sekitar pantai Riviera yang indah berlangsung pesta merayakan perkembangan sinema dunia. Udara sejuk yang berhembus dari cakrawala Mediterrania menjadi pengantar yang nyaman bagi pemutaran puluhan film terpilih yang datang dua atau tiga puluhan negara, yang semua menampilkan pendekatan yang berbeda dari berbagai sudut pandang budaya. Selama ini festival Cannes bahkan menjadi antitesa bagi sinema ala Hollywood yang digarap dengan untuk kepentingan komersial semata. Faktanya, memang semua film yang muncul di festival Cannes adalah film yang punya keunggulan artistic tersendiri.

Indah namun menyakitkan

My Blueberry Nights” mendapat kehormatan untuk membuka Festival Film Cannes yang ke 60, yang berlangsung bulan Mei lalu. Bagi Wong Kar Wai sendiri, film bukanlah sesuatu yang ‘besar’, namun beberapa hal ‘kecil’, semacam pertumbuhan tekstur gambar dan impuls narasi yang mengalir begitu saja Wong juga dikenal sebagai seorang ‘master miniaturist’, yang piawai menampilkan detil-detil sepele dalam sebuah scene yang memikat.

Bila kita memperhatikan setiap karyanya, nampak jelas bila Wong Kar Wai adalah kreator yang piawai merangkai masalah yang nampaknya sepele dari orang-orang kalah; lelaki fatalistik atau perempuan perasa,- dirangkai dalam kisah yang menyentuh, kadang menyakitkan, namun membekas dalam ingatan. Dia sering ‘membungkus’ para perempuan cantik yang bernasib malang itu dalam adegan bergaya visual-emosionalnya yang jelas. Paduan antara asap sigaret yang melayang lamban dengan langkah kaki yang terekam dalam slow motion, atau misalnya detil sebuah pandangan sekilas yang tersamar. Semua ini memberi makna pada sesuatu yang nampak biasa saja.

Setiap kali menemukan karakter atau situasi yang membuatnya terpesona, Wong cenderung untuk menginterpretasikannya dalam beberapa film. Di tahun 1994 misalnya, dia menggarap “Chungking Express” sebagai tika rangkaian kisah, namun hanya dua kisah yang dibesut. Kisah yang ketiga ternyata menjelma sebagai film berikutnya; yang berjudul Fallen Angels”. Beberapa tahun kemudian dia menggarap “In the Mood for Love”, yang berkisah tentang seprang penulis ( diperankan Tony Leung ) yang jatuh cinta pada seorang perempuan yang sudah menikah,- karakter seperti ini muncul lagi dalam filmnya; 2046”.

Karena itu saya tak terlalu heran bila film terbarunya, “My Blueberry Nights”, yang bergaya road movie (bermula dengan sebuah adegan di Venice, California, lalu muncul kilas balik berbagai adegan di Memphis dan Nevada, dan berakhir di New York City), muncul juga adegan yang mirip dengan”In the Mood for Love” atau “2046”).

Walau baru pertama kali berakting di film ini, Norah Jones cukup berhasil memainkan peran sebagai Elizabeth, perempuan muda yang nyaris depresi karena patah hati. Di setiap persinggahan di berbagai kota yang dikunjunginya, dia selalu memesan kue pie dengan rasa blueberry, dan menyantapnya diam diam dalam keheningan yang disukainya. Dalam perjalanannya dari New York hingga Memphis, dia bekerja sebagai pramusaji di mana dia berteman dengan seorang polisi pemabuk (David Strathairn), seorang perempuan bernama Sue Lynne (Rachel Weisz) dengan kehidupan rumah tangga yang goyah sehingga dia memutuskan untuk minggat. Saat singgah di Nevada, Elizabeth bekerja sebagai penyaji cocktail di sebuah kasino. Di situlah dia bertemu dengan Leslie (Natalie Portman), penjudi cerdas yang bermulut tajam yang diam-diam tak kunjung menemukan kebahagiaan hati.

Dan Natalie Portman, sungguh nampak mengesankan melihat dia meninggalkan citranya sebagai maharani belia (trilogi Stars War). Dia menampilkan sepenuhnya pesona perempuan dewasa (25 tahun) dengan bentuk tubuhnya yang sempurna. Leslie yang memesona dengan rambut pirangnya ini dengan lincah menggoda para penjudi untuk bertaruh dengannya. Akting Natalie pun nampak berkembang pesat. Penonton pasti akan menikmati adegan saat Leslie dengan cerdas membuat para penjudi tetap tertawa, walau gadis cerdik itu membuat mereka mentah-mentah dijadikan pecundang..

(Heru Emka, pengamat film - Tulisan ini pernah dimuat di harian Suara Merdeka )

Tidak ada komentar: